Tubuhku jatuh berdebam di permukaan lantai batu bata. Apakah ini mimpi seperti biasanya? Lututku terasa perih. Ternyata bukan mimpi. Bila ini mimpi tak mungkin aku meringis kesakitan. Aku melihat sekeliling dan mendapati diriku berada dalam suatu ruangan besar. Begitu luasnya hingga ujungnya tak terjangkau oleh mataku.
Aku melihat beberapa sosok tubuh masih berusaha bangkit dari lantai. Lelaki bertopeng biru tua tampak menahan sakit, Sebagian topengnya pecah dan mungkin ada bagian tajam yang melukai wajah sehingga tampak gurat luka yang memerah. Ia pun melepas topeng itu. Wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Pandanganku beralih pada lelaki yang pernah kulihat dalam mimpi, Ulagara. Wajahnya mirip dengan manusia hanya kedua bola matanya berwarna kuning keemasan dengan bola mata berwarna hitam berbentuk mirip bulan sabit. Ia mengenakan pakaian kuno era kerajaan zaman dahulu hanya sedikit berbeda dari yang pernah kulihat dalam film kolosal lokal.
Aku melihat Tsamarangga menahan sakit dan memegangi bahu kanannya. Pemuda yang kuperkirakan sebaya Mas Randu itu menatapku lembut seolah bertanya bagaimana kondisiku. Baru pertama kali aku melihat sosoknya secara langsung. Aku tak mengerti ia dan Ulagara termasuk jenis makhluk apa tetapi tatapan Tsamarangga tampak lebih bersahabat daripada Senapati dari Amaradatu itu.
‘’Kau baik-baik saja?’’ tanya Tsamarangga. Kedua netranya yang berwarna hijau zamrud tampak berkilau. Rambut hitamnya panjang melebihi bahu dan diikat satu ke belakang dengan menyisakan sebagian yang menjuntai di sisi kiri dan kanan wajah. Ia mengingatkanku pada salah satu karakter pada serial kolosal dari Negeri Tirai Bambu.
Aku mengangguk. Pandanganku beralih pada sosok lain yang membuat kedua mataku terbelalak. Bude Rukmini! Bagaimana bisa ia ikut terbawa ke sini. Padahal seharusnya ia berada jauh dari gubuk. Bude Rukmini tampak setengah sadar, napasnya terengah-engah seolah telah berlari begitu lama.
‘’Ambil Puspa Arum sekarang!’’ perintah lelaki yang sebelumnya mengenakan topeng. Ia menatapku mengancam. Baru kusadari sebelah tangannya membawa belati tajam yang berkilat. Ia mengarahkan belati pada leher Bude Rukmini. Ibu Mbak Dayu hanya meringis menahan sakit ketika ujung belati berada dekat di kulit leher jenjangnya.
Aku mengikuti arah pandangan lelaki itu. Barulah aku sadar tak jauh dari kami ada sebuah meja berundag yang tersusun dari batu candi. Apakah ini sebabnya bekas telaga di Pahesan disebut candi karena memang ada bangunan mirip candi di dalamnya. Di atas meja berundag terdapat sebilah keris yang menancap tanpa warangka. Keris itu memiliki luk yang meliuk membentuk gelombang dengan pangkal berukir berwarna perak. Gagang kerisnya sendri juga berukir kepala naga. Apakah ini Tapak Kusuma milik Raden Arya Samudra? Bila benar maka itulah yang menyebabkan kutukan pada keturunan perempuan Dewi Sedayu. Di sebelah keris tampak sebuah batu sebesar genggaman tangan bayi. Batu itu berwarna merah dengan sinar berpendar yang menyilaukan. Bagaimana caranya agar kutukan itu tercabut?
Ulagara mendesis, ia pun menyadari bahwa benda yang dicari sudah ada di depan mata. Ia berlari begitu cepat tetapi tubuhnya terpental setelah sampai di depan batu itu. Suara erangan keluar dari bibirnya. Ia berulang kali mencoba tetapi selalu saja terpental.
‘’Ambil sekarang!’’ perintah lelaki yang menculikku dengan nada tak sabar.
Tsamarangga menatap marah ke arah lelaki yang tak ketahui siapa namanya, ‘’Jangan membentaknya Artareja!,’’ serunya. Ia mengepalkan tangan bersiap menyerang.