SEDAN hitam itu merandek begitu melewati pintu parkir sebuah gedung bertingkat. Mel menurunkan kaca jendela di sisi kiri hingga terbuka setengahnya. Riuh. Dua orang body guard bersiaga di sisi mobil. Dua orang lelaki tegap berseragam hitam itu memberi batas pada kerumunan yang tiba-tiba merangsek. Mel membuka kaca mata hitamnya. Senyum menebar. Cewek berjilbab hijau-lemon itu sedikit menyembulkan wajah ke luar jendela.
“Mbak Mel, bisa konfirmasi tentang pemberitaan belakangan ini?” cecar beberapa wartawan dalam kerumunan. “Cincin yang Mbak Mel pakai, memiliki kekuatan magis dan membuat karier Mbak Mel terus melejit. Benar begitu? Apa tanggapan Mbak Mel?”
Mel menangkupkan kedua telapak tangan di depan wajah. “Maaf, teman-teman. Mel sedang ditunggu di studio,” jawabnya ramah. “Mel rasa, ini bukan saat yang tepat.”
“Satu jawaban saja, Mbak!” seru seorang wartawan lelaki dari barisan belakang.
Seruan itu kemudian ditirukan kembali oleh beberapa wartawan yang lain. Suasana semakin meriuh. Rasa penasaran tergambar jelas pada wajah-wajah mereka. Kesabaran kian menipis. Beberapa orang wartawan dari barisan belakang, terus merangsek dan mendorong-dorong. Jarak kerumuman dengan mobil semakin menyempit. Dua orang body guard dibantu seorang security gedung, semakin memperkuat pertahanan. Mel sedikit cemas.
Kaca pintu depan terkuak. Wajah lelaki berkaca mata minus muncul. Ia tersenyum dan melambaikan tangan kirinya. Beberapa saat ia memandangi sekeliling.
“Mel sudah mengatakan, ini bukan saat yang tepat!” ucap lelaki berwajah ramah itu.
“Satu jawaban saja, Pak! Tidak akan butuh waktu lama!”
Lelaki berambut klimis itu kembali menutup kaca mobil. “Kamu mau bertahan?” tanyanya tanpa menoleh pada Mel yang duduk di belakangnya. “Sebaiknya segera berikan jawaban… apa saja. Kalau begini, kita bisa kehilangan banyak waktu, Mel.”
“Saya bingung, Pak Jay,” sahut Mel lirih. Ia menaikkan kaca jendela. Tergambar kecemasan di wajah halusnya. “Mereka akan terus mengejar dengan pertanyaan yang sama, Pak. Apa mungkin, ini saatnya saya cerita yang sebenarnya?”
“Saran saya, nanti saja,” cegah Pak Jay. “Kita akan cari waktu yang tepat.”
Suasana di luar masih saja riuh. Satu orang body guard, melalui HT–handie talkie–mengingatkan sopir untuk segera bergerak. Sang sopir memandangi Pak Jay yang duduk di sebelahnya dan Mel bergantian, meminta pendapat mereka. Ia terlihat bingung.
Pak Jay mengingatkan. “Ayok, beri jawaban, Mel. Kasian mereka menunggu.”
Resah melanda. Beberapa lama Mel menundukkan wajah dan menggigit ujung-ujung kukunya. Ia pun melantunkan doa di dalam hati. Ya, Allah, berikan aku ketenangan agar bisa menghadapi semua ini. Apa yang harus aku katakan agar mereka yakin, ya Allah?
Sesaat kemudian, cewek itu mengangkat wajah. Di depan sana, dua mobil yang membawa tim manajemen artis dan tim kreatif perlahan bergerak. Pandangan ke samping kiri terhalang. Para wartawan yang dihadang tubuh dua orang body guard semakin merapat ke sisi mobil. Mel yakin, dua lelaki berbadan tegap itu mulai kewalahan.
Mel mengurungkan niat untuk membuka kembali kaca jendela saat android-nya menyala. Ada panggilan dari Nyi Warti di Yogya. Meskipun hatinya dibaluri kecemasan, cewek itu tak ingin mengabaikan panggilan dari neneknya. Ia tak ingin perempuan itu cemas.
Tanpa lupa menjawab salam, Nyi Warti langsung mencecar Mel dengan pertanyaan. “Nduk, kowe ora papa to? Ora ana masalah ning kana to, Nduk?[1] Kenapa Uti lihat dari tadi mobil kalian ndak bergerak? Bilang sama Uti kalau kamu ndak kenapa-napa.”
Tiba-tiba Mel sangat mengkhawatirkan Nyi Warti. “Insya Allah Mel nggak papa, Uti. Percayalah.” Sesaat kemudian ia menjauhkan alat komunikasi dari telinga dan berbicara pada Pak Jay. “Pak, ini sedang live loh! Kenapa saya nggak tahu? Ini ide siapa?”
Pak Jay mengendikan bahu, memberi isyarat ia tak tahu. “Kita sudahi, Mel.”
“Nduk, kamu masih di sana?” Suara Nyi Warti di seberang telepon.
“Kami sudah mau jalan, Uti. Maaf, nanti Mel telpon lagi ya. Assalamu’alaikum.”
Begitu Nyi Warti menutup telepon, Mel kembali membuka kaca jendela. Beberapa wartawan yang berada di barisan tengah, menerobos barisan di depan mereka. Akibatnya, dua orang wartawan perempuan terdorong dan jatuh terduduk. Mel mengucapkan maaf sedetik kemudian. Saat itulah ia menyadari beberapa kamera tersorot ke arahnya.
“Mbak Mel, beri kami satu jawaban. Please!” seru wartawan perempuan yang tadi terjatuh. “Satu jawaban, dan kami akan membiarkan Mbak melanjutkan aktivitas.”
Senyum di bibir Mel begitu kaku. Sambil mencoba menata debaran jantungnya, ia berkata, “Teman-teman, Mel hanya bisa bilang, jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah….”[2]
“Ini bukan jawaban!” teriak salah satu wartawan, merasa tak puas.
“Semoga teman-teman paham maksud Mel. Terima kasih ya. Assalamu’alaikum.”
Melalui HT, sang supir memberi tahu body guard bahwa mereka akan segera meninggalkan area. Dua orang body guard itu berdiri kukuh menguatkan kuda-kuda. Sesaat kemudian kaca jendela mobil kembali menutup. Dua orang body guard masuk melalui kedua pintu. Di luar masih terdengar teriakan-teriakan. Mobil merambat melewati kerumunan.
Diam-diam, cewek 17 tahun itu mengusap cincin bermata hijau di jari manisnya. Ayah, Bunda, kalau begini terus, bisa-bisa Mel nggak akan kuat, bisiknya dalam hati. Linangan bening membalur di jernih matanya. Mungkin, cincin ini harus dilenyapkan….
***
BRUKHH!!
Keyzia mengempaskan setumpuk surat kabar ke atas meja. Zahra, sahabatnya Sama sekali tak terkejut. Ia yang melihat wajah Keyzia memerah sejak memasuki pintu kafe, hanya geleng-geleng kepala. Cewek berwajah oval itu pun mengulum senyum beberapa lama.
“Baca semua tuh!” sungut Keyzia tanpa senyum. Lalu IA menyerak tumpukan surat kabar dan beberapa tabloid itu di atas meja kayu. “You’ll understand why I’m angry!”
“Syal baru lagi nih. Merah lagi!” kelakar Zahra, bermaksud menggoda. Ia tahu Keyzia memiliki hobi baru, memakai syal dalam setiap penampilannya di luar sekolah. Itu sedikit aneh bagi Zahra. Namun saat melihat ekspresi wajah ketua gank-nya itu, ia pun memilih tak bersuara lagi. Keyzia sedang tidak berlega hati, batin Zahra sedikit miris.
Zahra tak memberikan reaksi apa pun sampai akhirnya Keyzia duduk. Biasanya, ia akan mengomel kalau Keyzia datang tak tepat waktu. Namun, tidak untuk kali ini. Keyzia sudah mengatakan bahwa ia akan datang terlambat. Saat meninggalkan rumah, ia lupa membawa koran-koran yang dibelinya tadi siang. Begitu berhasratnya ingin menunjukkan pada Zahra dan teman-teman, maka ia memutuskan untuk mengambilnya kembali ke rumah.
Sudah hampir satu jam Zahra duduk di kafe pancake. Bahkan, ia sudah menghabiskan dua kerat Brussel's waffle dan segelas fruit punch. Ia tak peduli berpasang-pasang mata mencuri-curi pandang ke arahnya. Banyak yang merasa aneh melihat cewek cantik duduk sendiri begitu lama. Namun, cewek berambut bob itu cuek. Satu jam yang lalu, Keyzia mengajaknya bertemu di sini. Bukan untuk membicarakan pelajaran sekolah tentu saja. Bukan pula ingin bercerita tentang Inu, cowok yang tengah digandrungi Keyzia.
“Ini nggak masuk akal sama sekali!” seru Keyzia setengah berteriak. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya. Namun, ia tak peduli. “Media-media bodoh ini mem-blow up berita murahan tentang batu cincin dan… Melody! Bayangin, Me-lo-dy!”
Keyzia sedang kesal. Zahra sangat tahu. Sahabatnya itu tak menyukai berita tentang Mel dan cincinnya yang memenuhi banyak media lokal dan nasional. Sejak pagi tadi ia sudah bercerita banyak kepada teman-teman gank-nya–Zahra, Asri, Leea dan Umi. Tetapi rupanya, menghabiskan waktu ber-WhatsApp ria belumlah cukup. Keyzia ingin bercerita langsung di depan mereka. Sialnya, tidak ada yang bisa bertemu di Minggu sore ini selain Zahra.
Umi, cewek jangkung berbadan agak subur, sedang menemani Leea mengunjungi rumah mamanya. Selama ini Leea tinggal bersama neneknya. Kedua orangtua Leea tidak tinggal seatap lagi. Cewek tomboy itu tak suka bepergian seorang diri. Maka, Umi yang tinggal satu kompleks dengannya, sering menjadi ‘tumbal’ saat cewek itu membutuhkan teman secara mendadak. Di antara yang lain, Leea satu-satunya anggota gank Celebrities Girls yang tidak sekelas. Ia masih duduk di kelas XI, sekelas dengan Mel cs.