“KEY… kemari, Sayang.”
Suara itu membuat langkah Keyzia merandek. Cewek berseragam SMA itu baru saja memasuki ruang tengah dan bermaksud menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Spontan ia membalikkan badan dan memaku langkah di pangkal tangga. Cemas melanda. Dag-dig-dug berdentam-dentam mengusik hatinya, tak ubah suara bedug tanpa irama.
Memang, belakangan ini Keyzia sempat menimbang-nimbang, kapan saat yang tepat untuk bicara dengan papanya. Dari pertengkaran dengan mamanya tempo hari, Keyzia yakin lelaki itu tahu banyak tentang akik. Ia ingin memastikan, apakah benar cincin yang dipakai Mel memiliki kekuatan. Bisakah kekuatannya bertahan jika cincin itu berganti pemilik? Jika isu yang beredar selama ini benar, inilah saatnya ia mengorek informasi dari lelaki itu.
Tetapi Keyzia tak pernah tahu, bagaimana cara mendekati papanya. Berbicara dengan lelaki itu bukanlah perkara mudah. Keyzia menyadari, selama ini tak pernah ada kedekatan di antara mereka. Candra tak pernah memiliki waktu untuk bicara. Bahkan hanya untuk bertatap muka sekali pun. Meskipun ada kesempatan untuk itu, selalu saja dilatari dengan ucapan-ucapan bernada kasar antara papa dan mamanya. Selalu saja tegang. Selalu saja bertengkar. Mereka seolah tidak pernah menyadari keberadaan anak semata wayang mereka.
Candra dan Salmah tak pernah ada setiap kali Keyzia membutuhkan. Dan sekarang, bisakah bicara dengan lelaki itu? Ah, aku bahkan takut bicara sama papaku sendiri. Sial!
Lelaki berambut cepak itu memandangi Keyzia dari tempatnya duduk. Bibirnya yang hitam karena asap rokok, menyunggingkan segurat senyum yang terlalu aneh. Bagaimana mungkin siang-siang begini papa mabuk dan ada di rumah, tanya Keyzia dalam hati. Yang ia tahu, lelaki itu kerap pergi di malam hari lalu datang selepas Subuh dengan tubuh terhuyung beraroma alkohol. Setelahnya, ia lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Lantas lelaki itu akan bangun ketika malam menjelang, menuntut dilayani segela kebutuhan kesehariannya, kemudian berkemas dan pergi lagi. Siapa pun hafal rutinitas lelaki bermata agak sipit itu.
“Ada yang aneh, Key? Kenapa memandangi Papa seperti itu?”
“Bb… bukan, Pa. Emm….” Keyzia mendadak gagap dan tak bisa bergerak. “Kay… ke kamar dulu, Pa. Hmm… Papa bisa tunggu seb … sebentar?”
“Tak perlu ganti baju dulu!” tukas lelaki itu seolah dapat membaca pikiran Keyzia. “Papa cuma mau bicara sebentar saja. Key nggak keberatan, kan?”
Keyzia masih berdiri kaku. Ia bingung dengan sikap Candra yang tiba-tiba baik. Dan senyum itu. Senyum yang tak pernah terlihat dalam keseharian. Juga kata-kata manis dengan nada yang begitu halus, nyaris tidak pernah Keyzia dengar, entah sejak kapan.
Yang Keyzia ingat sejak dulu, Candra begitu kasar. Meskipun tidak sering main tangan, tetapi ia terlalu gampang melontarkan kata-kata pedas. Yang ia ingat, lelaki itu kerap memaki mamanya dan semua orang di rumah ini. Selalu saja ada hal remeh-temeh yang dipersoalkan. Selalu saja ada persoalan kecil yang sengaja dibesar-besarkan. Akibatnya, setiap hari, dari pagi hingga petang selalu saja pertengkaran yang disuguhkan.
Sejujurnya, Keyzia sangat bosan. Dirinya menginginkan Candra seperti papanya Zahra, beristeri dua, tetapi memiliki waktu untuk bercengkrama meski hanya sesekali. Keyzia juga mendambakan papa seperti papanya Asri dan Leea, meskipun tabiatnya kasar, tetapi ia ada saat diperlukan. Atau, seperti papanya Umi. Single parent, suka pesta dan berfoya-foya bersama teman-teman bisnisnya, tetapi masih bisa diajak bicara kadang-kadang. Bukan limpahan materi semata yang Keyzia butuhkan. Bukan sama sekali. Ia benar-benar menyadari, keempat sahabatnya bisa lebih merasakan arti bahagia ketimbang dirinya.
Candra memang berbeda dengan ayah manapun. Lelaki itu tak pernah memberikan perhatian. Tidak pernah bercengkrama, bahkan hanya bertegur sapa sekadar berbasa basi. Parahnya, Salmah yang terlalu sibuk bekerja, juga tidak memiliki waktu untuk Keyzia. Mereka bertemu di meja makan hanya kadang-kadang saja. Sekalipun perempuan itu sesekali ada di rumah pada waktu week end, ia tetap saja sibuk mengurusi bisnis property-nya.
Keyzia menyesalkan sikap Salmah yang terlalu sering berteriak-teriak kasar meladeni suaminya. Padahal semua tahu, lelaki itu kepala rumah tangga yang sangat dominan. Salmah tidak mau mengalah. Tidak ada yang mau mengalah, tepatnya. Mereka tidak begitu peduli bagaimana perasaan Keyzia selama ini. Tidak heran, jika kemudian Keyzia melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya di luar. Selain Bi Onah dan Mang Kosim, hanya teman-teman gank-nya yang bisa memahami apa yang ia inginkan–sebuah gank yang terbentuk dari kesamaan rasa dan kesamaan kepentingan–pelampiasan kekecewaan dan butuh perhatian.
“Key, kenapa hanya bengong seperti anak hilang?” tanya Candra dengan suara penuh penekanan. “Papa hanya ingin bicara sebentar, kamu keberatan heh?”
Keyzia bergeming.
Melihat Keyzia tak bereaksi, lelaki berwajah bulat itu bangun dari duduknya. Dengan langkah cepat ia menghampiri Keyzia yang masih mematung. “Kamu menolak ngomong sama papamu sendiri, Key?” tanyanya agak kasar. “Gengsi bicara dengan orang biasa?!”
“Nggak, Pa,” sanggah Keyzia. Ia menundukkan wajah, memandangi ujung sepatunya.
“Ayok duduk. Papa ingin bicara!” Lelaki itu mencengkram pergelangan tangan Keyzia dan sedikit menyeretnya menuju sofa. “Kamu sudah besar, harus tahu tata krama!”
Keyzia membiarkan Candra memperlakukannya seperti itu. Tak ada perlawanan. Tiba-tiba ia merindukan sosok sang papa. Ia mendambakan kebersamaan. Keyzia ingin berbicara dari hati ke hati dan sangat ingin berbagi cerita; bahagia dan sedih. Sungguh, Keyzia sejak lama menantikan momen-momen yang selama ini hanya bisa diangankan.
Mendadak Keyzia teringat akan rencananya. Bukankah ini sebuah kesempatan? Maka, dirinya menurut saja ketika Candra meminta untuk duduk di hadapannya. Ada rasa yang bergumpal-gumpal dan saling berjejal. Ada berjuta harapan yang datang secara tiba-tiba. Bahagia, terharu, senang dan entah apa lagi yang kini menyelimuti nalurinya.
“Ada apa?” tanyanya seraya memainkan poni menggunakan telunjuk. Ia berusaha menghilangkan berbagai rasa yang memenuhi rongga dada. “Penting banget?”
Candra memandangi Keyzia agak lama. “Gimana sekolahmu, Key?” tanyanya ramah dan nada suara yang rendah. Lalu ia sibuk membuka kemasan rokok yang masih baru.
Sungguh, Keyzia sangat merindukan sapaan seperti itu. Seingatnya, inilah pertama kalinya dirinya mendengar pertanyaan sekaligus perhatian dari sang papa. Hatinya terenyuh. Haru mendera. Mendadak matanya terasa panas hingga genangan bening membaluri. Dalam hati ia berharap, hubungan papa dan mamanya sudah lebih baik. Bukan tidak mungkin, setelah ini mamanya juga akan berbicara dengan manis dan tidak bicara kasar lagi.
Ya, Tuhan. Terima kasih sudah menyadarkan kedua orangtuaku. Sudah sekian lama aku mendambakan perhatian dan kasih sayang mereka. Aku ingin ada kehangatan dan kebersamaan. Dan kini… semua menjelma nyata. Terima kasih….
“Keyzia, kalau orangtua tanya, tolong dijawab!”
Keyzia menggeragap dari lamunannya. Ia menyusut sudut mata dan memerhatikan Candra yang masih mengawasinya. “Iya, Pa. Maaf. Memang Papa mau ngomong apa?”
“Papa perlu bantuanmu, Key. Tapi, tolong rahasiakan ini dari Mama. Janji?”
“Kalau ini untuk kebaikan, Key janji,” sahut Keyzia, menghindari tatapan papanya.
Lelaki itu mengisap kreteknya berulang kali, seolah ia sedang menutupi kegelisahan. Namun matanya yang hitam terus mengawasi Keyzia yang tidak kalah resah. Aroma tembakau bercampur cengkih menyergap penciuman. Asap putih keabu-abuan bergulung di ruangan ber-AC. Agak lama, membuyar perlahan-lahan sebelum akhirnya lenyap.
“Papa sedang butuh tambahan modal, Key.” Nada suara lelaki itu begitu rendah, namun terdengar penuh ketegasan. “Bisa bantu Papa, kan?”
Keyzia mengendikkan bahu, meluruskan punggungnya ke sandaran sofa sebelum akhirnya bertanya. “Modal apa, Pa? Kayaknya selama ini bisnis Mama baik-baik aja….”
“Tak ada hubungan dengan Mama. Papa yang butuh!” tandas lelaki itu dingin.
Keyzia mengulas senyum samar. “Oh iya, Key Lupa. Papa, kan, nggak kerja.”
“Jaga omonganmu, Key! Kamu tidak tahu apa-apa….”
Keyzia merendahkan suaranya. “Key bisa bantu apa?”