Jilbab (Love) Story 2

Redy Kuswanto
Chapter #7

Romansa

ORA usah khawatir, Yan.” Suara Mel terdengar bijak di seberang telepon. “Aku yakin dan percaya, masih banyak orang yang waras, yang bisa berpikir logis.”

“Aku juga bisa berpikir logis, Mel,” sahut Ryan lirih. Ia masih mengamati beberapa tabloid yang memenuhi meja belajarnya. “Tapi jujur, aku miris dengan semua ini.”

Mel mendesah pelan di seberang sana. Ia sangat paham kekhawatiran Ryan. Cowok itu mencemaskan karier Mel akan segera berakhir. Sebab, banyak berita bernada negatif dan memojokkannya. Banyak media menyuguhkan berita dari kesimpulan mereka sendiri. Parahnya, hal ini diperkeruh oleh ulah Keyzia yang seolah mendapatkan peluang. Cewek itu tak pernah berhenti mengumbar cerita yang entah dari mana sumbernya. Pengguna berbagai media sosial pun dengan mudahnya membagi dan meneruskan berita-berita tersebut. Akibatnya, berita tersebar tidak terkendali, bahkan dalam hitungan detik.  

Setelah satu cerita dari Keyzia menjadi head line di tiga tabloid ibukota, beberapa media semakin latah; berlomba menurunkan berita dan cerita yang isinya hampir seragam. Dari kesemuanya, tentu saja, beberapa menilai negatif terhadap Mel. Ia yang selama ini menjadi ikon remaja muslimah dan begitu dielu-elukan, ternyata memercayai hal-hal mistis. Demikian yang mereka soroti. Sadisnya lagi, beberapa media menyebut Mel syirik.

“Sampai kapan kamu akan diam, Mel?” Ryan menggantung kalimat beberapa saat, “Kalau kamu nggak buka suara, mereka akan terus membahas ini. Mereka nggak akan berhenti. Dan kamu tahu, Keyzia akan tertawa riang dengan semua ini….”

Sajane aku ki mesake karo de e.”[1]

“Kasian? Sama Keyzia?” Ryan agak kesal. “Anak itu harus dikasih pelajaran!”

“Dia nggak tahu apa yang sedang dia lakukan.” Mel berusaha menenangkan Ryan. “Kupikir, kita nggak perlu nanggepin berlebihan. Dia pasti akan sadar suatu hari nanti.” 

Sejujurnya Ryan sangat ingin mengajukan pertanyaan yang selama ini menggelitik nalurinya. Hanya saja, keyakinannya begitu kuat terhadap Mel. Terlebih, ia tak menginginkan jika pertanyaan itu terlontar, Mel akan tersinggung dan sakit hati. Namun, seberapa kuatnya ia mencoba mengabaikan, pertanyaan-pertanyaan itu terus saja menjejali benaknya.

Ryan mengempaskan tubuh di tempat tidur. Dipandanginya langit-langit kamar yang berwarna broken white. “Sanggahanmu bisa sedikit meredakan pemberitaan di media. Mel.”

“Aku sempat hampir putus asa. Pernah kepikiran untuk melenyapkan cincin warisan itu,” timpal Mel masih dengan nada yang begitu tenang. “Lalu, aku merenung beberapa lama. Dan aku mulai yakin, ini ujian dari Allah. Orang bilang, semakin tinggi pohon, akan semakin kencang angin meniupnya. Ini hukum alam tanpa bisa kita hindari, kan?”

“Dan kamu rela, Keyzia menghancurkan kariermu?” Ryan menimpali. “Kamu rela namamu jadi kotor hanya gara-gara dia nggak suka dengan kesuksesanmu?”

Cowok berkulit putih itu berpikir, mungkin ini kesalahan Mel. Cewek itu tak pernah memberi konfirmasi atas pemberitaan dirinya. Mel memang masih tak terlalu peduli dengan ulah media. Pak Jay sendiri sering berpesan untuk tidak terlalu dipusingkan oleh ulah media yang nakal, nyinyir dan agak melanggar kode etik. Pesan Pak Jay; biarkan mereka mencari ketenaran dengan cara mereka sendiri. Biarkan mereka menjual berita dengan cara mereka sendiri. Toh pada akhirnya, yang lebih objektif dan jujurlah yang akan dipercaya masyarakat.

“Sekarang, biar saja dulu orang mau ngomong apa,” ujar Mel lagi. Nada suaranya terdengar begitu menyejukkan. “Kalau dipikir terus-terusan, bikin sakit hati, bikin stress, terus aku nggak bisa konsen kerja deh. Tapi… untung aku nggak sampai kayak gitu. Semua ini karena aku punya kalian yang begitu mengerti aku. Ini yang paling penting, Yan.”

Ryan berdiri dan terdiam beberapa saat. Dipandanginya foto Mel hasil jepretannya beberapa waktu lalu. Foto dalam figura kayu itu terletak di meja belajar. Senyum Mel terlihat tulus. Tatapannya mencerminkan kesederhanaan. Namun, pikiran Ryan masih dihinggapi kebimbangan. Benarkah Mel tetap akan menjadi cewek yang baik, jujur dan bijak? Bisakah ia tetap menjadi Mel yang dulu, Melody Prisha yang namanya indah terukir di dinding hati?

“Ya, aku paham banget, Mel.” Ryan meraih figura itu lalu mengusap pelan permukaan permukaanya. Senyum tipis mengembang. “Semoga kamu nggak akan tiba-tiba terbawa arus dan menghalalkan segala cara untuk meraih ketenaran. Aku yakin kamu bukan cewek kayak gitu. Tapi….”

Maturnuwun, Yan. Kamu selalu membesarkan hatiku.”

Ryan tersenyum samar. Kembali ia meletakkan figura di tempat semula. “Tapi… kalau boleh tahu, cincin itu memang keramat ya, Mel? Maaf kalau aku lancang.”

“Menurutmu gimana, Yan?” Mel tertawa pelan di ujung kalimatnya.

“Maaf sekali lagi, bukan aku nggak percaya kamu. Oke, abaikan.”

“Oya, papa dan mamamu baik?” tanya Mel, seolah sengaja mengalihkan topik.

“Mereka sudah mulai saling bicara. Terima kasih support-nya ya.”

“Aku yang harus berterima kasih. Kamu selalu jadi penyemangatku.”

Ryan merasakan wajahnya memanas. 

“Maaf, Yan. Aku harus pamit.” Mel menyudahi percakapan. “Besok, begitu sampai di Yogya, kita ngomongin rencana di Bantul itu. Oya, aku juga mau baca cerpen terbarumu yang kemarin dimuat di tabloid wanita itu. Sudah dulu, ya. Assalamu’alaikum.

***

SIANG itu cuaca cukup segar. Sesegar wajah Keyzia yang tengah duduk seorang diri. Cewek itu menekuri tablet-nya di kantin sekolah. Dirinya sedang bahagia. Setidaknya, itu yang Nuri lihat. Lalu ia pun memberanikan diri duduk di depan cewek paling populer di sekolah itu. 

“Key, bisa kita ngomong sebentar?”

Seakan tak percaya sapaan ramah barusan datangnya dari Nuri, agak lama Keyzia memandangi cewek berbadan tinggi dan langsing itu. Keyzia tak paham, mengapa Nuri bisa berubah drastis. Bukan saja cara berpakaianya, tutur-katanya pun sangat jauh berbeda. Sebelum cuti lebih enam bulan yang lalu, Keyzia tahu Nuri masih memusuhi Mel. Seingatnya, Nuri termasuk cewek modis yang urakan, pendendam dan kekanak-kanakan. Kenapa sekarang begitu berbeda? Meskipun berbagai pertanyaan bermunculan di kepala, tetapi Keyzia hanya diam hingga Nuri benar-benar duduk di hadapannya.

“Yang lain ke mana, Key?” tanya Nuri lagi, berbasa-basi membuka percakapan.     

“Kenapa?” Keyzia justru balik bertanya, “Kamu juga sendirian?”

Nuri kembali tersenyum memandangi Keyzia yang masih mengakrabi tablet-nya. “Teman-temanku ada di perpus, ada tugas yang harus mereka kerjakan.”

“Aku nggak wajib jawab pertanyaanmu, kan?”

“Nggak harus, Key,” sahut Nuri seraya tersenyum sopan.

Keyzia tak mengalihkan padangan. “Mau ngomong apaan?” tanyanya datar.

Diam sesaat. Suasana terasa sedikit kaku. Pelayan kantin–perempuan ramah setengah baya–membawakan minuman pesanan Nuri lalu memberesi gelas dan piring di meja lain. Perempuan itu hanya mengangguk pelan ketika Keyzia memesan lagi minumannya.  

Tak menunggu lama, Nuri meneguk minumannya, iced lemon tea beberapa kali. Ia tengah berpikir bagaimana caranya memulai bicara dengan cewek jomblo yang disegani banyak cowok itu. Jujur, dirinya tak merencanakan pertemuan ini. Saat melihat Keyzia duduk sendiri, terbersit niat itu di kepala. Namun, kini ia bingung harus dari mana memulai.

Nuri sangat paham siapa Keyzia. Cewek kaya dan suka dandan itu sangat mudah tersinggung dan marah-marah di depan umum. Apa pun yang tak sejalan dengan pikiran dan keinginannya, sudah pasti akan ia komentari dengan keras. Memang, Nuri tak pernah terkena dampaknya secara langsung, tetapi beberapa temannya pernah. Nuri juga sangat tahu Keyzia masih memendam dendam pada Melody–mungkin termasuk pada sahabat-sahabat Melody.

“Sebenarnya… ini bukan hal penting sih. Tapi….”

“Bukan hal penting?!” potong Keyzia. Ia memicingkan mata, memandang Nuri yang tengah memperbaiki letak jilbabnya. “Terus, ngapain harus diomongin?”

“Tapi penting buat kamu, Key,” sambung Nuri. Ia membenahi peniti pada jilbabnya.

“Maksudmu apaan sih?!”

Lihat selengkapnya