HARI ini 26 Mei 2016. Mel bersama teman-temannya mengadakan peringatan tragedi gempa Bantul. Acara dipusatkan di Desa Bawuan, desa kelahiran Mel. Selain doa bersama, beberapa acara pun di gelar. Ada acara makan besar bersama masyarakat dan anak-anak yatim-piatu dari daerah sekitar. Ada juga pembagian sembako gratis dan bazaar murah.
Bazaar murah adalah ide dari Ryan. Dibantu teman-teman sekolahnya, ia bergabung dengan Nuri cs dan beberapa orang sahabatnya. Zen pun tak ketinggalan ikut tergabung. Dua bulan terakhir, Ryan telah memimpin pengumpulan sumbangan barang-barang layak pakai dari masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Hasil yang terkumpul, mereka jual di Sunmor–Sunday Morning, pasar pagi di kawasan kampus UGM. Uang hasil penjualan, menjadi tambahan modal untuk membeli kebutuhan yang dijual di bazar murah.
Di tengah kesibukan dan keramaian acara, tempak Nyi Warti duduk di bawah tenda bersama Mr. Rudolf. Ada dua orang kontributor tabloid ibukota di sebelah mereka. Dua orang kuli tinta itu diam-diam tengah mengorek kisah di balik cincin milik Mel. Tak jauh dari tempat itu, Ummi Nurjanah terlihat sibuk. Ia bersama ibu-ibu dari Bawuan, membantu menyiapkan hidangan di dapur umum. Zen yang masih sedikit terpincang-pincang, terlihat semangat bersama Ryan dan beberapa teman cowok, membagikan sembako.
“Beberapa bulan setelah gempa, Bu Warti yang baik hati ini, datang ke tempat saya membawa cincin itu,” cerita Mr. Rudolf kepada dua orang wartawan. “Saya ingat, dia datang bersama dua orang cucunya yang selamat dari bencana gempa, bocah laki-laki dan gadis kecil. Mereka Melody dan Zendra. Bu Warti menunjukan surat yang dibuat Hasnan. Lelaki itu menulis, setelah ia pergi, cincin itu akan menjadi milik seseorang yang dicintainya….”
“Maksudnya, isteri Pak Hasnan?” tanya wartawan perempuan berkaca mata.
“I guess so,” sahut Mr. Rudolf dengan sangat perlahan. “Tapi… Wulan, perempuan berhati emas itu juga ikut jadi korban. Itu sebabnya, Bu Warti datang pada saya dan meminta ijin untuk memberikan cincin ini pada Melody.”
“Cincin ini merupakan kekuatan cinta,” sambung Nyi Warti lirih.
“Bagi Pak Hasnan dan Bu Wulan,” timpal wartawan lelaki meyakinkan.
“Iya, benar sekali,” sahut Nyi Warti dengan suara bergetar. Matanya yang sayu tampak sembab. “Cincin itu lambang cinta paling berharga bagi anak-anak saya.”
Wartawan perempuan manggut-manggut. “Lalu cincin itu diwariskan pada Mel?”
Nyi Warti berusaha tersenyum. “Benar sekali,” ujarnya lirih.
“Melody pantas menerimanya,” sambung Mr. Rudolf. “She is a good girl. Waktu itu ukurannya masih terlalu besar, Bu Warti harus menyimpannya lama. Tepat pada ulang tahun ke-15, Melody menerima cincin itu. Saya yang memakaikan di jarinya.”
“Kisah yang luar biasa,” komentar si wartawan lelaki.
Hening beberapa saat. Sang wartawan perempuan menarik napas lalu membuat beberapa catatan di buku kecil. Sejauh ini, baik Nyi Warti maupun Mr. Rudolf sama sekali tak menyinggung-nyinggung kekuatan magis atau apa pun. Lalu, bagaimana ceritanya sekarang cincin itu memiliki kekuatan supranatural? Apakah Mel meminta jampi-jampi pada orang pintar menjelang ajang pencarian bakat itu? Bisa jadi ini yang terjadi.
“Sayang Melody menjadikan cincin ini untuk tujuan nggak baik!” tiba-tiba seorang cewek berpakaian serba hitam hadir di antara mereka. Celana jeans ketat dan kaus tanpa lengan membalut tubuhnya yang langsing. Rambutnya yang super pendek dan kalung tali di lehernya, membuat penampilannya terlihat seperti anak laki-laki.
Cewek yang tak diketahui dari mana datangnya itu menatap Mr. Rudolf dan Nyi Warti bergantian. “Cerita kalian banyak bohongnya!” serunya tertahan. Suaranya mendesis di antara gigi-giginya. “Kalian tak bercerita kalau cincin ini punya kekuatan! Dan Melody menggunakannya untuk mendongkrak kesuksesan!”
“Why Melody should do that?” tanya Mr. Rudolf agak gelagapan.
Dua orang wartawan saling pandang.
“Semua tahu,” ujar cewek ber-eye liner tebal itu. “Melody punya kekuatan setan. Dan sebenarnya… saya ingin menolong dia, melepaskannya dari kekuatan cincin iblis itu!”