“KEY, Papa mau ngomong sebentar. Boleh?”
Hari masih sangat pagi ketika tiba-tiba Candra hadir di kamar Keyzia. Cewek itu sempat kaget luar biasa. Satu kesalahannya, ia membiarkan pintu kamarnya tak terkunci.
“Sebenarnya, Papa mau ngomong sejak kemarin-kemarin. Tapi kamu jarang ada di rumah.” Lelaki itu menyeringai, menampakkan gigi-giginya yang kecokelatan. Ia berdiri setengah membungkuk di ambang pintu. Tangan kanannya tertumpu pada grendel pintu bergambar singa, sementara tangan kirinya merapat di saku jeans yang agak ketat.
“Mau ngomongin ultah Key?” tanya Keyzia asal menerka. Ia lalu memberesi tempat tidur ala kadar dan duduk di sisi ranjang yang masih acak-acakan.
Tanpa menunggu jawaban, Candra duduk di kursi kayu di sudut kamar. Beberapa saat lamanya mata lelaki itu mengitari setiap sudut ruangan, tanpa bicara. Bibir hitamnya menyunggingkan senyum ketika matanya mengawasi beberapa figura pada dinding. Keyzia hanya menunggu apa yang akan disampaikan Candra. Sepi. Suasana terasa kaku.
“Papa boleh merokok?” tanya lelaki berdahi lebar itu memecah sunyi. Tangannya yang gemuk mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celana. Tanpa menunggu persetujuan dari Keyzia, ia menyalakan rokok. “Boleh pinjam asbak?”
Mata jernih Keyzia menyipit, memandangi lelaki di depannya yang tak berhenti mengawasi. Cewek itu tercekat beberapa saat. Merasa diperhatikan sedemikian rupa, Keyzia salah tingkah. Dengan gerakan agak kaku, ia memberesi rambut dan t-shirt merah muda yang ia kenakan. Beberapa lama ia hanya mampu menggigit bibir bawah dan meremas-remas jemari tangannya yang tiba-tiba terasa gemetar dan mendingin.
“Key, Papa rasa kamu nggak tuli!” tegur Candra dengan nada yang meninggi dan tajam. “Kamu tidak mau karpet mahal ini penuh abu rokok, kan?”
“Nggak ada asbak di sini,” sahut Keyzia sekenanya, tanpa memandang papanya.
Lelaki itu tersenyum. “Yakin? Apa harus Papa yang ambil, heh?”
Tanpa bicara, Keyzia lantas mencari-cari sesuatu di laci meja rias. Asbak! Ya, asbak kaca itu sengaja ia simpan di sana. Hanya dirinya yang tahu. Candra sempat terbelalak saat Keyzia meletakkan asbak kecil itu di hadapannya. Setelahnya, lelaki itu hanya mengangguk tanpa maksud dan tertawa tanpa suara. Ia berulang mengisap rokok lalu mengembuskan asapnya ke udara. Wajahnya yang bulat dan gemuk ditengadahkan ke langit-langit kamar.
“Papa sudah menduga,” ujar lelaki itu kemudian tanpa mengalihkan posisi wajahnya. “Papa tahu, kamu sering merokok di kamar. Tapi tenang, Mama tak akan tahu!”
Keyzia kembali duduk. Kerongkongannya mendadak kering. Ia membantin, bagaimana lelaki itu bisa tahu apa yang sering ia lakukan di kamarnya? Tak banyak yang tahu, selama ini ia sering diam-diam mengisap rokok. Hanya teman-teman dekatnya yang mengetahui kebiasaan itu. Keyzia sering melakukannya saat gundah melanda. Meskipun keempat sahabatnya sangat anti rokok, Keyzia belum bisa menghentikan kebiasaan itu. Terkadang, rasa takut datang juga. Umi pernah bercerita, penyebab kematian mamanya, salah satu sebabnya karena perempuan itu terlalu banyak merokok.
“Gimana Papa tahu kalau Key merokok?” tanya Keyzia akhirnya, tanpa ekspresi.
Candra tertawa agak panjang. Matanya yang hitam lekat di wajah Keyzia. “Puluhan botol pengharum ruangan tak akan bisa menyembunyikan aroma rokok, Key. Tapi… sudahlah, tak perlu dibahas. Papa janji, tak akan membuka rahasia ini. Tenang saja.”
Keyzia mendadak gelisah. Ia menelan ludah yang terasa mengering di kerongkongan. Resah menjerat. Bukan karena Candra sudah mengetahui kebiasaannya, melainkan melihat tingkah lelaki itu. Sungguh, Keyzia tak suka kehadiran Candra di kamarnya. Ia tak suka acaranya terganggu dan kesenangannya terusik. Padahal, ketika lelaki itu muncul, Keyzia sedang chatting dengan Ragiel melalui Line. Ragiel tengah membicarakan rencana kedatangannya ke Yogya. Sekarang, ia terpaksa menghentikan obrolan itu tanpa memberitahu alasannya. Ah, sungguh menyebalkan, maki Keyzia dalam hati.
“Tutup saja pintunya!” pinta Candra kemudian.
Keyzia menggaruk-garuk keningnya yang tak gatal. “Kenapa, Pa?”
“Karena Papa ingin bicara,” tukas lelaki itu lirih. Tangannya sibuk mematikan puntung rokok di dalam asbak. “Dan… Papa tak mau ada orang yang dengar.”
“Ini hari Minggu, Pa,” tukas Keyzia tanpa beranjak dari tempatnya. “Bukannya Mama nggak pernah ada di rumah walaupun libur? Ngomong aja, Pa. Tapi… kalau bisa sih, nggak usah lama-lama. Key harus pergi nih, mau ketemu teman.”
Serta-merta, lelaki itu bangun dari duduknya. Dengan gerakan secepat angin, ia menutup rapat daun pintu yang semula membuka setengahnya. Keyzia sempat terperangah, namun akhirnya hanya diam setelah mengempaskan napas secara kasar.
“Papa tak mau basa-basi lagi, Key!” kata lelaki itu seraya menyejajari Keyzia. Lalu tangannya merangkul pundak anak perempuannya. “Tolong jangan halangi keinginan Papa, Key. Meskipun Papa yakin, kalau mamamu tahu ini, ia akan murka….”
“Mak… maksud Papa?!” Keyzia mendadak gagap. Suasana hatinya tak karuan.
“Key, bisa bantu Papa sekali lagi?” Lelaki itu menurunkan nada suaranya. “Papa janji tak akan membocorkan ini… juga tak akan membuka rahasiamu….”
Keyzia memberanikan diri menatap wajah lelaki itu. “Ban… bantu apa, Pa?”
Lelaki itu mengeratkan rangkulannya. “Papa butuh tambahan modal lagi, Key. Papa mohon, bantu Papa lagi ya, please. Papa janji, akan mengembalikan semuanya.”
Keyzia melepaskan rangkulan lengan papanya. Ia berdiri dengan wajah memerah. Matanya berkilat memandangi wajah tambun lelaki yang tengah menyeringai itu. Darah di tubuhnya seolah merangsek ke ubun-ubun dalam sekejap.
“Pa, Key lagi mikirin pesta ulang tahun sebentar lagi!” tukas Keyzia dengan suara yang tertahan, Bibirnya bergetar. Ada sesuatu yang bergelayut di kelopak matanya dan begitu memberat. “Papa pikir Key gudang uang apa?!”
“Hey, hey. Tenang dulu, Kay.” Lelaki itu berdiri dan berusaha mendekap puterinya. Namun, Keyzia justru menghindar. “Papa dan Mama selama ini memenuhi semua keinginanmu. Apa yang kamu nggak punya ha? Ketenaran dan kaya. Sekarang, di saat Papa membutuhkan bantuan, itu jawaban yang kamu beri? Astaga, Key!”