Jilbab (Love) Story 2

Redy Kuswanto
Chapter #12

Yang Didamba

BEGITU memasuki taxi di depan bandara dan menyebutkan tempat yang dituju, Keyzia lalu menghubungi Ragiel. Entah untuk yang keberapa kali. Tetap saja gagal. Kedua nomer yang selama ini digunakan sebagai media berkomunikasi, seolah sekali tak berfungsi. WhatsApp dan Line pun tak aktif. Kenyataan ini membuat Keyzia semakin tak mampu menahan geram. Kesal berjejal-jejal. Mata beningnya berkaca. Namun, sekuat tenaga ia menggigit bibir bawahnya. Dirinya mencoba bertahan, tak ingin menangis–saat ini atau kapan pun.

Kalau saja ia bisa berbicara dengan Ragiel saat ini juga, tentu ia akan menumpahkan kekesalannya pada cowok itu. Kini semuanya terbukti kalau omongan papanya benar, Ragiel sedang memanfaatkannya. Bahkan, Ragiel yang telah berjanji akan datang untuk menyaksikan penampilannya pada konser tunggal Mel, berkirim kabar pun tidak. Ia raib bagai di telan bumi. Keyzia ingin tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi dengan cowok itu. Maka segera setelah tugasnya di panggung usai, ia memesan tiket online untuk penerbangan ke Jakarta. Tak tanggung-tanggung, ia pun memesan penerbangan paling awal.

Tanpa berpamitan pada Salmah dan Candra, Keyzia hanya berpesan pada Bi Onah agar tak membuka kamarnya. Tak perlu dibersihkan, katanya. Selalu begitu. Selama ini, tak pernah ada ritual minta izin dan berpamitan secara baik-baik di keluarga mereka. Bahkan terlalu sering Salmah atau Candra pergi hingga berhari-hari dan tak ada yang tahu ke mana.     

“Semua baik?” tanya supir taxi berlogat Betawi saat melihat wajah Keyzia muram. Ia meneliti wajah Keyzia melalui spion tengah. “Jetlag atau bagaimana?”

Cewek ber-tank top biru itu berusaha menahan isak. “Nggak papa,” jawabnya pelan seraya menutupi hidung dan mulutnya menggunakan ujung syal. “Sudah, jalan saja.”

“Sip, Mbak. Kalau masalah cowok mah, nggak usah terlalu dipikirin.”

“Saya sudah bilang kalau saya nggak papa,” sahut Keyzia sedikit ketus. Sungguh, ia tak suka lelaki tua di depannya terlalu cerewet. “Pacar saya juga baik-baik saja kok.”

Lelaki berwajah tirus itu tersenyum. “Syukurlah,” ujarnya sok perhatian.

Tidak. Keyzia tidak baik-baik saja. Kini kesal semakin menyelimuti relung hatinya. Di saat bersamaan, tiba-tiba ia merasa sendiri. Hatinya nelangsa. Kosong. Tak tahu harus ke mana melampiaskan semua keresahan dan kekesalannya. Benarkah Ragiel sedang mempermainkannya? Kenapa ia tiba-tiba menghilang dan susah dihubungi? Keyzia benar-benar tak paham. Mungkin saja Ragiel tahu kedatangannya ke Jakarta. Bisa jadi cowok itu sengaja menghindarinya. Ah, dasar pengecut, maki Keyzia dalam hati.

Taxi biru yang ditumpangi Keyzia berjalan perlahan di jalan Thamrin. Suasana sepagi ini sudah sesak. Padat. Berantakan. Persis seperti hatinya saat ini. Kendaraan di kedua ruas jalan menyemut. Entah berapa lama lagi ia akan tiba di tempat tujuan. Kesal dan tak sabar semakin merasuki saja. Tanpa gairah, ia membuka navigasi di tablet-nya. Jalan Sudirman, jalan Prapanca, jalan Antasari, Kemang lalu jalan Benda. Ah, masih jauh.

“Pak, nggak ada jalan pintas ya?” tanya Keyzia berharap. Sekilas ia membaca identitas pak supir dari tanda pengenal serupa co-card yang menggantung pada kemudi. “Pak Umar, saya nggak mau jamuran karena kelamaan di jalan.”

Lelaki berseragam biru motif batik itu melirik dari kaca spion. “Jalan pintas sih banyak, Mbak. Tapi jam segini justru padat.” Ia menggantung kalimatnya beberapa saat sebelum bertanya, “di jalan Benda, ada keluarga atau siapa, Mbak?”

“Iya, keluarga,” jawab Keyzia sekenanya.  

Sebenarnya, Keyzia tidak pernah yakin dengan alamat tujuannya. Alamat yang ia dapat dari bekas pembungkus paket cincin itu, bisa jadi memang benar alamat rumah Ragiel. Kalaupun bukan, toh ia akan tahu apa yang akan ditemuinya di sana. Dirinya sudah bertekad dan meneguhkan hati. Ia tidak akan menyesal jika menemukan kenyataan yang jauh dari dugaannya. Ya, Keyzia sudah berjanji akan siap dengan segala risiko yang ada.

Perlahan, Keyzia merasakan rasa benci mulai menjalari hatinya. Cowok manis itu ternyata memang curang. Sungguh, ia tak pernah menduga jika kebaikan Ragiel hanya kedok semata. Keyzia ingin marah. Ingin memaki cowok itu. Tetapi sudah tak terhitung berapa kali Keyzia mencoba menghubungi Ragiel, tetap saja gagal. WhatsApp dan Line yang ia kirimkan, belum juga terbaca. Ah, sialan! Keyzia memaki lagi di dalam hati. Tanpa sadar, ia memukul-mukulkan tinjunya pada jok mobil. Sesekali, terlihat gusinya mengencang. 

Lihat selengkapnya