MATAHARI menyengat kulit, membakar kesibukan orang-orang di pelataran Candi Prambanan di sisi barat. Beberapa orang lelaki sibuk menurunkan palang-palang besi dan tenda. Sebagian lainnya berkutat di bagian tengah. Mereka sedang membongkar center stage–panggung tambahan yang dibuat menjorok ke tengah area penonton. Sementara di beberapa sudut tempat, beberapa orang lelaki dan perempuan memungut dan mengusungi sampah dari area pelataran, membawanya ke sisi area melalui tangga di sisi kiri dan kanan.
Di tengah kesibukan itu, Mel, Nyi Warti, Ryan dan Nuri terlihat memutari area center stage yang masih dipenuhi sisa-sisa bunga dan hiasan dari styrofoam. Gerakan mereka sangat perlahan. Setiap centi lantai batu tak luput dari pengawasan mereka. Terkadang tangan-tangan mereka sibuk menyingkirkan sesuatu yang menghalangi pandangan. Entah sudah berapa lama mereka berada di tempat itu. Keringat terlihat menetes di dahi-dahi.
“Sudah, Uti istirahat saja. Duduk di sana ya?” pinta Mel pada Nyi Warti, lalu membimbing neneknya ke kursi permanen di area penonton. “Biar kami yang nyari lagi.”
Meskipun awalnya sempat protes, perempuan 70 tahun itu akhirnya menurut. “Sudah hampir dua jam kita mencari, Nduk,” katanya setelah mereka berhasil mencapai tempat yang dituju. “Kalau boleh kasih saran, Uti rasa kamu harus mau mengikhlaskan cincin itu. mungkin Gusti Allah menghendaki demikian.”
Mel menjejeri Nyi Warti. Pandangannya jatuh ke area panggung, memandangi Ryan dan Nuri yang masih setia meneliti setiap jengkal lantai batu. “Kita tunggu sebentar lagi, Uti. Sambil nunggu semua sampah di sekitar situ bersih. Siapa tahu nyelip di satu tempat.”
“Kita sudah pesan sama semua orang yang ada di sini,” komentar Nyi Warti pelan. Tangannya sibuk mengeringkan keringat di dahinya. “Uti rasa, kalau para pekerja itu menemukannya, mereka akan segera memberi kita laporan. Iya, kan?”
“Belum tentu, Uti. Banyak loh yang mengincar cincin itu.”
Nyi Warti memandangi Mel serius. “Ngincer kepiye to, Nduk?”
“Banyak orang yang sudah menawar cincin itu, baik ke Mel langsung maupun melalui Pak Jay.” Mel meneliti jari manisnya. Di sana cincin itu selalu bertengger indah. “Jangan salah, Uti. Banyak yang meyakini cincin itu benar-benar pembawa keberuntungan. Bahkan, ada pejabat dari Jakarta yang berani bayar mahal. Bisa jadi, kalau orang yang menemukan cincin itu dengar berita ini, tak akan menyia-nyiakan peluang….”
“Nduk?”
“Siapa yang nggak pengen rezeki nomplok, Uti?”
“Nduk, aja ngarani elek to ah. Jangan berprasangka buruk begitu,” tukas Nyi Warti lirih. Tangannya mengusap pipi Mel pelan. “Uti ndak percaya mereka punya niat culas seperti itu. Mereka orang-orang yang jujur. Lihatlah wajah-wajah mereka.”
“Uti benar banget. Maafin Mel sudah berpikiran jahat.” Cewek itu menggenggam tangan Nyi Warti yang masih berada di wajahnya. “Mel harus kembali ke sana. Coba nyari lagi, Uti. Mel tahu persis di mana posisi Mel tadi malam. Jadi… Mel harus ada di sana, memastikan cincin itu nggak kebawa tumpukan sampah. Uti tunggu di sini saja.”
“Tapi, bisa saja cincin itu ada di tangan penggemarmu, Nduk.”
“Entahlah, Uti. Semoga usaha kita nggak sia-sia ya….” Mel menerawang beberapa saat. Membayangkan keriuhan penonton yang semalam mengerubutinya. Nyi Warti bisa saja benar, cincin itu sudah berada di luar sana, di tangan salah satu penonton.
Nyi Warti merengkuh Mel ke dalam pelukan. Tiba-tiba rona sedih hadir di wajah tuanya. “Uti paham, bagimu cincin itu ndak ternilai, Nduk. Bahkan… bagi Uti juga begitu. Ning Uti njaluk, kowe ora perlu susah,[1] ndak perlu sedih kalau ndak berhasil menemukannya. Kowe kudu ikhlas mbo ben rasane ya mesti abot tenan.[2] Janji sama Uti, ya?”
Mel mengeratkan pelukan. Ya, ia sudah mencoba berdamai dengan perasaanya sejak semalam. Ia sudah berusaha mengenyahkan sedih dan kecewa. Namun, rasa kehilangan itu masih saja terasa menghunjam. Kehilangan yang teramat sangat. Selama memiliki dan memakai cincin itu, Mel merasakan kehadiran orang-orang terkasih di sisinya. Mel merasakan kehangatan cinta yang tak ada bandingannya dari ayah dan ibunya juga Ony, kakaknya. Kehilangan cincin yang telah menemaninya semenjak beranjak remaja, Mel merasakan sesuatu hilang dari dirinya. Jujur, Mel belum bisa menerima kenyataan itu.
Untung saja, dalam konser tunggalnya tadi malam, lagu terakhir yang ia nyanyikan bersama Keyzia begitu melankolis. Aksinya yang luar biasa, menyamarkan perasaan yang sesungguhnya ia pendam. Mungkin sebagian penonton mengira Mel begitu menjiwai dan menghayati lagu yang ia bawakan. Padahal sesungguhnya, hati Mel amat nelangsa. Pilu yang tak mampu ia lukiskan hanya lewat ucapan. Penontonlah yang sesungguhnya berperan menyembunyikan luka di hatinya, lewat hingar tepukan dan pujian membahana.
“Kalau nanti nggak ketemu, Mel mohon Uti jangan marah,” bisik Mel di telinga Nyi Warti. “Mel tahu, ini kecerobohan yang Mel lakukan. Ini benar-benar menyadarkan Mel, selama ini begitu terlena dengan histeria penonton. Ini memang salah Mel, Uti.”
Bibir Mel bergetar. Ia tak kuasa menahan derai air matanya. Rasa bersalah kembali menyelimuti, terutama pada ayah dan ibunya. “Ayah sama Bunda akan marah, Uti. Mel nggak bisa menjaga lambang cinta kasih mereka. Mel harus bagaimana?”
“Sstt! Wis, ora usah nangis meneh.” Nyi Warti mengusap air mata di pipi Mel. Ada rasa pilu menyergapnya secara tiba-tiba. Kendati demikian, perempuan gesit dan segar itu masih berusaha menghibur cucunya. “Sudah, benahi kerudungmu. Lihat, Inu, Maya dan Arum datang tuh. Uti tunggu di sini. Kalian cari lagi sebentar. Habis itu, gimana kalau kita makan siang di rumah? Wis suwi to ora kumpul-kumpul, mereka pasti kangen.”
Mel membenahi kerudung tosca yang dikenakannya. Ia tersenyum dan mengangguk pelan, meyakinkan neneknya bahwa ia baik-baik saja. Saat ketiga temannya menghampiri, ia melambaikan tangan menyambut mereka. Rasa sedih masih saja menggelayuti. Namun demikian, masih ada setitik harap untuk segera bisa menemukan cincin kesayangannya.
***
“TERUS apa namanya kalau bukan menghindar, heh?” Wajah Keyzia memerah. Ada linangan bening di matanya. Bibirnya yang seranum kelopak mawar bergetar. “Aku tahu dari ayahmu, kamu sibuk ke luar kota karena banyaknya pesanan.”
Cowok bermata cokelat itu menumpukan kedua siku di meja kaca, menyangga wajahnya yang terlihat tenang. “Ayah benar, aku memang sudah tiga hari di Kalimantan. Ada beberapa penjual batu mulia di daerah yang menginginkan transaksi face to face….”
“But it doesn’t mean you can forget me just like that, Ragiel!” bentak Keyzia semakin histeris. Ia tak peduli beberapa pasang mata di restoran itu meliriknya. “Kenapa juga harus matiin semua hp? Kalau alasan sinyal, emang Kalimantan dunia antah berantah?”