Jilbab (Love) Story 2

Redy Kuswanto
Chapter #14

Tabir yang Terkuak

TAK ada sedikit pun hasrat untuk tinggal lebih lama di Jakarta. Terlebih setelah kejadian siang kemarin. Di sini Keyzia tak punya siapa-siapa untuk berbagi cerita dan berbagai suasana hati. Ada keinginan untuk mengadu pada Zahra, Umi, Asri atau Leea. Setidaknya, agar mereka tahu bahwa ia telah memutuskan hubungan dengan Ragiel. Tetapi ia terlalu gengsi dan ragu. Mungkin mereka akan senang, atau justru akan tertawa dan menyalahkannya. Entahlah. Sesal menyeruak. Kini ia sadar, datang ke Jakarta adalah keputusan yang salah.  

Namun, sesuatu terlalu mengusik pikirannya. Sesuatu yang telah mengundang rasa penasaran lebih besar dari rasa apa pun saat ini. Figura besar di rumah Pak Aang! Ya, figura berwarna cokelat keemasan pada dinding di dekat tangga menuju ke lantai dua. Maka, setelah memastikan bisa berkunjung dan bercakap secara leluasa, tanpa banyak pertimbangan, Keyzia pun menghubungi Pak Aang. Ia memohon izin untuk berkunjung.

“Ragiel sudah berangkat kemarin malam. Ketemu pemasok batu di Pacitan,” terang Pak Aang begitu Keyzia memasuki ruang tengah. “Kalian ndak sedang bermasalah to?

Keyzia menggeleng pelan, meyakinkan lelaki berkaca mata itu. Rasanya tak perlu menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dan Ragiel. Ia rasa itu tak penting lagi saat ini. Lagi pula, Pak Aang tak perlu curiga jika kedatangannya kali ini membawa misi yang lain. Meskipun ada sisa amarah yang masih menggumpal, Keyzia berusaha berdamai dengan perasaannya. Ia pun duduk manis pada sofa, di depan Pak Aang. Dari posisi duduknya, Keyzia bisa leluasa memandang seisi ruangan. Teduh. Terasa nyaman dan adem.

Pada dinding berwarna gading dengan aksen kayu jati di beberapa bagian, terdapat lukisan-lukisan karya maestro, baik lokal maupun internasional. Di salah satu sudut ruang, berdiri piano besar. Ia terka termasuk barang antik. Tak jauh di sebelahnya, terdapat gramophone di atas meja kecil berukir. Corongnya yang besar dan berwarna tembaga menyerupai bunga bakung merah raksasa. Sementara foto-foto berfigura besar menghiasi dinding dekat tangga menuju lantai dua. Suasana rumah ini terasa sangat berkelas.

“Keyzia masih sibuk menyanyi?” tanya Pak Aang ketika melihat cewek itu lama terdiam. “Masih sering bolak-balik Jakarta-Yogya to?”

Keyzia mengendikkan bahu, memandang heran wajah lelaki bersarung itu.

“Saya ndak kuno-kuno banget loh,” papar Pak Aang sambil tertawa renyah, seolah mengerti apa yang ada di benak cewek belia di depannya. Logat Jawa-nya sangat kental terdengar. “Siapa yang ndak kenal Keyzia, sang diva baru yang penuh sensasi itu.”

“Sensasi, Pak?”

Lha iya to.” Pak Aang tergelak lebih keras. “Televisi dan koran banyak yang membahas. Lebih-lebih tentang cincin itu. Wah, semua heboh. Tapi, ya kamu beruntung banget, namamu semakin banyak disebut-sebut orang. Bisa makin tenar to?”

“Entahlah, saya harus bahagia atau sedih dengan semua ini.”

Lelaki berdahi lebar itu memandangi wajah Keyzia serius. “Kenapa harus bingung?” tanyanya, lalu dijawabnya sendiri. “Ndak perlu terlalu serius menanggapinya. Terima saja dengan lapang dada. Toh sama sekali ndak selalu merugikan. Inilah hidup, Keyzia. Selalu akan terjadi hal-hal di luar dugaan dan nalar, kan? Ambil saja sisi positifnya. Aman.”

Percakapan mereka terhenti ketika Bi Sri, perempuan setengah baya menyuguhkan dua cangkir teh yang mengepulkan asap tipis dan sepiring pisang goreng. Aroma melati menguar sesaat. Perempuan dengan rambut digelung itu menyilakan, lantas segera beringsut ke belakang. Ia menghilang di balik pintu dapur.

“Ibu di mana, Pak?” tanya Keyzia sesaat setelah Bi Sri menutup pintu. Sejak kemarin, ia tak melihat perempuan lain di rumah ini. Bahkan, selama mengenal Ragiel, cowok itu tak pernah menyebut-nyebut ibunya. “Maksud saya, isteri Pak Aang.”

“Dia sudah lama ndak ada. Saya pikir Ragiel pernah cerita.” Serta merta pandangan lelaki itu mengarah pada satu figura di sebelah tangga. Sejujurnya, Keyzia pun sejak tadi mencuri-curi pandang ke arah yang sama. “Dia meninggal saat Ragiel berumur 5 tahun, Juni 2001. Terkena malaria kata dokter. Sakit yang sangat tiba-tiba.”

“Maaf, Pak.” Keyzia merasa bersalah. “Maaf kalau bikin Pak Aang sedih.”

“Oh, ndak papa. Santai saja kok,” ujar lelaki itu. Ekspresi wajahnya tak berubah dari semula. Ia lalu beranjak dari sofa dan berdiri di depan figura foto itu. “Lihat ke sini, Keyzia. Dan jangan terkejut kalau ternyata semua ini di luar dugaanmu.”

Sebenarnya ini yang sejak tadi Keyzia nanti. Betapa dirinya ingin menyaksikan dari dekat salah satu wajah dalam foto itu. Ia pun bergegas menghampiri Pak Aang dan berdiri bersebelahan dengannya. Tak ada yang istimewa dalam foto itu. Hanya ada seorang lelaki dan dua orang perempuan. Keyzia menerka, usia mereka berkisar 25 atau 30 tahun. Perempuan berambut ikal melampaui bahu berdiri di tengah-tengah. Ia menggendong bayi. Di sebelah kanannya, perempuan langsing berambut sebahu merapat. Sementara di sisi kiri, berdiri lelaki kurus berkaca mata dan mengenakan kaus oblong warna putih. Terlihat jelas, itu sosok Pak Aang muda. Hanya tubuh dan rambutnya yang berubah.

Khawatir menciptakan leguh, Keyzia menelan ludah pelan. Matanya tak lepas dari wajah perempuan berambut sebahu itu. Ia mengenakan kemeja pendek motif berwarna merah. Ada renda warna senada pada garis leher dan lengan. Rok span sebatas lutut terlihat serasi di tubuhnya. Menyaksikan garis dan rona wajah perempuan berkulit bersih itu, Keyzia seperti tengah menghadapi sebuah cermin. Ia melihat dirinya di sana, tersenyum dengan kedua mata yang berbinar. Keyzia tercekat. Ingin mengatakan sesuatu namun urung.

Tangan Pak Aang menjangkau figura dan meraba permukaanya. “Ini Darsih, isteri saya,” katanya menjelaskan. Suaranya mendadak terdengar parau dan sendu. “Yang ada dalam gendongannya adalah Ragiel, waktu itu belum setahun usianya. Ini satu-satunya foto bersama kami yang terbaik. Tentu, banyak foto lain di album, tapi ndak sebagus ini.”

“Perempuan di sebelahnya?” kejar Keyzia tak sabar.

“Perempuan di sebelahnya … saya rasa kamu sudah tahu siapa.” Lelaki itu kembali ke tempat duduknya semula. Keyzia membuntuti. “Ya, dia Salmah muda, ibumu.”

Kendatipun sejak awal sudah menerka-nerka, namun tak urung Keyzia terhenyak mendengar kalimat itu. Sulit dipercaya jika Pak Aang dan mamanya ternyata saling mengenal. Betapa sempit dunia ini. Tak ubahnya cerita sinetron, selalu saja ada kebetulan yang terkadang tidak masuk akal. Kini, serentetan pertanyaan pun menyerbu benaknya.

“Jadi… Ragiel dan Pak Aang sudah tahu siapa saya sejak dulu?” tanyanya pelan penuh nada kecewa. Rasa perih menggores di ulu hatinya. “Benar dugaan saya, kalian sengaja memanfaatkan saya! Kenapa… kenapa ayah dan anak sama saja?”

“Sebentar… sebentar.” Pak Aang berusaha menenangkan cewek yang tampak ringkih itu. Ia menyesap tehnya sebelum melanjutkan. “Ini ndak seperti yang kamu pikirkan.”

“Lalu?”

“Tentu saya mengenal Salmah, ibumu. Dia bukan sekadar teman, tetapi saudara dekat. Tapi jujur, baru kemarin-kemarinlah Ragiel dan saya tahu kalau Keyzia adalah putri tunggal Salmah. Ragiel menanyakan tentang kemiripan Salmah dan foto itu pada saya sehabis menghadiri ulang tahunmu. Saya cerita yang sebenarnya. Dua hari kemudian, Salmah datang ke sini. Dia mengingatkan Ragiel agar tidak meneruskan hubungan….”

“Ini bukan lelucon, kan, Pak? Terus, ngapain Mama ke sini?”

Lihat selengkapnya