Jilbab (Love) Story 2

Redy Kuswanto
Chapter #15

Pengakuan

RUMAH mewah berlantai dua itu tampak sunyi. Pintu gerbangnya yang berwarna tembaga tertutup rapat. Pada rumput halaman yang hijau, beberapa burung gereja mematuk-matuk bunga rumput. Mereka terkadang berkejaran, saling mengepakkan sayap di udara, lalu kembali ke tempat semula. Angin berembus pelan, menjatuhkan dua helai daun kamboja tua. Matahari menegak ke garis tengah langit, sinarnya tak terlalu membakar.

Di sisi jalan masuk berbatako putih yang kedua sisinya dihiasi kerikil hitam, terdapat pos satpam yang juga sepi. Pemuda berseragam biru putih tengah duduk terkantuk-kantuk di dalamnya. Memang cuaca hari ini terasa sedikit panas dan gerah, tetapi embusan kipas angin sudah mampu membuatnya nyaman. Suasana yang klop untuk tidur siang. Di depannya, televisi menyala nyaris tanpa suara, menayangkan panggung musik dangdut.

Bi Onah, perempuan baya bermata sayu mondar-mandir di teras depan. Wajahnya terlihat kuyu dan menyiratkan kecemasan. Sesekali ia melongokkan kepala ke ruang tengah melalui pintu, seperti mencari-cari sesuatu.

Mugi Gusti nangtayungan Si Eneng,” bisik perempuan itu lirih. “Gusti, karunya pisan Si Eneng. Sepertosna, teu acan tiasa nampi kanyataan saha diri anjeunna.”[1]

Dari pintu samping yang menghubungkan halaman depan dan dalam, muncul lelaki kurus dan berpeci. Langkahnya sedikit tergopoh. Mang Kosim, lelaki bermata cekung itu menghampiri Bi Onah lalu menarik-narik tangannya, membawa perempuan itu ke dalam.

“Kita harus bagaimana?’ tanya Bi Onah setengah berbisik. Langkahnya terseok membuntuti langkah Mang Kosim yang gesit. “Si Eneng masih di kolam?”

Mang Kosim bungkam. Ia terus melangkah menuju halaman samping. Di sisi rumpun kecombrang ia berhenti. “Lihat, Neng Keyzia masih di kolam renang,” bisiknya. “Sudah lama sekali, tapi belum juga keluar. Coba kamu ke sana. Takut kenapa-napa. Kasian….”

“Si ibu teh di mana?” Bi Onah balik bertanya. “Masih di kamar?

“Tadi sempat membanting pintu dan masuk ke kamarnya lagi.”

Sepasang suami isteri itu terus mangamati sosok Keyzia yang berada dalam air. Posisinya setengah telentang. Cewek itu berada di pojok kolam renang. Hanya bagian kepala yang berada di permukaan. Sudah sekian lama ia membuang pandangan jauh ke luar tembok yang mengelilingi rumahnya. Entah apa yang ada di pikiran cewek itu. Bi Onah dan Mang Kosim ingin sekali mendekat, mengajak bercakap. Atau setidaknya menanyakan apa yang ia perlukan. Tetapi, mereka sama sekali tak memiliki keberanian. Bi Onah dan Mang Kosim yakin, suasana hati Keyzia sedang tak nyaman. Sesuatu baru saja terjadi di sini, di rumah ini.

Pagi tadi, dari bandara Keyzia tidak langsung pulang ke rumah. Ia justru meluncur ke kawasan Condong Catur, mendatangi kantor perumahan ternama di Yogyakarta. Di sanalah Salmah berkantor dalam kesehariannya. Selain pemilik, perempuan itu juga menjadi konsultan untuk beberapa perusahaan sejenis, baik di dalam dan di luar Yogyakarta. Dan Keyzia tidak ingin membuang-buang waktu. Ia ingin berbicara dengan mamanya–ingin menumpahkan segala kekesalan dan kekecewaan yang ia bawa sejak dari Jakarta.

Begitu memasuki ruang kantor mamanya, Keyzia tak bisa menahan diri. Ia menyerang Salmah dengan tuduhan telah membohonginya. Bahkan kata-kata kotor dan tak pantas diucapkan pun meluncur deras dari bibir cewek itu. Meski terkejut, Salmah tak ingin ribut. Terlebih, tak sudi mempertontonkan kemarahan anaknya. Perempuan tamatan SMP itu terlalu takut jika semua orang di kantornya tahu apa yang sedang terjadi. Gengsi harus dipertahankan. Ia juga tak ingin wibawanya jatuh di depan para bawahannya.

“Segera pulang, Keyzia. Mama segera menyusul!” pinta perempuan itu dengan nada ketus. Dadanya naik turun. Lalu ia sibuk memberesi berkas-berkas di atas meja. “Setan apa yang kamu bawa dari Jakarta heh? Jangan bikin onar di sini. Ayok segera pulang!”

Meski hatinya semakin mendongkol dengan sambutan mamanya, Keyzia akhirnya meneruskan perjalanan dengan taxi yang ia sewa dari bandara. Salmah sampai lebih dulu di rumah. Perempuan berambut sebahu itu berdiri tak tenang di depan pintu. Gelisah menanti kedatangan anaknya. Melihat rona wajah si nyonya rumah, Bi Onah dan Mang Kosim sudah menduga ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Entah apa lagi. Dan ketika Keyzia turun dari taxi dengan langkah gegas, barulah pasangan suami isteri itu mengerti.

Salmah menyambut Keyzia. “Siapa yang suruh kamu datang ke kantor Mama heh?!” semburnya dengan mata membelalak. “Sengaja mau mempermalukan Mama. Iya begitu?”

“Kenapa? Mama takut rahasia hidup Mama terbongkar?” Keyzia balik bertanya tak kalah sengit. Tas kecil berisi pakaian ia empaskan begitu saja ke lantai. Setengah berlari cewek iru memasuki ruang tengah. “Apa Mama masih punya harga diri dan rasa malu?”

Bi Onah datang tergopoh, mengangkat tas kecil itu dan membawanya segera.

Salmah berjingkat memburu anaknya. “Apa kamu bilang? Heh, dengarkan kalau Mama sedang bicara. Kamu pikir sedang ngomong dengan siapa? Lihat wajah Mama, untuk apa kamu datang dan teriak-teriak di kantor kayak orang kesurupan? Untuk apa?!”

“Biar semua tahu kalau mamaku hanya pelacur!”

“Keyzia?!” Satu tamparan keras mendarat di pipi Keyzia.

Keyzia meraba pipi kirinya yang memerah. Panas dan perih menjalar. “Tampar lagi, Mama. Tampar!” teriaknya menantang. Ia berusaha tidak memperlihatkan sisi lemah pada perempuan di depannya. “Kenapa Mama nggak sekalian bunuh aku? Biar Mama nggak menanggung malu seumur-umur. Anakmu ini sudah bikin Mama malu, kan?!”

Rahang perempuan bergincu jingga itu mengencang. Dadanya naik turun menahan amarah yang meluap-luap. “Lancang kamu ya. Berani sekali menghina mamamu sendiri!” teriaknya tak kalah garang. “Keyzia, kamu sadar sedang ngomong sama siapa heh? Ini mamamu... mamamu yang mengandung dan melahirkan kamu. Mamamu yang menjaga dan membesarkanmu hingga kamu seperti ini. Jadi… ini budi balasmu? Nggak tahu diri!”

“Aku nggak pernah minta dilahirkan dari rahim seorang pelacur!”

Plak!!

Sekali lagi tamparan keras mendarat di pipi yang sama. Keyzia geming. Dan kali ini, perempuan itu tiba-tiba saja terdiam memandangi anaknya yang tertunduk. Ia menyaksikan dua bulir air mata menetes dari pipi puteri tunggalnya. Sesaat ia terkesiap, menatap lelehan di lantai marmer berwarna maroon. Ada sesuatu mengiris palung hatinya secara tiba-tiba.

Salmah beranjak pelan dari hadapan Keyzia. Pikirannya mendadak kacau. Ia lalu mengempaskan tubuhnya di sofa. Perempuan itu berteriak dalam hati, ya, Tuhan. Apa yang telah aku lakukan? Kini ia menyadari, sesuatu telah terjadi pada anaknya. Sesuatu yang membuat Keyzia marah atau kecewa. Ya, barangkali seseorang telah bercerita banyak tentang masa lalu Keyzia dan dirinya. Mendadak, ingatannya melayang pada Ragiel dan Pak Aang.

“Keyzia….” Panggil Salmah pelan. “Bisa duduk di sini, dan kita bicara?”

Lihat selengkapnya