DARI halaman gedung lab bercat merah, Mel berlari-lari kecil memasuki sebuah kafe. Jarak keduanya hanya terhalang satu gedung. Seperti biasa, ia duduk di ruang bagian dalam, pada sofa panjang berwarna krem. Ramai juga suasana di sana, suara para pelanggan dan musik. Ia sempat mencari-cari sosok Ryan–cowok itu telah berjanji akan menyusulnya. Tetapi Mel hanya melihat wajah-wajah asing. Wajah-wajah yang terlalu asyik dengan minuman atau gadget yang mereka bawa. Para remaja itu sepertinya tak peduli suasana di luar.
Rinai hujan seolah enggan berhenti sejak pagi. Angin dingin pun menyertai. Banyak penduduk Yogya yang enggan beraktivitas, memilih menghangatkan badan di rumah. Namun tidak demikian halnya dengan Mel. Sedari pagi ia mengantar-jemput tiga orang ibu dan seorang bapak ke lab kesehatan untuk melakukan pemeriksaan. Keempat tetangga lansia itu sering mengeluhkan tak enak badan. Mel mengusulkan memeriksakan kesehatan mereka di lab. Ia pun menanggung biayanya. Mumpung sedang ada rezeki, katanya menjelaskan. Malam ini, Mel sendiri yang berinisiatif mengambil hasil pemeriksaan empat lansia tersebut.
Setelah memesan segelas cokelat panas dan menitipkan tempat duduknya pada pelayan, Mel meminta izin untuk menggunakan mushola. Di depan ruang ibadah itu, beberapa remaja yang baru saja melaksanakan Isya, sempat mengerubuti dirinya. Cewek dan cowok usia sekolah menengah, mereka setia menunggui Mel hingga selesai. Setelahnya, mereka masuk bersamaan ke ruang semula. Beberapa dari mereka tak ingin kehilangan kesempatan, mengajak Mel untuk berfoto bersama. Bahkan, beberapa remaja yang semula tak menyadari kehadirannya, sekarang ikut menyerbu tempat duduk cewek itu.
Tanpa sungkan, Mel memenuhi permintaan para penggemarnya. Selain berfoto bersama, ia pun membubuhkan tanda tangan sesuai permintaan. Dalam keriuhan itu, tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sangat berbeda. Di sudut ruangan, selang beberapa kursi dari tempat duduknya, sosok itu terlihat tak peduli dengan suasana sekitar. Meskipun tampak dari samping, wajah itu terlihat muram, sendu dan menyiratkan kesedihan yang begitu dalam. Berulang kali Mel meyakinkan penglihatannya bahwa sosok itu adalah seseorang yang sangat ia kenal. Tetapi tidak Mel pahami, mengapa ia terlihat berbeda dari biasanya?
Mel melangkah mendekat, lalu berdiri persis di samping sosok cewek ber-sweater ungu itu. Tanpa ingin mengagetkan, ia pun menyapa pelan, “Assalamu’alaikum, Key.”
Seperti baru tersadar dari lamunan panjang, Keyzia menggeragap.
“Maaf, Key.” Mel benar-benar menyesal dan tak enak hati. “Apa kabar?”
Agak lama cewek itu memandangi Mel yang berdiri anggun dengan senyuman menyejukan. Sesaat, seolah ia kesulitan menemukan kata-kata untuk merespons. Jemarinya hanya memainkan syal yang ia kenakan. Mel mendekat dan berusaha menyalami cewek itu.
“Terima kasih sudah ikut menyukseskan konser kemarin.”
Keyzia meluruskan punggungnya ke sandaran kursi. “Kamu sudah ngucapin waktu itu. Aku rasa cukup,” jawabnya dingin. “Aku lagi pengen sendirian, Melody.”
“Iya, maaf, Key.” Mel sempat kebingungan bagaimana bersikap. Cewek di depannya ini begitu sulit ditebak. “Hmm. kebetulan kita ketemu di sini. Aku mau tanya sesuatu, bisa?”
Tanpa reaksi. Kaku. Keyzia justru memainkan layar tablet-nya.
Mel menggeser posisi, mendekat dan sedikit membungkukkan badan. “Maaf, Key. Aku nggak bermaksud menganggu,” bisiknya hati-hati. Ia mengatur napas sesaat. “Sama sekali aku nggak bermaksud kurang ajar. Aku hanya pengen ngomong tentang cincin.”
Keyzia mendongak. Matanya mendadak membola. “Cincin apaan?” tanyanya datar, lalu dijawabnya sendiri, “oh, cincin pesugihan yang itu. Hubungannya sama aku apa?”
Mel menarik kursi dan duduk di sebelah Keyzia. Ia sadar, perbuatannya bisa saja mengundang reaksi tak terduga. Bisa saja Keyzia tidak setuju lalu marah. Namun Mel sudah siap dengan segala risiko apa pun. Yang ingin ia lakukan saat ini hanya bicara. Itu saja. Dan melihat Keyzia yang tetap asyik dengan gadget-nya, Mel merasa mendapat peluang.
“Key, maafin aku sekali lagi,” ucap Mel lirih, tidak ingin ada yang mendengar percakapan mereka. “Aku tahu cincinku ada sama kamu, Key. Aku nggak bermaksud….”
“Hey! Apa-apaan ini?!” Keyzia mengalihkan pandangan dari gadget ke wajah cewek di sampingnya. “Berani sekali kamu nuduh aku! Mau cari gara-gara lagi?”
“Ssstt! Aku mohon … jaga suaramu, Key….”
“Dengar ya, aku nggak ada urusan sama cincin kamu itu!” Keyzia menahan suara, seolah hanya berputar di gusi-gusinya. Dadanya sedikit naik-turun mengiringi kalimat yang beruntun. “Sebelum aku berubah pikiran, mending kamu kembali ke tempatmu!”
Mel menarik napas panjang, lantas mengempaskannya saat ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi. “Baik, Key. Aku nggak akan mempersoalkan ini….”
“Good!”
“Cuma yang harus kamu tahu, cincin itu sama sekali bukan benda bertuah, bukan pengasihan, pesugihan atau berisi kekuatan setan seperti yang dibicarakan orang-orang,” lanjut Mel dengan kalimat yang tertahan. Meski bibirnya sedikit bergetar ketika mengucapkannya, ia berusaha emosinya tak terpancing. “Cincin dengan emban perak itu milik Wulan, bundaku, hadiah dari Hasnan, ayahku hampir 20 tahun lalu. Hanya benda sederhana peninggalan kedua orangtuaku, Key. Nggak ada nilainya bagi kalian. Hanya bukti cinta, lambang kasih sayang mereka. Tapi… cincin itu berarti banget buat aku.”
Tanpa mampu ditahan-tahan, Mel merasakan kelopak matanya memberat ketika mengucapkan kalimat itu. Ada perih merambati palung hatinya. Tiba-tiba saja wajah-wajah orang terkasih melintas di pikiran. Mel merasakan, betapa ayah dan ibunya kecewa karena dirinya tak mampu menjaga lambang cinta sejati mereka. Lalu, rasa bersalah pun tiba-tiba menyergap. Bagaimana mungkin hanya benda sekecil itu tak mampu ia jaga?
Keyzia menyilangkan kedua tangan di dada. Matanya lekat pada wajah Mel. “Aku tahu sekarang,” ujarnya kemudian. “Pasti si Raga sok kaya itu yang nyebarin gosip, kan? Dasar mulut ember bocor. Dan begonya, kamu percayaaaa aja mulut banci itu!”
“Maaf, nggak harus kasar begitu.” Mel menyusut kedua sudut matanya. Rasa perih di dada memaksa air matanya melinang perlahan. “Sudah, Key. Nggak perlu dibahas.”