Jilbab (Love) Story 2

Redy Kuswanto
Chapter #17

Bukan Hati Batu

MENJELANG Dzuhur Ragiel datang bersama Nuri dan Maya. Kehadiran mereka sempat membuat Keyzia tertegun. Terlalu sulit mencari kata-kata yang paling sederhana sekali pun. Terlebih saat Ragiel memandanginya penuh iba. Keyzia yang tengah duduk di beranda bersama Ummi Nurjanah, hanya mampu mengucapkan terima kasih. Sesungguhnya, ia terlalu sibuk membenahi perasaanya. Malu, sedih, haru, bahagia dan entah apa. Semua rasa berbaur menjadi satu, menjelma letupan-letupan dan menciptakan debar-debar aneh di dadanya.

Nuri dan Maya menyalami Ummi Nurjanah. Setelah meletakkan sekeranjang buah-buahan, mereka memberikan pelukan hangat pada Keyzia. Kelopak mata Nuri pun memanas manakala menyaksikan mata Keyzia yang mengembun. Mata yang biasanya ceria itu, kini tampak sendu. Nuri dan Maya tahu, selama ini Keyzia dan teman-temannya tak pernah akrab dengan siapa pun. Mereka nyaris tak pernah bertegur sapa. Namun melihat keadaan Keyzia saat ini, tak dapat dipungkiri hati Maya dan Nuri pun terenyuh sekaligus prihatin.

“Makasih benget, Nuri, Maya. Maaf sudah ngerepotin.” Hanya kalimat pendek itu yang terlontar dari bibir Keyzia. Selebihnya ia sibuk mengeringkan sudut matanya.

Maya dan Nuri tersenyum, lalu duduk mengapit cewek yang tampak rapuh itu. Sesekali keduanya memberi usapan halus di punggung dan tangan, sekadar mencoba memberi sedikit dukungan untuk menguatkan Keyzia yang sedang tertimpa kemalangan.

“Yang tabah ya, Key,” bisik Nuri. “Insya Allah akan ada hikmahnya.”

“Semua akan baik-baik saja,” sambung Maya, tak kuasa menahan haru.

“Umi, mereka teman-teman Mel. Teman-teman dari orang yang saya benci.” Dua bulir air mata kembali jatuh di pipi Keyzia. Ia pun membiarkan Nuri dan Maya mendekapnya penuh rasa persahabatan. “Teman-teman saya malah nggak ada yang mau datang….”

“Sudah jangan mikir macem-macem,” timpal Nuri menasihati.

“Mereka akan datang,” hibur Ummi Nurjanah.  

Ragiel cemas. Ia melihat, ada sesuatu yang tak beres dengan Keyzia. “Umi, nggak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja?” tanyanya kemudian.

Melihat gerakan Keyzia yang kaku dan sangat perlahan, Ragiel mengkhawatirkan ada luka dalam yang tak terduga. Terlebih saat melihat posisi mobil Keyzia kemarin malam, sepertinya telah terjadi benturan yang cukup keras pada pohon randu. Meskipun senyumnya terus mengembang, namun Ragiel tak dapat menyembunyikan gurat kecemasan di wajahnya.

“Jangan terlalu cemas,” kata Ummi Nurjanah, “Keyzia akan baik-baik saja.”

Ummi Nurjanah kemudian menjelaskan, hanya leher yang masih sedikit kaku dan punggung yang tak bisa digerakkan dengan bebas. Hasil kerja tukang urut langganannya tampak nyata. Saat ini Keyzia sudah lebih baik. Ia sudah bisa menggerakan leher ke atas dan ke bawah. Cewek itu hanya butuh istirahat untuk memulihkan tenaga. Ummi Nurjanah juga tak keberatan jika Keyzia mau tinggal lebih lama untuk menenangkan pikirannya.

Ragiel percaya apa yang dikatakan oleh perempuan bersahaja itu. Lantas ia meminta izin memeriksa keadaan mobil milik Keyzia. Tampaknya tak ada yang perlu dicemaskan. Tak ada kerusakan yang berarti, selain kap ringsek dan lampu depan sebelah kanan hancur. Dengan bantuan warga sekitar, setelah kejadian mobil berwarna putih itu dipindahkan ke halaman rumah Ummi Nurjanah yang berjarak 300 meter dari tempat kecelakaan.  

Sesaat kemudian Ummi Nurjanah minta diri ke dapur, menyiapkan minuman. Nuri dan Maya membantunya. Kini tinggal Keyzia dan Ragiel duduk berhadapan. Kekakuan terasa menghimpit. Cicit burung di dahan-dahan dan desau angin di dedaunan terdengar nyata, layaknya simponi alam pedesaan yang menciptakan suasana damai dan adem. Beberapa lama Ragiel hanya menumpukan pandangan jauh ke sisi bukit landai, pada hamparan padi menghijau. Asap tipis mengepul dari gubug-gubug kecil di sisi pematang.

“Terima kasih banget, Giel,” ucap Keyzia sekali lagi. Suaranya terdengar lirih.

Ragiel mengalihkan pandangan pada wajah Keyzia. “Nggak papa, Key. Jangan dipikirin terus. Yang penting kamu cepet baikan, sehat lagi,” ujarnya, mencoba menelusuri sisa garis-garis kesedihan. “Hmm maaf… semalam aku nyari hp-mu. Awalnya pengan telfon salah satu temanmu atau siapa saja. Tapi nggak nemuin hp di dalam tas kamu….”

“Ada di bawah jok. Keduanya aku matiin.”

“Sampai sekarang?”

Keyzia membenahi duduk, lebih menyandarkan punggungnya. Ragiel membantu. “Lagi males aja,” ujarnya tanpa gairah. “Aku lelah banget dari semuanya. Capek.” 

“Sebaiknya nyalain hp-mu. Mungkin banyak yang nyari kamu. Aku ambil ya?”

“Nggak usah, Giel. Nggak akan ada yang nyari aku.”

“Itu nggak benar, Key,” tukas Ragiel, sedikit protes. “Papa dan mamamu sibuk nyariin kamu. Mungkin juga teman-temanmu. Jangan membuat mereka khawatir.”

Keyzia mengingat Zahra, Umi, Leea dan Asri. Benarkah mereka bisa merasa kehilangan? Mereka memang teman yang baik. Tetapi terkadang keraguan membersit juga, benarkah mereka teman sejati yang akan selalu ada dalam suka dan duka. Entahlah! Kebersamaan mereka dalam Celebrities Girls hanya karena memiliki satu kesamaan yaitu kecewa pada orangtua mereka. Tetapi Keyzia tak pernah begitu yakin dengan isi hati sahabat-sahabatnya. Ia yang terlalu dominan, keras dan terkadang kasar, sering kali membuat mereka sebal. Mereka kerap kecewa, namun tidak bisa protes. Bisa jadi, dengan menghilang begini mereka terbebas dari belenggu yang selama ini tak mampu mereka dobrak. 

Keyzia berpikir, lalu siapa lagi yang akan mencarinya? Salmah? Candra? Mereka tak akan peduli. Tak akan merasa kehilangan jika pun Keyzia benar-benar menghilang. Mungkin justru mereka akan senang kehilangan orang yang selama ini menjadi aib keluarga. Aib yang seharusnya mereka sembunyikan. Sepertinya Bi Onah dan Mang Kosimlah yang justru akan merasa kehilangan. Keduanya lebih sering memberi perhatian lebih dibandingkan kedua orangtuanya. Mereka yang tak dikaruniai keturunan, memiliki cinta kasih yang begitu melimpah. Tapi… bisa saja kebaikan dan perhatian mereka sebatas memenuhi sebuah kewajiban seorang pembantu pada puteri tuannnya. Yah, bisa jadi….   

Ah, entah kenapa pikiran-pikiran jelak itu sekarang mudah sekali menghantui? Keyzia sama sekali tak paham, apa yang sebenarnya tengah terjadi pada dirinya. Rasanya ingin menjauhkan diri dari rutinitas yang terlalu monoton. Hidup mewah, menghabiskan uang di restoran mahal dan berbelanja, ternyata tak menjamin hatinya menemukan bahagia. Semua terasa semu. Dan di sini… ia merasakan kesederhanaan yang justru mendamaikan.     

“Biar aja,” sahut Keyzia beberapa saat kemudian, tak bergairah. “Mungkin ada baiknya aku menjauh dari semuanya entah sampai kapan. Aku nyaman di sini.”

Ragiel menarik napas beberapa saat, memandangi wajah Keyzia yang tampak tak bersemangat. Cewek itu sungguh berbeda dari biasanya. “Maaf, semalam bukan mauku ninggalin kamu di sini. Umi yang meminta. Dan aku pikir, ini hal baik untuk kamu. Buktinya, kamu suka tempat ini. Umi juga merawatmu dengan baik, kan?”

“Lebih dari baik, Giel. Dia benar-benar malaikat.” Keyzia mencoba tersenyum mengingat kebaikan perempuan itu. “Umi Nurjanah adalah sosok ibu sejati.”

“Aku yakin begitu.” Ragiel senang melihat Keyzia tersenyum.

Ragiel pun bercerita. Setelah usahanya mencari rumah Keyzia tak berhasil, ia menghubungi ayahnya untuk menanyakan alamat. Namun sayangnya, Pak Aang justru tak pernah tahu di mana rumah Salmah. Tadi pagi, ia mendatangi sekolah, mencari teman-teman Keyzia di sana. Ia berharap ada salah satu di antara mereka yang bisa menunjukkan di mana rumah Keyzia. Ragiel sempat melihat Leea di halaman, tetapi saat ia memanggilnya, cewek itu sepertinya sengaja menghindar. Ia pun tak bisa berbuat banyak. 

Untungnya, di pintu gerbang ia bertemu dengan Nuri, Maya dan Arum. Pertemuan sekali di pesta ulang tahun Keyzia, cukup membuat ketiga cewek itu mengingat wajah Ragiel. Selepas ia menceritakan apa yang terjadi, kesepakatan pun didapat; Arum akan segera mencari Mel lalu mengabari teman-teman Keyzia yang lain. Kedua cewek itu bermaksud menyampaikan berita pada kedua orangtua Keyzia secara langsung. Sementara Nuri dan Maya berangkat bersamanya terlebih dahulu untuk melihat keadaan Keyzia lebih segera.   

“Mungkin, Zahra dan yang lain nggak perlu tahu keadaanku.”

“Jangan begitu, Key,” protes Ragiel. “Mereka sahabat-sahabatmu….”

“Aku juga nggak mau Papa sama Mama datang ke sini!”

Ragiel meluruskan punggungnya ke sandaran kursi. “Mereka cemas sekali mikirin kamu,” ujarnya perlahan. “Kemarin lusa, mamamu telepon Ayah, nanyain apa kamu ada di sana. Dia panik banget. Kalau nggak sayang sama kamu, untuk apa dia ngelakuin itu?”

Keyzia hanya menelan ludah pelan. Jujur, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia tak pernah membenci mamanya. Terlebih jika mengingat nasihat Ummi Nurjanah, Keyzia merasa bersalah. Barang siapa yang membuat kedua orangtuanya menangis dan sedih, berarti dia telah mendurhakai mereka, demikian tutur Ummi Nurjanah pagi tadi. Yang ia benci dari Salmah adalah kelakuannya selama ini. Kelakuan yang sengaja membuat anaknya menderita.

“Mamamu khawatir banget,” sambung Ragiel, “itu sebabnya aku ke Jogja….”

“Kamu ngikutin aku?”

“Terpaksa….”

Lihat selengkapnya