RAHANG Keyzia mengencang, menyebabkan gigi-giginya gemeretak. Cewek berponi itu berdiri tidak tenang di belakang panggung. Meskipun beberapa panitia memintanya untuk duduk di kursi yang telah disediakan, ia mengabaikan mereka. Jika saja hanya sendiri di sana, sudah sejak tadi ia menutup telinganya. Sungguh, Keyzia tak ingin mendengar lagu itu–tak ingin mendengar suara yang mengalunkan lagu itu, tepatnya. Ya, Keyzia benci orang yang tengah bernyanyi di atas panggung dengan kepercayaan diri yang luar biasa itu.
“No… no, no! Falsetto-nya terlalu tinggi. Jelek, pakai banget!” gumam cewek itu berulang-ulang. Ada nada kesal dalam suaranya. Untung saja suara musik menyamarkan omelannya, sehingga tak ada yang mendengar apa yang ia katakan.
Keyzia berjalan mondar-mandir sambil terus bergumam tak jelas. Bulir-bulir keringat merembes di kening dan pelipisnya. Seorang penata rias mendekat, membersihkan keringat dan memberesi riasan cewek bermata jernih itu. Tak lama setelah itu, Keyzia mengulang apa yang telah ia lakukan. Ia pun menggigit kedua bibir untuk sekadar menyembunyikan kegelisahan yang menyergap. Namun, resah itu kian membuncah di rongga dada.
“Mbak Key, silakan ambil posisi.” Lelaki muda berseragam hitam-hitam dan memakai co-card di leher, menuntun lengan Keyzia hingga ke tangga pendek menuju panggung.
“Thanks, God. Akhirnya selesai juga,” sergah Keyzia seraya berdiri di anak tangga.
Begitu musik berhenti dan lagu selesai dinyanyikan, Keyzia melangkah ke atas pentas. Cewek itu mencoba mengatur napas yang agak memburu. Perlahan, kaki jenjangnya melangkah menuju ke tengah panggung. Di sana, Mel–cewek yang baru saja selesai melantunkan sebuah lagu dengan indah–tengah menatapnya tak berkedip. Senyum cewek berjilbab itu begitu manis dan hangat. Namun Keyzia tak peduli, ia berdiri dengan cuek di sebelah Mel. Keyzia justru sibuk menciptakan senyum termanis, lalu perlahan melambaikan tangan pada juri dan para penonton yang memenuhi tribun.
Keyzia benci tatapan dan senyum Mel yang terlalu dibuat-buat. Too artificial, semua palsu dan hanya untuk pencitraan, teriak hati Keyzia kesal. Ia yakin, sesungguhnya Mel menginginkan dirinya tersingkir sejak lama. Mereka bukan sahabat, melainkan pesaing berat. Keyzia juga tahu, Mel sangat berambisi mendapatkan gelar diva remaja tahun ini. Apa pun pasti akan dilakukan cewek sok lugu dan innocent itu, tuduh Keyzia dalam hati. Itu sebabnya, Mel selalu menarik simpati dengan berpura-pura alim dan beretika baik.
Beberapa saat lalu, di atas panggung super megah dengan lighting yang spektakuler, Keyzia dan Mel tampil bergiliran. Sebuah lagu terbaru yang diciptakan oleh musisi terkenal, mereka bawakan dengan anggun dan mempesona. Diiringi alunan musik dari orchestra ternama di tanah air, tampilan mereka sangat baik dan nyaris sempurna. Terlebih didukung dengan tata suara yang menggelegar, membuat vocal mereka terdengar indah.
Mel dan Keyzia memukau ribuan penonton seisi tribun dan memikat hati para juri. Tribun berkapasitas 2.500 orang milik sebuah stasiun televisi nasional itu sangat hingar. Suara teriakan-teriakan penonton dari berbagai usia, begitu histeris tak henti mengelu-elukan nama Mel dan Keyzia. Teriakan-teriakan itu membahana di setiap sudut ruangan. Bagi Keyzia dan Mel, ini adalah penyemangat dan kekuatan untuk tampil sebaik mungkin.
“Keyzia! Go, go… go! Keyzia, Keyzia!” teriak beberapa kelompok penonton.
“Mel is the best! Go, Mel. Go! You’re the real diva, Melody!” timpal penonton yang lain.
Berbagai rasa menyergap, berpilin dan berbaur menjadi satu hingga memenuhi dada. Ada bahagia, haru dan bangga yang meraja, menghadirkan letupan-letupan emosi yang begitu tak terduga. Ya, Mel sangat bahagia, terharu dan sekaligus bangga bisa berada di sini. Ia berdiri di atas panggung, di depan para juri dan ribuan penonton yang meneriakkan berbagai bentuk dukungan. Sungguh, ia hampir tak mempercayai kalau semua ini nyata. Berulang kali ia meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi.