Jilbab (Love) Story

Redy Kuswanto
Chapter #3

Tawaran Istimewa

SENYAP menghimpit. Lampu utama di kamar Mel sudah lama dipadamkan. Yang masih menyala hanya lampu kecil bertudung putih di sisi ranjang. Mel sudah lama terbaring di tempat tidur yang luas dan empuk, namun matanya tidak juga bisa terpejam. Kesunyian menyergap. Hampa. Kembali ia teringat Zen dan neneknya di Yogyakarta. Dari percakapan mereka tadi sore, perempuan 70 tahun itu mengatakan bahwa ia sudah tak sabar ingin bertemu. Sementara Zen bersama teman-temannya tengah merayakan kemenangan Mel.

Ah, sudah satu bulan lebih mereka berpisah. Sejak Mel masuk nominasi 10 besar ajang bakat menyanyi bagi remaja, ia menjalani karantina di Jakarta. Sejak itu pula mereka tak pernah duduk bersama di meja makan. Sejak itu pula Mel tidak lagi merasakan pelukan sang nenek yang hangat. Komunikasi via ponsel pun dibatasi dan ditentukan waktunya.

Selama ini, ia memendam rindu yang semakin menghimpit. Terlebih, di malam grand final pun, Zen dan Nyi Warti tak bisa datang–karena alasan kesehatan perempuan itu–ke Jakarta menjadi saksi kemenangan Mel. Sore tadi, Mel hanya mendengar suara neneknya yang gemetar dan terbata di ujung telepon. Ia menghubungi perempuan itu sesaat setelah dinobatkan sebagai diva remaja. Lalu setelahnya, Mel disibukkan dengan urusan media; melayani pemotretan mendadak dan wawancara.

Lelah menerpa. Mel baru bisa meninggalkan tempat acara menjelang tengah malam. Ia ingin segera merebahkan tubuh di ranjang. Ingin berbagi kebahagiaan bersama Nenek dan Zen saat itu juga–meski hanya lewat telepon. Namun lagi-lagi ia harus menuruti kemauan panitia. Meeting mendadak dengan pihak penyelenggara event dan produser acara televisi harus diadakan. Panggilan berulang kali dari Nyi Warti dan Zen, terpaksa ia abaikan. Tiba-tiba ia berada di dunia yang berbeda. Dunia yang begitu asing baginya. Bahkan ketika akhirnya Mel bisa memasuki kamar, ia masih merasakan keterasingan di dunia baru ini.

“Sedang apa Eyang Uti sekarang?” tanya Mel pada diri sendiri.

Mel menggeliat, meraih android di sebelah lampu kecil di atas meja. Jam dua dini hari. Ia bermaksud menghubungi Nyi Warti, namun segera ia urungkan. Mel tak ingin mengganggu neneknya yang mungkin sudah lelap. Dengan hati kecut ia kembali meletakkan smartphone di tempat semula dan kembali membaringkan badan. Ada sesal berpilin-pilin karena telah mengabaikan neneknya. Mel ingin segera pulang dan memeluk, meminta maaf, menumpahkan kebahagiaan dan sekaligus kegelisahan yang kini melanda hatinya.

Cewek dengan tinggi badan 168 itu beberapa kali menggigit ujung-ujung kuku jari tangan. Ini kebiasaan buruk saat ia panik, gelisah atau cemas. Lama sekali matanya tertumpu pada langit-langit berwarna putih di kamar sebuah hotel megah itu. Hingga hampir pukul tiga pagi, Mel belum juga bisa memejamkan matanya.

Ia bangun dan duduk sesaat di sisi ranjang, kemudian mematikan lampu tidur. Gelap seketika. Amat gulita. Dalam kegelapan yang menelan sekeliling, Mel mencoba mengendapkan hati dan pikiran lantas kembali merebahkan tubuh. Senyap terasa menggigit. Mel sangat berharap kantuk akan segera menyerangnya lalu ia bisa terlelap, melupakan segala pikiran yang berkecamuk hingga esok pagi. Namun keresahan kian menjadi.

Dalam bentengan layar malam yang sangat pekat, Mel kembali melihat dengan jelas sosok Pak Bob. Lelaki tambun yang jarang tersenyum itu menemui Mel seusai acara. Ia memberikan tawaran yang sangat istimewa, tetapi membuat Mel mendadak gelisah.

“Sesuai kontrak kerja antara penyelenggara event dan saya selaku produser dan sekaligus pemilik hak siar, kami akan membuat acara live yang spektakuler dan ekslusive,” ujar Pak Bob di sebuah kafe di kawasan Kemang. Matanya yang kecil dan bulat berbinar-binar memerhatikan wajah Mel yang lama tergugu di depannya.

Dalam hati, Mel bersorak girang dan mengucapkan hamdallah berulang-ulang. Ia sangat bersyukur Allah telah mendengarkan doa-doa yang selalu dipanjatkan selama ini. Allah mengabulkan keinginannya. Masa depan yang sangat cerah kini terbentang luas. Inilah jalan hidup yang sejak lama dia dambakan–bukan saja karena hobi, tetapi lebih pada keinginan untuk mengubah nasib keluarga menjadi lebih baik.

 “Acara ini sebagai salah satu bentuk propaganda, mengenalkan Melody sebagai diva pendatang baru di blantika musik Indonesia,” tambah Dery, salah seorang perwakilan dari pihak penyelenggara event. “Dengan demikian, masyarakat akan lebih mengenal siapa sosok Melody. Akan lebih tahu kemampuan Melody yang sesungguhnya….”

“Dan… akan disiarkan langsung oleh dua stasiun televisi saya sekaligus,” sambung Pak Bob dengan antusias. “Dan tayangannya bisa disaksikan hingga ke negara-negara tetangga; Malaysia, Singapura dan Brunai. Nah, kalau siaran ini bisa ditonton oleh mereka yang berkecimpung di bisnis dunia musik, bukan tidak mungkin mereka akan menawarimu kerja sama yang akan menguntungkan karirmu di dunia hiburan. Tentu setelah kontrak dengan pihak management, dalam hal ini pihak penyelenggara, selesai dilakukan.”

Mel manggut-manggut menyimak perkataan kedua lelaki itu. Harapannya terbang ke awang-awang. Berbagai bayangan indah hadir dan menari-nari di benaknya. 

“Meskipun Melody terikat kontrak dengan kami selama enam bulan ke depan, tetapi tidak menutup kemungkinan kami melakukan kerja sama dengan pihak lain,” kata Dery lagi. Lelaki muda yang enerjik itu tersenyum.

Mel semakin tertarik dan terus menyimak dengan seksama perkataan dua lelaki itu. Mereka berbicara seolah tanpa jeda.

“Gimana, senang mendapat berita luar biasa ini, kan?” tanya Dery tiba-tiba.

“Iy… iya, Mas. Tentu saya sangat senang.” Mel tak mampu menyembunyikan rasa bahagia dan banggganya. “Lalu, kapan kontrak kerja kita mulai berlaku?”

As soon as possible,” jawab Pak Bob segera. Lelaki berusia 50 tahun itu kembali mengamati wajah Mel yang terlihat antusias. “Asal semua persyaratan memenuhi.”

“Maksudnya?” tanya Mel tak paham.

“Hmm. Begini, Melody,” kata Pak Bob pelan. Lelaki berkepala botak itu menyondongkan badannya hingga jarak wajahnya begitu dekat pada wajah Mel.

Mel mengedikkan bahu, menanti Pak Bob meneruskan kalimatnya.

“Syarat satu-satunya yang saya inginkan,” ujar Pak Bob sangat perlahan, sengaja memberi jeda sebelum meneruskan kalimatnya. “Kamu harus tampil cantik dan anggun, elegan dan berkelas tanpa penutup kepala. Tanpa jilbab, hijab atau apa pun namanya.”

Mata Mel membelalak. Hampir tak sadar ia memekik pelan. “Masya Allah!”

Pak Bob dan Dery memerhatikan wajah Mel berbarengan.

Meskipun Mel yakin kata-kata itu benar-benar diucapkan Pak Bob sesaat lalu, namun ia berusaha meyakinkan diri bahwa hanya pendengarannya yang salah.

“Ini… ini hanya becanda, kan, Pak?” tanya Mel agak ragu.

Lihat selengkapnya