Jilbab (Love) Story

Redy Kuswanto
Chapter #5

Titik Balik

DEG!

Jantung Mel seolah berhenti berdetak beberapa saat. Ketika meng-on-kan android-nya, ia mendapati satu pesan melalui WhatsApp dari seseorang yang tidak asing. Nama itu ada dalam contact number-nya sejak lama. Mel tak pernah menghapus nomer itu–tak pernah memiliki niat untuk menghapusnya. Namun ini tidak mungkin terjadi! Mel menyangkal keyakinan hati bahwa orang itu benar-benar menghubunginya. Ini tidak ubahnya mimpi yang datang di siang bolong. Yah, ini tidak mungkin nyata terjadi!

Meskipun Mel tak memungkiri bahwa ada bahagia membaluri hati, tetapi kepalanya masih saja diliputi berbagai tanya. Bagai mana mungkin tiba-tiba saja Nuri mengirimkan ucapan selamat atas kemenangan yang baru saja diraih Mel? Bukankah selama ini sahabat sejak SMP itu sangat dendam dan begitu membencinya? Bukankah, meskipun dulu mereka pernah dekat–teramat dekat bahkan, tetapi Nuri tidak pernah mau menerima permohonan maaf dari Mel setelah kejadian itu?

Ah, entahlah. Yang Mel ingat, mereka tidak pernah bertegur sapa sejak hampir dua tahun yang lalu. Sejak mereka sama-sama masuk ke SMA Budi Utomo 3. Sejak kejadian yang tak begitu menyenangkan bagi Nuri, Maya dan Arum. Kejadian yang tidak pernah Mel pahami hingga saat ini–mengapa mereka begitu membencinya.

Mel masih mengingat dengan jelas bagaimana awal mula ketiga sahabatnya menjauh. Semakin hari sikap mereka benar-benar berubah; dari mulai menghindari setiap percakapan dan pertemuan, hingga tak mau bicara lagi sama sekali. Hal ini berawal dari selembar kain yang ia kenakan untuk menutupi kepala. Selembar kain yang awalnya ia pakai sekadar untuk memenuhi janji. Namun yang tak pernah Mel pahami, benarkah hanya karena selembar jilbab itu, mereka tega menghancurkan jalinan persahabatan?

“Kenapa kamu pakai kerudung, Mel?” tanya Nuri di awal masuk sekolah. Mereka memasuki halaman gedung SMA Budi Utomo 3, salah satu SMA favorit di Yogyakarta.

Ada tatapan aneh dan tak biasa yang dirasakan oleh Mel–semacam tatapan sinis dan sejenisnya. Namun, cewek itu mencoba menepis pikiran negatif. Ia tidak ingin keceriaan di awal sekolah akan menjelma pertengkaran dan kesalahpahaman. Mel sangat tahu sifat Nuri yang begitu dominan dalam kelompoknya, tetapi jika mengingat pertemanan mereka selama ini, terlalu banyak hal-hal indah yang mereka lalui. 

Mel balik bertanya, sedikit tak paham. “Lha, ngapa je. Aneh pa piye?”[1] 

“Ya aneh aja. Nggak ada hujan, nggak ada angin, tiba-tiba saja berubah penampilan. Kayak artis aja yang suka gonta ganti model pakaian,” timpal Arum, cewek bermata agak sipit dan berambut ekor kuda. “Apa yang terjadi, kamu punya gebetan cowok pesantren?”

“Bha, apa hubungannya?” Mel tergelak. “Kalian nggak suka aku pakai jilbab?”

“Kalau aku, nggak setuju. Soalnya pasti Mel nggak mau lagi ke mall,” ujar Maya dengan wajah lugu. Ia adalah teman sebangku Mel ketika di SMP. Cewek itu terkenal agak tulalit dan plin-plan. “Tapi, kalau semuanya nggak berubah, kenapa harus nggak setuju?”

“Terima kasih.” Mel memeluk tubuh Maya dan Arum. Ia mengurungkan niatnya memeluk Nuri ketika dilihatnya cewek itu masih berdiri kaku dengan tatapan dingin.

“Hmm, kalau aku sih, gimana ya?” Nuri memainkan ujung rambutnya yang bergelombang dan diwarnai agak pirang. Matanya yang memakai soft lens berwarna cokelat kehijauan memandangi Mel agak lama. “Aku nggak tahu mau bilang apa, yang jelas menurutku tetap aneh. Kamu tiba-tiba saja berubah dan kayak orang asing bagiku….”

“Ko aneh? Kan, banyak juga teman-teman kita yang pakai jilbab. Lihat tuh.”

“Aku lagi ngomongin kamu kok. Bukan mereka!” Nuri tampak sebal.

“Jidatku yang nonong[2] gini aja nggak pernah berniat pakai jilbab,” ujar Maya lagi menimpali. Cewek berperawakan agak tambun itu memandangi tubuh Mel lekat-lekat. “Wajahmu udah cantik. Rambut indah tergerai, kayak bintang iklan shampoo. Body juga sudah oke, mendukung semuanya. Lalu kenapa harus berubah penampilan?”

"Ah, kalian ini apaan sih!” Mel menukas pelan sambil mengajak ketiga sahabatnya memasuki ruang kelas yang baru. “Udahan yok, kita cari bangku dulu.”

“Aku nggak mau duduk sebangku dengan kamu,” seru Nuri kemudian, setelah mereka berada di dalam kelas baru. “Aku mau duduk sama Maya saja.”

“Silakan, Nur. Aku nggak keberatan kok,” jawab Mel santai. Senyumnya tanpa beban. “Kan masih ada Arum, aku bisa duduk sama dia. Bener, kan, Rum?”

“Arum kayaknya sudah ada teman duduk tuh!” sergah Nuri, sama sekali tak memberi kesempatan pada Arum untuk mengiayakan ajakan Mel. “Benar sudah ada, kan, Rum?”

“Hmm, iya sih. Sud… sudah ada kayaknya,” jawab Arum tergagap.

Pada awalnya Mel tak begitu menanggapi sikap Nuri–juga Maya dan Arum yang tiba-tiba berubah. Ketika itu, ia menganggap mereka tengah ‘menguji’ keteguhan hatinya. Dan Mel masih mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa mereka tidak sedang serius. Apa lagi jika mengingat mereka sahabat-sahabat yang menyenangkan selama ini. Tak mungkin tiba-tiba saja berubah karakter hanya gara-gara ia mengenakan jilbab, yakin hatinya.   

Mel menyadari, ia bukan cewek yang terlalu taat beragama, seperti juga ketiga temannya. Tetapi sejak ia kehilangan kedua orangtua pada gempa tahun 2006 lalu, Nyi Warti membimbingnya untuk lebih memahami tentang ajaran agama. Ia dalam tahap belajar sekarang. Namun sesungguhnya, niat memakai jilbab bukan karena hal tersebut. Selama ini Nyi Warti tidak pernah memaksa untuk berjilbab, sebab ia sendiri tak memakainya.

Ini semua berawal dari sebuah perkataan yang ia utarakan di hadapan Ryan, temannya di SMP dulu. Ryan adalah teman dekat sejak mereka duduk di kelas IX akhir. Cowok berambut sort spike itulah yang selama ini menjadi tempat berbagi cerita.

“Lek misale sesok aku isa lolos ning Budi Utomo, aku janji arep jilbaban. Iki sumpahku pokok men,”[3] ujar Mel suatu sore di teras depan rumahnya. “Aku benar-benar ingin masuk SMA favorit itu. Gimana menurutmu kalau aku berjilbab, Yan?”

“Ya terserah kamu, asal memang benar-benar dari hati loh,” jawab Ryan. “Ya kalau mau berjilbab, berjilbablah yang benar. Jangan setengah-setengah.”

“Doakan semoga aku bisa ya.”

“Ini nazar kamu loh. Kamu harus benar-benar memenuhinya kalau keinginanmu terkabul,” ujar Ryan serius seolah meyakinkan keraguan di hati Mel. “Kalau niatmu baik, pasti bisa, Mel. Dan aku yakin kalau kamu berjilbab akan terlihat lebih cantik, hehe.”

Pipi Mel berubah bersemu merah. “Bisa aja kamu,” ujarnya setengah bergumam.

Ryan mengalihkan tatapan dari wajah Mel. “Semoga kalau kamu sudah berjilbab nanti, kamu nggak nolak untuk kufoto lagi. Dan yang paling penting, kamu nggak akan memutuskan pertemanan kita.”

Mel tersenyum memerhatikan wajah Ryan. “Kamu pikir aku akan ninggalin kamu?”

“Hmm, nggak juga. Tapi bisa saja itu terjadi, kan? Apa lagi kita nggak akan satu sekolah lagi. Aku diterima SMA Sudirman loh.”

“Tapi rumahmu nggak akan ikutan pindah, kan?”

“Hehe, ya nggak dong. Tapi apa pun yang terjadi, aku tetap mendukung niatmu kok.”

Lihat selengkapnya