Jilbab (Love) Story

Redy Kuswanto
Chapter #7

Cobaan Menyapa

MEL duduk dan tergugu-gugu di kursi besi. Matanya terlihat sembab dan basah. Ia terisak satu-satu dan beberapa kali bergumam tidak jelas. Nyi Warti, perempuan berkaca mata itu, duduk di sampingnya. Tangan kanannya merangkul pundak Mel yang tampak rapuh. Mereka duduk berdampingan di depan ruang operasi.

“Ya, Allah. Selamatkan Zen.” Mel memohon di antara isaknya yang pilu.

Nyi Warti berusaha menenangkan Mel. “Semua akan baik-baik saja,” bisiknya.

"Kalau lihat hasil rontgen, sepertinya dia nggak baik-baik saja,” ujar Mel putus asa. Mel ingat apa yang disodorkan dokter sesaat setelah ia tiba di rumah sakit. “Jelas-jelas Zen terluka parah, Uti. Bagaimana mungkin Mel bisa tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa?”   

Cewek 17 tahun itu benar-benar terpukul. Baru saja ia meraih impian yang selama ini didamba, tiba-tiba cobaan datang menyapa. Ini cobaan yang luar biasa dan menghamburkan kebahagiaan seketika, seolah sengaja menghancurkan berjuta harapan dan cita-cita. Mel merasa hatinya menyerpih dan meremah tak berbentuk. Sakit yang teramat sangat. Ia benar-benar hancur menerima kenyataan yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Cobaan ini begitu dahsyat dan datang secara tiba-tiba.

Ya, Allah kenapa ini harus terjadi? Apakah aku tidak berhak mengecap kebahagiaan walau hanya sekejap? Mengapa cobaan ini selalu datang? Mel terus saja membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah menghadirkan jawaban. Di sudut hatinya yang paling dalam, ia menyesal telah mengikuti ajang adu bakat bernyanyi itu.

Nduk, ini bukan kesalahanmu. Sama sekali bukan,” bisik Nyi Warti berulang-ulang. Perempuan yang memiliki sedikit garis wajah perempuan Barat itu mencoba menguatkan cucunya. Ia mengingatkan Mel, bahwa setiap peristiwa sudah ada yang mengaturnya.

Mel masih duduk dan tergugu-gugu di kursi besi. Kedua tangannya mengepal di depan mulut. Sesekali terdengar gemeretak halus saat ujung kuku jari-jari tangan beradu dengan gigi-giginya. Jika dibiarkan, Mel bisa menghabiskan semua jari tangannya, pikir Nyi Warti. Sesaat kemudian perempuan berkulit putih itu meraih tangan Mel, lalu menggenggamnya penuh kehangatan. Sementara tangan kanannya masih merangkul pundak Mel. Cewek itu tampak rapuh dan teramat nelangsa. Wajahnya kuyu, tidak menampakkan gairah sama sekali. 

“Sudah satu jam lebih… Zen ada di ruang operasi,” gumam Mel sedikit tak jelas.

“Semoga tidak lama lagi,” ujar Nyi Warti lirih. “Sebaiknya kamu makan dulu ya?”

Uti, ini semua… salah Mel.”   

“Sudah… berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Nduk. Hentikan tangismu.” Sangat jelas Nyi Warti sedang mencoba menguatkan diri dan berusaha bijak. “Kita sama-sama berdoa saja, biar operasi adikmu berjalan cepat dan lancar. Percayalah, Allah akan menolong Zen.”

Mel masih tidak bisa menghentikan isaknya. Air mata pun tak kuasa dibendung. Bibirnya yang merah jambu bergetar menahan tangis yang semakin menyesaki dada. Kedua matanya semakin sembab dan memerah. Ia tidak peduli lagi ujung jilbab yang dikenakannya basah bersimbah air mata. Beberapa kali ia mengutuki dan menyalahkan diri sendiri. Ia menganggap, cobaan kali ini berkait erat dengan dirinya.

Ya, Mel mendakwa dirinya sendiri. Ia menganggap musibah yang menimpa Zen terjadi gara-gara dirinya. Bagaimana tidak. Jika saja ia tidak mengikuti ajang adu bakat itu, sudah dapat dipastikan ia tidak akan berada di Jakarta. Bila ia tidak berada di Jakarta, sudah tentu tidak akan ada panggung luar biasa itu, tidak ada kemenangan, tidak ada perayaan, dan… dapat dipastikan juga tidak akan ada musibah yang menimpa adik kesayangannya.

Dua hari yang lalu, Zen bersama teman-teman sekolahnya mengadakan acara nobar[1] di Kaliurang. Mereka ingin menyaksikan final kontes pencarian diva remaja dengan cara yang istimewa. Bukan hanya teman sekelas yang boleh hadir. Siapa pun boleh bergabung, termasuk masyarakat sekitar. Ini semua atas inisiatif Egi, salah satu teman sekelas Zen yang memiliki villa kecil di sana. Orang tua Egi mengizinkan mereka memakai villa tersebut.

Meskipun Nyi Warti sudah wanti-wanti meminta mereka untuk menonton di rumah saja, tetapi Zen menyambut baik ajakan Egi dan teman-temannya. Bukan hanya itu, mereka bahkan mengundang wali kota Yogyakarta, kepala sekolah SMA Budi Utomo 3, kepala sekolah SMP Tunas belia, tempat Zen bersekolah dan beberapa perangkat desa. Mereka juga mengadakan kampanye berupa pawai dan berbagai atraksi permainan untuk mendulang simpati masyarakat Yogyakarta dan mendukung Mel untuk menjadi pemenang.

“Apa ini ndak berlebihan, Zen?” tanya Nyi Warti hati-hati.

“Nggak papa, Uti. Ini semua untuk Mbak Mel,” ujar Zen meyakinkan neneknya.

“Tapi, Le,[2] kenapa harus ke Kaliurang segala?”

“Zen harus menghargai Egi dan teman-teman yang sudah menyiapkan semuanya. Lihat apa yang mereka lakukan selama ini, Uti. Kampanye di berbagai media, mengumpulkan pendukung dan entah apa lagi. Semua ini tidak ada yang dibebankan ke kita. Karena mereka sangat mencintai Mbak Mel. Percayalah, Uti. Kami bisa jaga diri.”

Nyi Warti tidak bisa mencegah kemauan Zen. Ia sangat tahu cucu lelakinya itu terkadang keras kepala. Tidak ada yang bisa menghentikan jika Zen sudah memiliki keinginan. Apa lagi jika ia menganggap keinginannya itu benar. Dengan agak berat hati, Nyi Warti harus memberi restu. Perempuan itu hanya berpesan jangan sampai membuat onar atau keributan yang bisa menganggu ketenangan masyarakat sekitar.  

Sementara pendukung Keyzia melakukan hal yang hampir sama. Bahkan di beberapa lokasi mereka mendirikan panggung hiburan megah, acara nonton bersama lebih mewah. Acara mereka pun banyak didukung oleh orang-orang penting atau pembesar-pembesar kota Yogyakarta dan disponsori banyak perusahaan besar lokal dan nasional.

Begitu nama Mel diumumkan sebagai pemenang, Zen dan rombongan merayakan dengan menggelar syukuran. Kyai kondang pun segera didatangkan. Anak-anak panti dikumpulkan. Doa bersama digelar dan berakhir dengan makan besar, kerja bakti dan penyerahan sumbangan pada masyarakat sekitar. Acara selesai hingga hari berikutnya. 

Hari ini saat pagi menjelang, Zen dan rombongan melakukan konvoi motor dari Kaliurang menuju Yogyakarta. Ratusan simpatisan bersorak girang sepanjang jalan yang mereka lalui. Teriakan yel-yel kemenangan membahana dan mengangkasa. Spanduk dan baliho bergambar wajah Mel dibentangkan dan diarak sepanjang jalan.

Iring-iringan ratusan motor yang semula berjalan tertib, tiba-tiba berubah kacau. Salah satu penyebabnya sebenarnya hanya sepele. Ketika tiba di persimpangan ringroad utara, mereka berpapasan dengan rombongan pendukung Keyzia. Saat itu kedua rombongan yang sama-sama merasa berkuasa, sama-sama tak memberikan ruang. Adu mulut pun sempat terjadi beberapa saat sebelum akhirnya rombongan Zen berbelok ke kiri.

Lihat selengkapnya