Jilbab (Love) Story

Redy Kuswanto
Chapter #8

Terabaikan

MEL membaca sekilas WhatsApp dari Ryan; “Kemarin malam aku ke rumah sakit, kamu sedang tidur. Kita nggak bisa ngobrol sedikit pun. Bisa kita ketemu siang ini, setelah kamu ketemu teman-teman di sekolah?”

Ia lalu memasukkan kembali ponsel itu pada tas yang disandang di bahu. Mel turun dari angkot yang sepi penumpang, lalu menyeberangi jalan. Ada seulas senyum di bibirnya ketika ia berdiri di depan gedung SMA Budi Utomo 3. Gedung berwarna krem dengan detil warna cokelat pada beberapa bagian itu, berdiri anggun seolah mengucapkan welcome back. Mel melambaikan tangan, dan menyapa pelan: “Aku kembali.” 

Gedung berlantai dua dan berhalaman luas itu tampak lengang. Meskipun gerbang sekolah sudah terbuka, tetapi hanya sedikit siswa-siswi yang terlihat lalu lalang di sekitar. Seorang satpam duduk santai di sebelah gerbang. Di tangannya ada gulungan surat kabar–mungkin belum sempat dibacanya. Bendera merah putih di tengah lapangan, berkibar pelan tertiup angin pagi yang sedikit basah. Mel mendongak beberapa saat, menyaksikan mega kelabu yang berarak ke arah selatan. Ia lalu melangkah perlahan melintasi tengah lapangan.

“Mudah-mudahan nggak akan turun hujan,” gumam Mel sedikit gelisah.

Pohon-pohon akasia yang tumbuh berjejer di sisi lapangan bergoyang-goyang. Beberapa helai daunnya yang menguning, jatuh ketika angin berembus agak kencang. Mel mempercepat langkah. Ia menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya. Seperti langit pagi ini, wajah Mel sedikit sendu. Hatinya masih dilingkupi resah. Galau masih melanda. Zen, Zen dan Zen yang terus menggelayuti pikirannya. Ketika ia meninggalkannya Subuh tadi, Zen belum juga sadar. Operasi yang memakan waktu lebih dari empat jam, memang melegakan hati Mel dan Nyi Warti. Operasi itu sukses dan berjalan lancar. Namun kegelisahan yang lain menghampiri. Mel takut Zen tidak akan membaik seperti sedia kala.

Dari hasil rontgen sebelum pembedahan, jelas terlihat bahwa tulang kaki dan lengan Zen mengalami kerusakan. Bahkan tulang kaki kirinya lebih parah lagi. Selain patah, ada bagian yang menyerpih dan terlepas dari tempatnya. Dapat dipastikan, Zen akan mengalami cacat tulang nantinya, yakin Mel. Ya, Tuhan, bisakah Zen menerima kenyataan ini?

 “Kata dokter, dia akan segera membaik,” kata Nyi Warti meyakinkan Mel. “Tulang muda biasanya akan memulih dan tumbuh sebagai mana mestinya. Apalagi kalau penanganannya benar. Uti percaya, dokter sudah bekerja dengan baik.” 

Sebenarnya ada yang lebih mengkhawatirkan Mel dan neneknya, yaitu luka di bagian batok kepala Zen. Letaknya di atas telinga sebelah kanan. Dari keterangan dokter bedah yang menangani, di dalam luka itu masih ada gumpalan darah yang menyumbat. Bisa saja diperlukan operasi yang kedua untuk menghilangkan sumbatan tersebut. Meskipun dokter mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tetapi tetap saja mereka masih tidak tenang.

“Ya, Allah. Angkatlah semua sakitnya. Jangan Kau tambah lagi dengan sakit yang lain,” bisik Mel di dalam hati, di antara langkah-langkahnya yang perlahan.

Beberapa saat kemudian, Mel menghentikan langkah di depan kelas XI.2. Tempat itu juga lengang. Bahkan pintu kelas itu tertutup rapat. Dari tempatnya berdiri, Mel sedikit mengintip keadaan di dalam kelas melalui kaca jendela. Tidak ada suara-suara. Tidak terlihat tanda-tanda ada orang di dalam. Ah, apakah ia datang terlalu awal? Mel memeriksa jam di tangan kirinya. Tidak! Ini sudah pukul 6 lewat 50 menit. Seharusnya sekolah sudah ramai karena kelas dimulai tepat jam tujuh pagi. Atau… ini hari libur?

Mel meyakinkan diri bahwa ini bukan hari libur. Di depan sana ada pak satpam. Gerbang sekolah terbuka dan ada beberapa siswa-siswi yang datang. Ini artinya sekolah benar-benar tidak sedang libur. Masya Allah, sudah separah inikah aku? Batin Mel. Apakah karena semua persoalan yang mendera, pikirannya menjadi kacau dan linglung?

Agak was-was, Mel memutar grendel pintu dan mendorongnya dengan sangat perlahan. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Sebelum pintu itu terbuka penuh, ada sesuatu yang menariknya dari arah dalam dengan sedikit brutal. Mel terkesiap. Tubuhnya agak terempas dan terjerembab mengikuti arah pintu. Ia hampir tidak bisa mengendalikan keseimbangan ketika pintu itu terhempas ke sisi tembok. Mel gegas menegakkan tubuh. Cewek itu belum menyadari apa yang sedang terjadi, ketika tiba-tiba sesuatu menyergap tubuhnya.

“Surpriseee!!”

“Astaghfirullah!” Mel terpekik, tak bisa menyembunyikan terkejutnya.

Sesaat Mel terpaku ketika serpihan kertas pesta warna-warni menghujaninya. Kini ia menyadari sepenuhnya, Nuri, Maya dan Arum-lah yang tadi menyambutnya dengan pelukan. Semua teman berkumpul di dalam kelas. Pak Toro, wali kelas XI.2 juga hadir di sana. Rasa haru membaluri hatinya. Terlabih, saat menyaksikan Nuri menangis dalam pelukannya. Nuri mengucapkan selamat dan sekaligus kata maaf dengan kalimat yang terbata. Mel tidak mampu mengendalikan emosi. Bibirnya bergetar. Genangan bening mengambang di bola matanya yang jernih.

“Selamat, Mel. Bapak bangga sama kamu,” ucap Pak Toro seraya menyalami.

Mel tersenyum penuh haru, lalu mengikuti langkah Pak Toro dan Nuri yang membawanya ke depan kelas. Di sana, di atas meja yang ditata sedemikian rupa, terdapat satu tumpeng nasi kuning lengkap dengan lauk-pauk yang tertata di sekelilingnya. Di samping kanan dan kiri tumpeng, ada dua ingkung yang ditaruh di atas tampah kecil. Menyaksikan itu semua, Mel tidak mampu berkata-kata. Ia berdiri dalam apitan Nuri, Arum dan Maya.

“Ini sebagai ucapan rasa syukur kita semua,” kata Pak Toro lagi. Senyum lelaki 45 tahun berkulit gelap itu, menghiasi wajahnya. “Bapak, dan kami semua tentunya senang dan bangga melihat keberhasilanmu, Mel. Kamu bukan saja mengharumkan kelas XI.2, tetapi juga mengangkat nama sekolah kita. Hanya satu pesan Bapak, tetaplah menjadi Mel yang dulu. Mel yang rendah hati dan suka menolong sesama. Jangan pernah merasa hebat lalu menjadi sombong. Karena kesombongan akan menghancurkan segalanya. Oke, sekarang kita sama-sama membaca Al-fatihah, lalu nanti Mel potong tumpengnya.”

Ternyata bukan hanya itu. Masih ada kejutan lainnya yang tidak pernah Mel duga. Selesai berdoa bersama, memotong dan membagi-bagi tumpeng, Pak Toro dan seisi kelas membawa Mel ke lapangan di depan gedung sekolah. Di sana ratusan siswa-siswi, puluhan guru dan kepala sekolah sudah berkumpul. Begitu Mel dan rombongan tiba, kepala sekolah diikuti semua guru menyabut Mel dan memberikan ucapan selamat.

Rombongan kelas XI.2 bergabung dengan siswa lainnya. Lalu kepala sekolah menaiki podium yang telah dipersiapkan. Nuri, Arum dan Maya masih mengapit Mel di antara kerumuman. Saat itulah Mel menyadari ada satu yang kurang. Keyzia! Yah, Keyzia tidak hadir di sana. Kakak kelasnya itu adalah runner up dalam ajang yang mereka ikuti.

Lihat selengkapnya