“NUR, tolong sampaikan permintaan maafku,” ujar Mel, berbicara dengan Nuri melalui telepon. Kita akan atur lagi waktunya. Iya, terima kasih ya. Asalamualaikum.”
Bukan tanpa alasan jika Mel membatalkan acara yang digagas oleh teman-temannya. Berulang kali Mel memohon pada Nuri dan teman-teman untuk memakluminya. Sama sekali bukan karena Mel tidak menghargai usaha mereka. Hanya saja, Mel sudah berjanji pada Nyi Warti, hari ini akan menemani Zen. Tadi pagi ia mengizinkan neneknya pulang. Selain harus mengambil segala kebutuhan, perempuan itu harus memberesi warung yang sudah beberapa hari ditinggalkan. Nyi Warti juga harus menemui beberapa pemasok makanan siap saji. Mereka bermaksud akan menarik kembali barang-barang jualan.
“Hati-hati di jalan, Uti,” kata Mel tadi pagi ketika Nyi Warti berpamitan. Ia menyodorkan amplop cokelat berisi uang. Nyi Warti akan menggunakannya untuk membayar dagangan para pemasok yang sudah rusak. “Maaf, Mel nggak bisa bantu-bantu Uti. Mudah-mudahan nggak terlalu banyak pekerjaan di sana.”
“Sudah, ndak papa. Tunggui saja adikmu ya.”
Beberapa tetangga, sering menitipkan makanan atau minuman yang mereka buat; dari mulai susu kedelai, jus buah, kue-kue kering hingga lauk pauk. Warung tersebut terbilang ramai. Posisi rumah Nyi Warti yang diapit dua kompleks perumahan megah, menjadikan warungnya sebagai tujuan berbelanja kebutuhan penduduk sekitar. Memang hanya warung klontong biasa. Tetapi sejak ia menerima titipan dari beberapa tetangganya, warung itu menjadi istimewa. Selain untuk mengisi waktunya yang banyak luang, warung kecil ini juga menjadi sumber pendapatan Nyi Warti dalam menjalani hari-hari tuanya.
“Jangan lupa hubungi Ryan.” Sms dari Nyi Warti sesaat lalu. “Kalau kalian ndak ada masalah, ajak dia ketemu. Kamu butuh teman bicara, Nduk.” Mel tersenyum dan membacanya sesaat, lalu meng-off-kan dan men-charger smartphone-nya.
Dari tempatnya duduk, Mel menyaksikan gerakan dada Zen yang naik turun dengan ritme yang teratur. Sungkup oksigen masih menutupi mulut adiknya. Mata cowok itu memejam sempurna. Sedangkan selang infus terpasang di tangan kirinya, mengalirkan tetes demi tetes cairan yang tergantung pada penyangga di sebelah badannya. Cairan itu mengingatkan Mel pada sosok gadis kecil, delapan tahun silam. Sebuah kenangan yang tidak pernah ia lupakan. Dulu, tetes-tetes itu membuatnya betah duduk berlama-lama di samping tubuh Ony yang ringkih. Mel merasa, itulah kali pertama ia menyukai rumah sakit.
Jauh sebelum Mel tahu apa itu rumah sakit, ia sering bergidik ngeri ketika mendengar nama dokter dan rumah sakit. Sebab yang ada dalam pikirannya, rumah sakit adalah tempat yang menyeramkan. Tempat para dokter berwajah horor dengan jarum-jarum suntik di tangan mereka yang siap ditusukkan setiap saat. Setidaknya, itulah gambaran yang ada di kepalanya. Sebuah gambaran imajinatif ketika sang bunda mengatakan akan memanggil dokter atau membawanya ke rumah sakit jika ia rewel atau susah makan.
Namun melihat bagaimana para dokter menangani Ony dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, Mel mulai berpikir, apa yang ia bayangkan selama ini salah. Meskipun saat itu banyak pasien memenuhi ruangan (korban gempa tahun saat itu bahkan banyak yang tidak tertampung dalam ruangan yang layak. Banyak di antara mereka terpaksa ditempatkan di koridor rumah sakit), tetapi dokter menangani mereka dengan wajah-wajah ramah dan senyum tulus. Lalu menyaksikan Ony yang tenang dengan irama napas yang begitu teratur, tidak ada wajah-wajah dokter yang menyeramkan dan tidak ada jarum suntik yang mengerikan, saat itu juga ia menepis bayangan buruk yang selama ini menghantui pikirannya.
Begitu betahnya menyaksikan dan menghitung tetes demi tetes cairan infus yang terus masuk ke dalam tubuh Ony, Mel bahkan tidak menyadari, ketika tetesan itu berhenti, ternyata telah berhenti pula napas kakak kembarnya. Menyadari itu, Mel meraung dalam pelukan Nyi Warti. Ia meronta dan menuduh suster dan dokter telah menghentikan napas Ony. Mel beranggapan, cairan infus itulah yang telah mengambil napas Ony secara perlahan-lahan.
“Mbak Ony sudah pergi yusul Ayah dan Bunda,” bisik Nyi Warti berusaha tegar. Zen kecil yang tidak paham suasana, mendekapnya erat. “Kita akan membawanya ke desa.”
“Nggak! Mbak Ony nggak boleh dibawa pergi!” teriak Mel histeris.
Nyi Warti berusaha menenangkan Mel yang terus meronta, dibantu beberapa orang suster. Namun Mel masih saja berteriak-teriak dan menunjuk-nunjuk selang dan kantung infus yang masih berada di dekat tubuh Ony. Suasana rumah sakit yang sejak awal diliputi pilu, semakin terasa dipenuhi kesedihan dan haru oleh teriakan Mel yang menyayat. Mel terus berteriak meminta suster menyedot kembali air di dalam perut Ony.
Tanpa Mel sadari, dua tetes air mata jatuh di pipi. Ia menyeka kedua matanya lalu menghirup napas dan membuangnya pelan. Kini ia menyaksikan tetes-tetes itu lagi, tidak dengan pikiran yang sederhana seperti dulu. Sekarang ia tahu dan paham apa fungsi cairan itu bagi tubuh Zen. Kata dokter, Zen mengalami dehidrasi. Karena masih koma, Zen tidak bisa melakukan aktifitas mengkonsumsi makanan dan minuman. Selain itu, ini merupakan salah satu cara pemberian obat yang lebih dari satu kali sehari melalui vena. Ah, ternyata bukan benda itu yang dulu menyebabkan napas Ony berhenti. Selang dan cairan infus sama sekali tidak menyebabkan seseorang kehilangan napas atau bahkan nyawa.
“Jangan ambil adikku sekarang, ya Allah,” bisik Mel, bergetar.
Jarum jam tepat berada di angka dua. Cewek berjilbab hijau motif bunga itu masih duduk di kursi di pojok ruangan. Ia baru saja selesai membaca yasin. Sesaat kemudian tangannya meraih android yang tergeletak di meja kaca lalu meng-on-kannya. Ia bermaksud menghubungi Ryan. Namun belum sempat melakukannya, ada ketukan di luar pintu.
Deg! Mel menahan napas sesaat lalu bergegas menghampiri pintu. Ada sepercik bahagia ketika ia yakin mengenal dengan baik suara salam di balik pintu itu. Mel merapikan jilbabnya sesaat–meyakinkan posisinya sudah baik dan benar–dan membersihkan wajahnya sebelum beranjak untuk membuka pintu.
Saat pintu terkuak, Ryan berdiri di ambang pintu. Ia masih mengenakan seragam SMA lengkap dengan tas ransel di punggungnya. Kedua tangan cowok itu menyangga kotak kertas berwarna cokelat di depan dada. Ia tersenyum sesaat ketika menyaksikan wajah Mel yang merona. Matanya yang cokelat membesar, berbinar dan mengerjap beberapa kali. Dalam keadaan seperti ini, kesan cool dan pendiam pada cowok itu mendadak sirna.
“Kamu nggak mempersilakanku masuk?” Pertanyaan itu menyadarkan Mel yang masih terbengong di depan pintu.
“Oh, iya. Maaf. Silakan masuk,” ujar Mel sedikit tergagap. “Sendirian?”
“Nggak. Sama Niki,” jawab cowok beralis tebal itu sambil terkekeh. Mel tahu, Niki adalah sebutan untuk kamera merek Nikon kesayangannya. Sudah sejak lama Ryan memberikan nama itu pada kameranya. Bahkan, ia sering mengatakan Niki adalah pacarnya.
Mel hanya tersenyum simpul menanggapinya. Ah, cowok itu masih sama seperti dulu.
Ryan melangkah ke dalam ruangan. Ia menghampiri Zen setelah sebelumnya meletakkan bawaan di atas meja. “Gimana keadaannya?” tanyanya pada Mel.