Jilbab (Love) Story

Redy Kuswanto
Chapter #10

Keputusan Sulit

RYAN keluar dari toko pakaian Muslim di sebuah mall, lalu masuk ke stand roti yang memiliki konsep dapur terbuka. Saat ia memasuki stand itu, aroma mocca yang tajam dan mozzarella panas menguar, bercampur dengan aroma khas adonan roti. Aroma ini tercium hingga jarak beberapa meter. Mungkin inilah yang memancing pengunjung mal untuk mampir. Terbukti, banyak antrean di depan kasa dan pengunjung begitu ramai di dalamnya. 

Cowok tinggi berkulit putih dan bersih itu mengambil nampan kayu dan food tong, lalu mulai memilih-milih beberapa roti yang dipajang dalam rak-rak kaca bertingkat. Di bagian belakang rak-rak yang berjejer, terlihat kesibukan beberapa orang chef lengkap dengan kostum kebesaran berwarna putih dengan name tag di dada sebelah kanan. Mereka tengah sibuk dengan pekerjaanya; mengadon, memanggang dan mengangkat roti dari oven. Konsep dapur terbuka yang diusung perusahaan roti ini, memungkinkan pengunjung melihat langsung proses pembuatan produk-produk andalan.

Sebenarnya Ryan sudah tahu apa yang akan dibelinya. Namun ia sempat berputar-putar terlebih dahulu. Tujuannya hanya satu, memeriksa kalau-kalau ada produk keluaran terbaru yang belum ia tahu. Setelah yakin tidak ada yang baru, ia menjumput dua meat the cheese–roti gulung berisi daging sapi asap bertabur keju–dan dua fire floss, lalu menaruhnya di dalam nampan. Roti yang pertama untuk Nyi Warti dan yang terakhir untuk Mel. Fire floss adalah roti yang sangat disukai Mel. Sejak pertama kali ia membelikannya, cewek itu langsung tergila-gila dengan roti bertekstur lembut tersebut.

“Sensasinya luar biasa. Kalau disobek kayak agak melar dan empuk,” ujar Mel suatu ketika, menjelaskan dengan ekspresi agak lugu. “Terus, olesan décor gel manis bercampur dengan abon yang pedas dan gurih, hmm… rasanya, nggak terlukiskan deh.”

“Iihh, lebay!” sergah Ryan menggoda.

Mel memainkan lidah di bibirnya. “Aku serius,” ujarnya berapi-api. matanya tidak lepas dari taburan abon berwarna cokelat kemerahan yang memenuhi permukaan roti. “Aku ikhlas ora maem pitung dina. Asal wis maem iki rasane ora bakal lapar.”[1]

Ryan tersenyum sendiri membayangkan tingkah Mel yang terkadang membuatnya geli. Kenangan yang teramat manis baginya. Terlebih saat menyaksikan cewek berlesung pipit itu tertawa, ada bahagia yang menyelinap di palung hatinya. Tapi… ah, ke mana Mel yang dulu? Ke mana Mel yang selalu memberinya suport saat aku membutuhkannya?

“Permisi, Mas.”

Suara itu menyadarkan Ryan dari lamunannya. Ia terkesiap beberapa saat. Dengan perasaan bersalah, ia bergeser selangkah ke belakang dan meletakkan food tong di atas rak. Ah, rupanya ia berdiri sudah terlalu lama dan menghalangi langkah seseorang.

Ryan mengangkat wajah. “Keyzia?”

Cewek bertubuh harum itu tersenyum. “Eh! Ryan teman Mel, kan?”

“Iy… iyah. Selamat ya, berhasil jadi runner up.” Ryan menyalami Keyzia lalu berpamitan dan segera bergabung dengan antrean di depan kasa.

“Kenapa buru-buru?”

Ryan menoleh ke belakang. Meskipun ia tahu itu suara Keyzia, tak urung ia agak tercengang saat melihat siapa yang berdiri di belakangnya. Sungguh, ia tidak pernah menyangka jika saat ini Keyzia juga ikut mengantre di belakangnya. Apa lagi, ketika ia melihat di tangan Keyzia tidak ada nampan seperti dirinya dan mereka yang mengantre di sana. Apa yang dilakukannya di sini, kenapa dia ikut berdiri dalam antrean? Batin Ryan bertanya heran. 

Mendadak cowok itu merasa tidak nyaman. Kalau saja tidak ingat harus membayar, rasanya saat itu juga ia ingin segera berlalu dari tempat itu. Meskipun ia membelakangi Keyzia, entah mengapa, rasa minder itu muncul lagi. Bukan, bukan minder karena tahu siapa diri Keyzia sekarang, tetapi memang rasa itu sering muncul tiba-tiba; tak kenal tempat dan waktu. Sesaat kemudian ia kembali memutar wajah, kembali pada posisi semula. Ia tidak peduli lagi wajah Keyzia yang berseri dengan senyum termanisnya.

“Kamu buru-buru?” Keyzia mengulang pertanyaanya.

Ryan tetap dalam posisinya. “Hmm, anu… aku sudah selesai. Aku…”

“Habis shopping apaan, sih?”

Ryan mengangkat tas kertas berlogo yang dijinjingnya. “Cuma ini,” ujarnya pendek.

“Oh, pakaian Muslimah ya?” Keyzia merangsek maju, hingga jarak keduanya begitu rapat. Sepersekian detik kemudian, Keyzia menarik tas itu dari tangan kiri Ryan dengan gerakan agak kasar, lalu memeriksa barang yang ada di dalamnya.

Ryan membalikkan badan secara refleks. “Hay, you can’t do that. Really rude!”

Melihat wajah cowok di depannya memerah, Keyzia seolah merasa senang. Saat Ryan berusaha mengambil miliknya dari tangan cewek itu, justru Keyzia berjingkat dan keluar dari antrean. Tangannya merogoh ke dalam tas kertas dan mengeluarkan isinya, lalu mengibas-ngibaskannya dengan gerakan aneh.

Beberapa orang yang ada di sekitar, memerhatikan tingkah Keyzia dengan berbagai ekspresi. Ada yang mengerutkan kening, menahan senyum bahkan tertawa. Begitu tahu siapa cewek yang ada di hadapannya, beberapa pengunjung merangsek dan membuat foto selfie.

Rahang Ryan mengencang. Dadanya naik turun. Ia merasakan darahnya bergerak cepat ke ubun-ubun. Rasanya ingin sekali melabrak dan menampar wajah Keyzia. Namun melihat situasi yang sangat tidak memungkinkan, ia hanya bisa meredam geram, menelan ludah dan menahan rasa panas yang menyesaki dadanya. Ryan tidak peduli lagi apa yang dilakukan Keyzia, ketika antrean di depannya sudah kosong. Ia harus membayar belanjanya.

“Wow, hijau! Warna favorit dia, nih.” Tiba-tiba Keyzia sudah berdiri di samping Ryan dengan tatapan dan tingkah yang genit. “Ini untuk Mel yang sok alim itu, kan?”

Ryan tidak peduli ocehan Keyzia, ia membayar bill dan sedetik kemudian merebut kerudung dan tas dari tangan cewek yang menyebalkan itu. Menerima perlakuaan tersebut, Keyzia terkekeh hingga tubuhnya terguncang. Ryan menahan panas yang menjalari wajahnya. Dengan gerakan cepat dan kasar, cowok itu melipat dan memasukkan kerudung ke tempat semula. Tanpa menoleh, ia lalu melangkah meninggalkan tempat itu.

“Ryan, percuma kamu ngasih kerudung segala ke dia. Sebentar lagi Mel justru akan buka jilbab. Tahu kenapa? Karena dia lebih sayang sama adiknya….”

Ryan menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Apa maksudmu?”

“Melody akan tampil di publik tanpa jilbab. Ini kesepakatan yang sudah dia setujui.”

“Nggak usah membual, Keyzia!” tukas Ryan, menaikkan nada suaranya. Manik matanya yang cokelat dan tajam menatap Keyzia lekat. “Maaf, aku harus pergi,” pungkasnya.

Ryan lekas berbalik dan melangkah lebar. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung mall siang itu. Setengah berlari cowok itu menuruni lift menuju parkiran. Ia sama sekali tidak peduli suara Keyzia yang terus memanggilnya dan berusaha mengejar untuk menjelaskan sesuatu. Tingkah Keyzia yang tidak terkontrol dan lebih menyerupai anak kecil kehilangan mainan, membuat Ryan semakin jengah.

Lihat selengkapnya