Jilbab (Love) Story

Redy Kuswanto
Chapter #11

Di Titik Nadir

MEL menyalami orang-orang yang berkeruman di halaman mushola. Laki-laki, perempuan, tua dan muda menyambutnya dengan senyum hangat. Mereka berkumpul saat melihat Mel datang ke Bawuran–desa kelahiran dan tempat tinggalnya dahulu. Sebagian dari mereka adalah tetangga di sekitar bekas rumahnya. Tetapi banyak juga yang datang dari desa-desa sebelah hanya karena penasaran. Mereka yang mendengar kabar kedatangan Mel, ingin bertemu langsung dengan sang idola yang selama ini hanya bisa mereka saksikan di layar kaca.

Banyak di antara yang hadir yang meminta berfoto bersama. Tidak sedikit yang hanya ingin menyalami dan memberinya ucapan selamat. Namun beberapa tetangga yang mengenalinya, begitu terharu dan bangga dengan Mel. Bahkan mereka memeluknya dengan berlinang air mata. Rindu tertumpah. Bahagia meruah.

Siang itu, Mel menjadi tamu istimewa di desanya. Padahal, ia sudah berusaha mencari cara agar tidak ada orang yang menyadari kehadirannya. Namun, tetap saja masih saja ada yang mengendus kedatangannya. Sebenarnya, ia juga tidak ingin orang-orang di desa ada yang mengenalinya. Sebab, kunjungan tidak direncana ini hanya sekadar melepas kangen pada tanah kelahiran, pada kedua orangtua dan kakaknya. Maka, selepas acara beramah-tamah dan mengunjungi bekas rumahnya, Mel segera berpamitan.

Bekas rumah mereka, kini menjelma mushola mungil dan indah. Dua tahun setelah peristiwa naas tahun 2006, Nyi Warti menjual tanah tersebut dan menghibahkan pekarangan pada kas desa. Tidak ada sesuatu dari rumah itu yang bisa Mel dapat, selain sebuah kenangan. Ya, kenangan indah bersama orang-orang tercinta yang jasadnya telah terkubur di ujung desa. Kini, langkah yang letih membawanya menuju ke sana.

Dulu, di sebelah timur rumah mereka, berdiri pohon johar berdahan rendah. Di bawah pohon rindang itu, menjelma arena bermain yang mengasyikan. Anak-anak dari rumah-rumah di sebelahnya menghabiskan waktu di sana. Banyak permainan yang sering mereka mainkan, dari engklek, dakon hingga lompat tali. Namun saat sedang berdua, Mel dan Ony lebih sering bermain ayunan tali. Ayunan dengan alas sepotong papan yang dibuat oleh Pak Hasnan, ayah mereka. Di desa Bawuran, Pak Hasnan dikenal sebagai pengrajin perabotan kayu.

Saat bunga johar mekar, warna kuningnya akan mengundang gerombolan kupu-kupu kecil bersayap hijau kekuningan. Mel dan Ony kecil sering berebut menangkap ratusan kupu-kupu tersebut. Mereka memasukkan hewan-hewan kecil menggemaskan itu ke dalam toples kaca. Lalu, setelah banyak terkumpul, mereka akan kembali dilepas ke alam bebas. 

Sementara Zen, masih di bawah pohon yang sama, sering bermain jingkat-jungkit yang dibuat dari bilah papan sengon membentuk badan kuda. Pak Hasnan juga membuatkan mobil-mobilan kayu dengan roda terbuat dari karet sandal bekas. Pada saat-saat tertentu, Mel dan Ony memasangkan mahkota daun nangka di kepala Zen. Lantas menyelempanginya dengan rangkaian bunga johar dan durian. Sementara Mel dan Ony sendiri akan berperan sebagai dayang. Kepala mereka juga berhias bunga johar, bahkan kalung dan gelang juga.

Mereka akan berhenti bermain ketika Bu Wulan, ibu mereka menyudahinya; mengajak mereka mandi atau membutuhkan bantuan. Dalam keseharian, Bu Wulan membuka modiste kecil-kecilan dan warung kelontong di rumahnya. Sejak usia dini, Bu Wulan sudah membiasakan Mel dan Ony untuk hidup mandiri. Kedua bocah kecil itu sudah terbiasa mencuci piring sendiri setelah makan, membereskan kamar dan menyiapkan keperluan sekolah. Bahkan ketika Bu Wulan disibukkan dengan pesanan jahitan, keduanya akan membantu menyiapkan benang, kancing atau kebutuhan lainnya.

Jilbab… jilbab putih, lambang kesucian.

Lembut hati, penuh kasih, teguh pendirian.

Jilbab… jilbab putih, bagaikan cahaya.

Yang bersinar di tengah malam gelap gulita.

Mel dan Ony suka menyanyi. Penggalan lagu nasyid lawas itulah yang pertama kali berhasil mereka hafal. Selain mendengarkan radio dan menonton televisi, Bu Wulan juga sering mengajari. Maka tidak mengherankan, saat duduk di kelas satu SD pun, Mel dan Ony sudah bisa meraih juara satu dalam ajang bernyanyi anak-anak sekabupaten Bantul. Lalu sejak itu Mel sering mengikuti berbagai lomba. Sedangkan Ony yang pendiam dan pemalu lebih suka membaca puisi. Dan ia tidak ingin tampil di depan orang banyak.

Di hari Minggu, mereka lebih banyak menghabiskan waktu sekeluarga. Pak Hasnan dan Bu Wulan akan menunda semua pekerjaan mereka. Mereka mengajak ketiga anaknya berkunjung ke rumah eyang putri di Yogyakarta atau sekadar jalan-jalan. Ketika malam tiba, selesai mengerjakan PR, Bu Wulan mengantar kedua putrinya ke peraduan dengan dongeng si Kancil. Sementara Zen selalu ingin tidur bersama ayahnya.

Mel mengusap genangan di kedua sudut matanya. Ada perih yang menyayat di ulu hati ketika kenangan itu begitu saja terlintas di ingatannya. Satu-satu, langkahnya menyusuri tanah kering berbatu. Bayangan tubuh sudah condong jauh ke timur saat ia tiba di tanah makam.   

Gemersik daun-daun bambu yang dibelai angin, menyambut kehadiran Mel sore itu. Desau angin dan suara-suara yang ditimbulkannya, seperti nyanyian syahdu yang hanya mampu dimengerti oleh alam. Satu kuntum kamboja jatuh, menyatu bersama beberapa kuntum lainnya di atas gundukan tanah makan. Wangi kuntum-kuntum yang berserak tersebut menelusup halus merambati indera penciuman, lalu sesaat menguap bersama angin.

Mel berlutut di depan pusara. Berulangkali tangannya membelai tanah kuburan yang keras dan kering. Sesekali ia mencabuti rumput-rumput kecil yang tumbuh di atasnya dengan gerakan yang kaku. Yang posisinya di tengah adalah kuburan Harmony Prisha, gadis kecil yang cantik, lembut dan pendiam. Sementara yang mengapit di kanan dan kirinya, adalah kuburan ayah dan ibu mereka. Masing-masing kuburan ditandai oleh batu nisan bertuliskan nama yang dipahatkan di atasnya. Ketiga kuburan disatukan oleh kotak persegi empat terbuat dari semen. Tegel kecil berwarna biru langit menghiasi sisi-sisi kotak tersebut. 

“Asalamualaikum, Ayah… Bunda… Mbak Ony,” ucap Mel lirih.

Cewek berjilbab hijau-toska itu mengusap dan mencium ketiga nisan bergantian. Mereka adalah orang-orang terkasih yang pernah Mel miliki. Meskipun kepergian mereka sudah hampir sembilan tahun, namun kenangannya tidak mampu ia lupa begitu saja. Mereka tetap tersemat indah di dalam hati dan pikiran.

Mel menyatukan kedua telapak tangan dan menadahkannya di antara dagu dan dada. Perlahan ia memejamkan mata dengan sempurna. Wajahnya menengadah ke arah langit barat. Dengan suara bergetar ia berucap lirih, “Ya Allah, luaskan kuburan mereka, muliakan arwah mereka, sampaikan mereka pada ridha-Mu, tenteramkan mereka dengan rahmat-Mu, rahmat yang menyambungkan kesendirian mereka, yang menghibur kesepian mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[1]

Setelah mengucapkan kata amin, cewek itu kembali membuka mata. Tiba-tiba pandangannya membias. Ia ingin kembali mengucapkan sesuatu. Namun, bibirnya bergetar hingga kalimatnya kembali tertelan. Seketika, ada sesuatu yang memberat di kelopak mata cewek itu. Ia juga merasakan kedua matanya memanas dan dadanya bergolak. Rasa pilu menyergap dan mengentak-entak jantungnya. Getaran halus menjalari seluruh tubuh, hingga bibir dan kedua tangannya terasa kebas. Mel seolah lumpuh. Ia pun tidak kuasa menahan ketika air mata yang berhambur membasahi pipinya.

Lihat selengkapnya