SETELAH memarkirkan motornya, Ryan bergegas menaiki anak tangga menuju lobi rumah sakit. Masih jam sembilan pagi. Ia sengaja bolos dari sekolah seusai jam pelajaran pertama. Hatinya tidak tenang. Pagi tadi, saat meng-on-kan android-nya ia mendapati beberapa missed call dan sms dari Nyi Warti. Perempuan itu memintanya untuk ditelepon. Dan itu kemarin malam. Ryan mengutuki diri, kenapa semalam ia harus mematikan alat komunikasinya. Pasti ada sesuatu yang penting sehingga Nyi Warti menghubunginya.
Rasa bersalah itu membuatnya gelisah. Terlebih ketika Nuri mengirimkan WhatsApp dan menanyakan ‘apakah Mel sudah pulang’. Tidak ingin sesuatu terjadi, Ryan pun memutuskan menemui Nyi Warti dan Mel di rumah sakit.
Namun, cowok berambut sort spike dan basah itu tercekat. Ia hanya bisa mematung di sisi koridor saat menyaksikan siapa yang tengah duduk di depan kamar Dahlia 7. Keyzia. Ya, Keyzia! Ia duduk dengan anggun di samping Nyi Warti yang tampak lelah. Bagaimana mungkin cewek itu sudah hadir sepagi ini? Dan… ah, siapa lelaki botak yang bersamanya?
“Ryan? Sini, Le!” Seru Nyi Warti. Ia berdiri dan memanggil-manggil.
Melihat kecemasan tergambar di wajah perempuan yang disegani itu, Ryan melangkah perlahan, menghampiri. Berulang kali ia mengucapkan kata maaf karena tidak menjawab sms dari Nyi Warti. Ia masih berdiri kaku ketika Keyzia bangun dari duduk dan memandanginya dengan tatapan tidak bersahabat.
“Tante tahu? Mel hilang, juga gara-gara dia!” Keyzia menunjuk tepat di wajah Ryan, membuat cowok itu salah tingkah. “Dia yang selalu ikut campur urusan orang!”
“Maaf, ada apa ini?” tanya Ryan sedikit bingung. “Ada apa dengan Mel?”
Nyi Warti menyilakan Ryan duduk di kursi panjang, di samping dirinya. Cowok itu masih tidak paham, apa sebenarnya yang dikatakan Keyzia. Melihat mimik Nyi Warti dan lelaki botak yang duduk membeku, Ryan menduga ada sesuatu yang serius yang tengah mereka bicarakan. Sesaat kemudian, Ryan sudah dapat menduga-duga, lelaki itu adalah produser yang tempo hari diceritakan Mel. Ya, dia Pak Bob yang tidak berperasaan itu.
“Ryan bersama kelompoknya sedang merencanakan sesuatu,” ujar Keyzia.
Ryan menghela napas dan membuangnya lewat hidung. Ia menata kalimat dan debaran jantung sebelum mengajukan pertanyaan. “Maaf, ini tentang apa? Kenapa Keyzia tiba-tiba menuduh seperti itu?” tanyanya semakin tidak paham.
Nyi Warti mengusap bahu Ryan pelan. “Le, semalam kamu ndak sama Mel?”
Ryan terkesiap. “Nggak, Uti. Memang Mel ke mana? Dia belum pulang?”
“Ini yang bikin Uti panik,” sahut Nyi Warti tak bisa menyembunyikan kecemasan yang makin menjadi di wajahnya. “Padahal, Pak Bob dan Nak Keyzia datang untuk membicarakan masalah kerja. Lalu bagaimana ini? Ke mana sebenarnya Mel?”
“Mel tidak akan menyetujui kontrak kerja itu,” ujar Ryan lirih.
Nyi Warti memandangi wajah Ryan. Keyzia menyikut lengan Pak Bob.
Pak Bob hanya mengangkat wajahnya. Ada senyum aneh tergambar di bibirnya yang besar dan hitam. “Kamu siapanya Mel?” tanyanya pada Ryan, penuh penekanan.
“Teman.” Nyi Warti yang menjawab. “Dia teman dekat Mel.”
“Pacar?” tanya Pak Bob sinis.
Ryan diam. Nyi Warti masih memandanginya, tak tahu harus berkata apa.
Keyzia yang telah kembali duduk di tempat semula, memandangi Ryan tidak berkedip. Matanya membola, membuat Ryan sedikit bergidik. Cowok itu seperti melihat api di dalam bola mata Keyzia. Ia pun berusaha menenangkan diri, mengatur debaran jantungnya. Namun, gelisah itu masih tetap ada. Dengan gerakan kaku, ia meremas jari tangannya.
“Nggak usah pura-pura lugu, Ryan.” Nada bicara Keyzia meninggi. Pandangan matanya masih lekat pada wajah cowok itu. “Kamu sengaja menyembunyikan Mel biar nggak ada penandatanganan kontrak kerja, kan? Kamu sengaja mengacaukan rencana ini!”
“Uti ndak paham, ada apa ini, Le?”
“Saya juga nggak ngerti, Uti,” sahut Ryan berusaha tenang. “Silakan lanjutkan, Key.”
Pak Bob memperbaiki duduknya. Ia mengeluarkan map berwarna biru dari tas kotak menyerupai koper. “Seperti yang saya katakan di awal tadi, Bu,” ujarnya dengan nada yang diatur sedemikian rapi. “Mel sudah menyetujui semua persyaratan yang kami ajukan. Dan hari ini saya datang langsung dari Jakarta untuk pengesahan kontrak kerja ini.”
“Mel tak akan menandatanganinya,” tukas Ryan dengan wajah datar.
“Bagaimana kamu yakin?” tanya Pak Bob. Wajahnya menyiratkan rasa tak suka.
“Kami akan berusaha membantu dia mendapatkan biaya itu,” sahut Ryan.
“Dia sudah mengatur semuanya, Pak Bob,” sela Keyzia. “Mel nggak akan menandatangani surat perjanjian ini. Dan semua ini karena ulah Ryan. Percaya saya, dia dan genk-nya yang sudah menyembunyikan Mel. Saya pernah memergoki pertemuan mereka. Ini nggak bisa dibiarkan. Pak Bob harus melaporkan tindakan kriminal ini.”
Diam sesaat. Senyap.
Nyi Warti memandangi Ryan dan bertanya ragu, “Apa itu benar, Le?”
“Kenapa nggak diceritakan apa persyaratan itu?” Ryan justru balik bertanya pada Keyzia dan Pak Bob. Ia yakin, Nyi Warti sama sekali tidak mengetahui apa persyaratan yang dimaksud dan telah disetujui Mel itu. “Bukankah kami harus tahu?”
“Kamu tidak berhak tahu!” bentak Pak Bob. Ia berdiri dan menunjuk wajah Ryan dengan kasar. “Sebaiknya kamu tidak berada di sini. Ini semua tak ada hubungannya dengan kamu. Ini kerja sama profesional, jadi jangan coba-coba ikut campur!”
“Baik. Saya memang tidak punya hak apa pun di sini.” Ryan bangun dari duduknya lalu berdiri tegap menghadap Pak Bob. “Tapi saya mohon, jangan rahasiakan isi kontrak itu. Uti berhak tahu. Dan, kalau kalian punya etika dan berpendidikan, sebaiknya tahan suara kalian. Berteriak-teriak di depan kamar pasien, bukan perbuatan terpuji tentu saja.”
“Sebentar, Ryan. Uti makin ndak paham.” Nyi Warti ingin mencegah langkah Ryan, tetapi Keyzia menghalanginya. Perasaan perempuan itu berkecamuk. Resah, khawatir, cemas dan entah apa lagi, bercampur menjadi satu. “Ada apa ini? Tolong jelaskan!”
"Kalau kamu benar terlibat dengan hilangnya Melody, saya tidak akan ragu-ragu melaporkan kejahatan ini!” ancam Pak Bob ketika melihat Ryan meninggalkan tempat itu.