KINI Nyi Warti menyadari, murungnya Mel bukan semata-mata karena musibah yang menimpa Zen. Lebih dari itu, karena tawaran Pak Bob dan persyaratan yang diajukannya. Yang tidak ia pahami, kenapa selama ini Mel tidak pernah bercerita tentang persoalan ini. Nyi Warti paham jika Mel melakukannya demi Zen, tetapi tidak seharusnya Mel menanggung sendiri semua persoalan. Seharusnya, Mel bicara dengan Nyi Warti dan sama-sama mencari solusi terbaik. Ini yang diinginkan perempuan dengan tutur kata halus itu.
“Ndak ada yang perlu dirahasiakan, Nduk.” Nyi Warti bergumam sendiri. “Bukankah sejak kecil ayah dan bundamu sering mengajarkan untuk saling terbuka? Dan selama ini, kamu selalu terbuka sama Uti, tentang apa pun. Lalu kenapa sekarang jadi berubah?”
Seorang suster masuk, memeriksa keadaan Zen dan memberitahukan bahwa sebentar lagi operasi akan segera dilakukan. Zen mengangguk. Ia tersenyum pada Nyi Warti yang sejak tadi mengawasinya. Cowok itu mengucapkan kata ‘tak apa-apa’ dan ‘siap’ dengan suara yang tersendat dan lirih. Suaranya berdesis dan menyangkut di langit-langit mulutnya. Nyi Warti memberikan kecupan di kening Zen sesaat setelah suster ke luar ruangan.
“Iya, semua akan baik-baik saja, Le,” bisik Nyi Warti, memberi kekuatan pada cucu lelakinya. “Setelah ini, ndak ada lagi operasi kok. Hanya tinggal pemulihan saja.”
Zen mengangguk lagi. Matanya yang hitam memandangi neneknya. “Mma… sih ebb… oleh min… minum?” tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Kata-katanya begitu tersendat dan satu-satu. Butuh kesabaran untuk memahaminya.
Cekatan, Nyi Warti memberikan air mineral dalam gelas. Dengan sabar, perempuan itu memasukkan pipa kecil ke mulut Zen. Hanya dua hisapan saja Zen menelan minumannya. Ia menyudahi dan mengucapkan kata ‘cukup’ dan ‘terima kasih’. Nyi Warti membersihkan sisi mulut Zen menggunakan tisyu. Zen tersenyum samar dan mengawasinya.
“Tta… di, mul-ut Zzen ker… ker-ing.”
“Iya. Uti tahu. Ndak papa minum sedikit. Sekarang sudah ndak lagi, kan?”
Zen menggeleng.
“Sekarang kita siap-siap ke ruang operasi ya.”
“Mbb… Mel, di ma-na?”
Nyi Warti sempat gelagapan mendengar pertanyaan barusan. Namun ia ingat kata Ryan bahwa Mel ada di suatu tempat. Cewek itu ingin menyendiri beberapa saat dan akan segera pulang. Rasa cemas dan khawatir masih menyelimuti hatinya. Entah bagaimana keadaan cucu perempuannya itu. Ia sangat takut jika hal-hal tidak diinginkan telah terjadi.
“Mb… mbak Mel?” Zen mengulang pertanyaanya.
“Mbak Mel sedang ada keperluan di luar. Sama Mas Ryan. Sebentar lagi datang.”