MEL tergopoh-gopoh memasuki rumah sakit. Langkah-langkahnya semakin cepat ketika menyusuri koridor. Di belakangnya, Ryan juga berjalan dengan tergesa mengimbangi langkah Mel. Beberapa orang yang sempat melihat mereka, menatap prihatin dan merasa maklum. Bisa jadi, mereka tergesa-gesa karena ditunggu keluarga yang sakit parah, atau bahkan tengah menghadapi maut. Mel terus melangkah dan berhenti ketika mendapati Nyi Warti, Nuri, Arum, Maya dan beberapa teman Zen di depan ruang operasi.
Begitu melihat kedatangan cucunya, Nyi Warti berdiri dan menyambut hangat. Bibir perempuan itu bergetar dan tidak mampu berkata-kata. Terlebih saat Mel menghambur ke dalam pelukan, perempuan itu tidak mampu menyembunyikan air mata. Haru dan bahagia berbaur menjadi satu dan menyesaki rongga dadanya seketika.
“Maafkan Mel, Uti. Mel sudah membuat Uti sedih dan khawatir.”
Nyi Warti mengeratkan dekapan. Rasanya, tidak ingin lagi melepaskan cucu kesayangannya walau hanya sedetik. Pemandangan haru itu berlangsung lama di hadapan Ryan. Dan cowok itu hanya mampu menelan ludah yang terasa mengering di kerongkongan. Ada cemburu memercik. Mereka adalah orang-orang sederhana, tetapi memiliki cinta yang luar biasa. Diam-diam hatinya meratap dan berharap, kapan hidupnya bisa seperti mereka?
“Jangan pernah melakukan ini lagi, Nduk,” bisik Nyi Warti di antara isaknya yang menjadi. “Pokoknya jangan. Uti bisa mati berdiri karena khawatir dan terlalu takut.”
“Mel janji, nggak akan mengulangi, Uti.”
Senyap. Yang ada hanya keharuan yang melingkupi suasana dan hati mereka yang hadir di sana. Maya dan Arum berpelukan. Ada butiran bening menitik di sudut mata mereka. Beberapa teman perempuan Zen dari sekolahnya, juga tidak mampu menahan haru. Mereka hanya menelan ludah dan membiarkan mata mereka berkaca-kaca.
“Nduk, seharusnya kamu bicara sama Uti,” ujar Nyi Warti lagi. Beberapa kali ia menciumi pipi Mel yang basah. “Kamu ndak boleh menyembunyikan masalah dan menanggungnya sendiri. Kita bisa bicara… kita sama-sama mencari jalan ke luarnya.”
“Demi Allah, Uti. Mel hanya nggak mau Uti tambah sedih.”
“Ini salah, Nduk. Nggak baik. Janji ndak akan mengulangi lagi?”
Setelah bergantian memberikan pelukan dan ciuman pada Mel, Nuri dan kedua sahabatnya memapah Nyi Warti, membawanya duduk di tempat semula. Sementara Ryan duduk pada kursi panjang di depan mereka. Egi dan beberapa temannya ada di sana.
“Zen tanya kamu terus, Nduk.” Nyi Warti menyeka air mata di pipinya dan pipi Mel.
Mel menelan ludah pelan. “Sudah berapa lama di dalam?
“Hampir satu jam. Mudah-mudahan segera selesai.”
Egi dan teman-temannya berpamitan untuk pulang. Mereka berjanji akan kembali sore nanti. Maya dan Arum berpindah tempat, duduk sekursi dengan Ryan.
“Pak Bob sudah menghubungi kamu?”
Pak Bob? Kok Uti tahu Pak Bob?”
Nyi Warti memandangi Ryan sebelum menjawab. Cowok itu paham bahwa Nyi Warti ingin bertanya ‘apakah Ryan belum bercerita kedatangan Keyzia dan Pak Bob?’. Ya, Ryan sengaja tidak menceritakan kedatangan Keyzia dan Pak Bob. Sebab ia merasa kondisinya tidak tepat. Ia lalu menggeleng dan diartikan ‘belum’ oleh perempuan itu. Lantas, meluncurlah cerita dari mulut Nyi Warti tentang kedua tamunya, tidak ada sedikit pun yang terlewat.
“Kalau Pak Bob nggak ngubungin kamu, itu artinya Keyzia sudah menggantikan posisimu, Mel.” Nuri berkomentar begitu Nyi Warti selesai bercerita.
Bukan tanpa alasan jika Nuri berpendapat seperti itu. Sebab dari cerita yang ia pahami, Pak Bob tidak memiliki banyak waktu menjelang acara spektakulernya. Sepertinya, lelaki itu lebih baik memilih Keyzia daripada menanti Mel yang belum begitu jelas keberadaan dan kesanggupannya. Selain itu, Nuri juga membaca dari beberapa broadcast BBM, WhatsApp dan twitter, bahwa Keyzia memang sudah ke Jakarta untuk menjalani gladi resik.
Mel merasakan hatinya mencelus ke dalam kubangan kekecewaan. Keyzia telah merampas kesempatannya. Pupuslah harapannya untuk bisa tampil dan mempromosikan diri. Terlebih… hilanglah kesempatan mendapatkan biaya yang ia butuhkan. Mel menyadari kekeliruannya. Seharusnya sejak dulu ia bisa memberikan jawaban. Semestinya ia tidak perlu mengulur-ulur waktu dan terlalu banyak menimbang. Ya, Allah. Ini salahku, terlalu bimbang dan ragu. Lalu, jalan mana lagi yang harus aku tempuh?
“Allah telah menyelamatkanmu, Nduk,” komentar Nyi Warti kemudian. “Kamu harus pahami, inilah jalan yang Allah berikan untuk kamu. Itu artinya, Allah merestui dan menginginkanmu terus berjilbab; menjadi contoh anak muda yang berakhlak mulia dan menjalankan ajaran-Nya. Kamu itu sudah menjadi sorotan jutaan mata, Nduk. Sekali kamu mengecewakan mereka, maka tamatlah riwayat kariermu.”
“Meskipun ini demi kebaikan, Uti?”
“Ya, meskipun ini demi kebaikan, atau bahkan atas nama kemanusiaan,” jawab Nyi Warti menandaskan. “Kejadian ini jelas menunjukkan pada kita, Allah ndak mengijinkanmu menjual akidah demi materi atau karier dan ketenaran. Syukurilah semua ini.”
Jujur, Mel ingin sekali mengatakan pada neneknya bahwa secara tidak langsung ia memang menginginkan ketenaran. Karena dari ketenaran itulah, Mel yakin ia bisa memperbaiki kehidupan ekonominya. Terlepas dari sekadar menyalurkan hobi, Mel menginginkan karier yang lebih baik. Dan jika hanya hal itu yang ia kejar, Mel bersumpah, Demi Allah, tidak akan menanggalkan jilbabnya.
Namun kenyataan yang ia hadapi begitu berbeda. Ini demi Zen, orang terkasih yang telah menjadi napas hidupnya. Demi Zen ia ikhlas melakukannya dan rela menanggung dosa. Jika bukan ini yang ia lakukan, lalu apa? Ia tidak menemukan jalan lain yang lebih menjanjikan. Tapi, ah, sudahlah. Aku tidak perlu meratapinya. Semoga Allah memberi jalan yang lain. Meskipun hatinya masih dihantui kekhawatiran akan biaya, namun di sisi lain Mel memang sangat bersyukur, ia sudah terlepas dari dosa.
“Sekarang pulanglah dulu,” ujar Nyi Warti kemudian. Ia memandangi keadaan Ryan dan Mel yang terlihat lusuh. Pakaian yang mereka kenakan, masih pakaian yang kemarin. “Kalian harus mandi dan ganti pakaian. Biarkan Uti di sini bersama Nuri, Arum dan Maya.”
“Nggak papa, Uti. Mel di sini saja.”
“Lihat pakaianmu, Nduk. Lusuh dan penuh debu. Ryan juga. Ini ndak baik untuk kalian, juga ndak baik untuk pasien loh. Ingat, ini rumah sakit, semua harus steril dan bersih. Udah, kalian pulang saja dulu sebentar ya?”