Jilbab (Love) Story

Redy Kuswanto
Chapter #15

Harapan Terakhir

“KEYZIA! Keyziaaa! Stop!”

Teriakan Pak Bob membahana, bergema memenuhi ruangan. Lelaki gempal berkepala botak itu berkacak pinggang. Ia bergegas menaiki panggung, menghampiri Keyzia yang tengah terpaku menatapnya. Keyzia seperti melihat kilatan cahaya di bola mata Pak Bob. Meskipun demikian, cewek itu tidak mampu berbuat apa-apa selain menggigit bibir. Melihat wajah Pak Bob memerah menyerupai tomat matang, music arranger dan para pemusik ikut-ikutan tegang. Mereka hanya bisa berdiri kaku di depan alat musik masing-masing.

“Apa terjadi, Keyzia?” tanya Pak Bob dengan alis terangkat dan dahi berkerut. “Sudah berapa kali kamu mengulang lagu yang sama? Berapa kali, ha?!”

Keyzia tertunduk, memandangi ujung stiletto yang dikenakannya. “Tig… tiga, Pak.”

“Kalian, kalian semua ada masalah? Sejauh ini bisa menyesuaikan?” seru Pak Bob pada Nico, sang music arranger dan sekaligus pimpinan sebuah orchestra ternama.

“Sejauh ini, tidak, Pak. Kami bisa menyesuaikan,” sahut Nico dengan yakin.

Pak Bob merangsek ke tengah panggung, mendekati tempat Keyzia berdiri. Wajahnya semakin merah. “Kalau setiap lagu harus diulang sebanyak itu, akan berapa hari yang kamu perlukan untuk menyanyikan sepuluh lagu?” 

“Pak, semua lagu ini… termasuk lagu yang… yang sulit.” Keyzia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kalimatnya terbata-bata. “Pak Bob sendiri tahu, lagu-lagu ini… ini dipersiapkan untuk Melody. Suara saya….”

“Tidak cocok menyanyikannya? Begitu?!”

“Bb… benar, Pak.”

“Astaga, Keyzia! Kenapa baru mengatakannya sekarang?” Mata Pak Bob membola. “Kamu loh yang bilang sanggup menggantikan posisi Melody. Bukan saya!”

“Saya pikir akan mudah… sesuai dengan….”

“Ahh, kacau! Ini tanggung jawab kamu, Keyzia!”

Keyzia cemberut. “Saya perlu istirahat, Pak.”

“Istirahat lagi? Berapa kali kamu minta istirahat?”

“Sejak semalam saya belum tidur… harus menghafal lagu.” Keyzia menunjukkan wajah protes. “Dan, ini masih jam tujuh pagi, Pak. seharusnya saya masih tidur.”

“Heh, Keyzia. Umur saya jauh lebih tua. Tapi saya tidak pernah mengeluh capek.” Pak Bob memandangi wajah Keyzia yang merajuk. “Tak ada kata istirahat sebelum kamu menunjukan penampilan yang sempurna.”

Pak Bob mengalihkan pandangan dan berseru pada Nico dan rombongannya. “Kalian juga capek? Baik. Kalian rehat dulu sementara saya ngomong sama Keyzia.”

Nico, lelaki muda berkaca mata itu meminta crew-nya untuk beristirahat. Ia tidak bisa melakukan apa-apa saat ini. Bagi mereka, semua lagu yang diusulkan Pak Bob dan Dery–ia dipercaya untuk memegang stage director–beberapa waktu lalu, mampu mereka iringi dengan baik. Sekarang tinggal bagaimana sang vocalist. Bagi Nico, ini bukan masalah besar. Pengalaman puluhan tahun dipercaya mengiringi acara-acara musik di tanah air, membuatnya tidak kesulitan jika hanya meng-arrangement sepuluh lagu terbaik yang sudah dikenal.

“Pak Bob… it’s not fair.” Keyzia kembali protes.

Pak Bob memegangi kepala dan menggeleng berulang-ulang. Ia lalu berseru ke arah kursi penonton, “Jo! Sini kamu, Jo! Sekalian sama Heri dan Raga juga!”

Tiga orang yang disebut namanya segera beranjak dari kursi masing-masing. Jo adalah seorang guru vokal, Heri seorang koregrafer dan Raga penata kostum. Ketiganya merupakan orang pilihan yang didatangkan khusus untuk membantu Keyzia mempersiapkan diri. Waktu yang mereka perlukan hanya dua hari. Dan pagi ini, seharusnya waktu terakhir melakukan gladi resik. Nanti malam, jam delapan Keyzia harus tampil live, menggantikan posisi Mel.   

“Jo, apa lagi yang harus kita lakukan?” tanya Pak Bob dengan wajah cemas. “Apa mungkin harus menurunkan satu oktaf lagi?”

“Pak, ini sudah diturunkan dua oktaf,” Jo mencoba menjelaskan. “Kalau turun lagi, saya yakin suara Key tidak akan sampai. Suara rendahnya belum stabil, Pak.”

Pak Bob mengempaskan tubuh di kursi besi di sisi panggung. Ia sudah kehilangan cara. Pikirannya kalut. Ternyata, waktu dua hari untuk latihan, tak cukup untuk Keyzia. Selain tidak mampu menyanyikan lagu dengan benar, Keyzia kesulitan mencapai nada-nada tinggi. Jo, yang sangat mengenal range vocal Keyzia, sudah mencoba mencari cara, menurunkan nada hingga beberapa oktaf. Harapannya, Keyzia bisa mencapai nada tinggi. Percuma. Itu juga tidak berhasil. Bahkan, suara Keyzia semakin fals dan tidak sampai di nada dasar.

“Ahhh! Ini mana lagi si Dery?” tanya Pak Bob entah pada siapa. Tangannya gemetar menyulut rokok putih kesayangannya. “Sudah tahu kerjaan belum beres, harus datang telat pula! Ini hampir jam delapan. Kacau, kacau semua! Apa yang harus kita lakukan, Jo?”

“Solusi terbaik hanya satu, Pak.” Jo duduk menjejeri Pak Bob. Wajahnya terlihat tidak bersemangat. “Kita minta Keyzia memilih lagu yang dia kuasai saja.”

“Gila kamu, Jo!” seru Pak Bob. Suaranya berdesis di antara gigi-giginya. “Semua lagu yang kita persiapkan, sudah sesuai konsep, Jo! Ini akan mengacaukan semuanya.”

Pak Bob mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya ke udara. Demikian berulang-ulang dalam waktu beberapa lama. Sesekali matanya memejam dan membuka. Asap tebal bergulung-gulung, memudar lalu lenyap meninggalkan aroma tembakau yang menyengat. Pak Bob tahu, ini ruangan ber-AC. Namun sepertinya larangan merokok yang dipasang di beberapa tempat tidak begitu mempengaruhinya.

“Jo, kamu harus tahu sesuatu,” ujar Pak Bob lagi. Ia memandangi lelaki jangkung berusia 30 tahun itu. “Keputusan mengganti Melody, bukan perkara gampang, Jo! Ini melalui perdebatan sengit di manajemen kami. Nama baik saya, dipertaruhkan dalam rapat direksi kemarin. Nah, kalau ini gagal, mau dibawa ke mana muka saya ini, ha?”

“Oh, jadi Keyzia menggantikan posisi Melody? Bagaimana bisa?”

“Ini memang kurang ajar!” Pak Bob membuang sisa rokoknya yang masih separuh, lalu menggilas-gilasnya menggunakan ujung sepatu. “Benar-benar tidak tahu diuntung!”

Lihat selengkapnya