Jilbab (Love) Story

Redy Kuswanto
Chapter #16

Jalan Terbaik

PANGGUNG spektakuler dengan lighting luar biasa itu begitu meriah. Penonton memenuhi tribun berkapasitas 2500 orang. Di barisan kursi paling depan terlihat Bimo, Anggi dan teman-teman juri lainnya duduk berdampingan dengan Pak Bob dan tamu VIP lain. Di sebelah kiri Pak Bob, Heri, Jo dan Raga duduk bersebelahan.

Di panggung, Keyzia sedang menyanyikan ‘rindu’, sebuah lagu yang dipopulerkan penyanyi muda berbakat, Agnes Monica. Penjiwaan yang luar biasa membuat lagu itu terdengar begitu menyayat, mengiris-ngiris ke dalam hati setiap pendengarnya. Apa lagi, saat lengkingan pada refrain kedua, penonton dibuat terhenyak dan menahan napas beberapa saat. Bahkan tidak sedikit yang menitikkan air mata.

“Heri, kamu dengar? Keyzia pasti kerasukan, deh,” bisik Jo di telinga Heri.

Heri mengerutkan kening, memandangi Jo dan Raga bergantian. Melihat Jo hanya angkat bahu dan Raga tidak memberikan reaksi, Heri beralih menatap Pak Bob. Lelaki itu terlihat tenang. Matanya tidak lepas ke tengah panggung. Sebelah tangannya menopang dagunya yang gemuk. Dan senyum itu… senyum kebahagiaan, kenapa Heri baru melihatnya sekarang? Wajah Pak Bob sangat berbeda dengan kemarin-kemarin, bahkan siang tadi.

Yang Heri ingat, saat Keyzia bergerak lincah pada lagu-lagu yang lebih ritmik, ia akan kesulitan mengatur napas. Hal ini menyebabkan kontrol pada vokalnya terganggu dan lebih sering menyebabkan Keyzia kehilangan fokus. Namun menyaksikan penampilan Keyzia saat ini, Heri seolah diempaskan pada dinding karang yang sangat terjal. Sesungguhnya, Keyzia tidak perlu pelatih vokal seperti dirinya. Sebab, Keyzia sudah mampu menguasai semua tekhnik yang bahkan belum sempat ia berikan secara keseluruhan. Hmm, ada suatu yang tidak beres pada cewek itu. Mungkinkah ia bukan manusia normal, pikiran Heri mulai kacau.

“Kamu benar, Jo. Apa yang terjadi?” Akhirnya Heri berbisik di telinga Jo.

Kembali Jo hanya mengangkat bahu. Ia sendiri tengah merasakan keheranan dan sekaligus kekaguman pada Keyzia. Sudah empat lagu dibawakan dengan sangat indah, sempurna. Bagaimana bisa? Yang ia ingat, hingga siang tadi ketika Pak Bob menyudahi latihan, Keyzia masih kesulitan menciptakan falsetto dan nada tinggi atau terlalu rendah. Ini seperti mimpi dan tidak masuk di akal. Bagaimana mungkin cewek itu bisa berubah dalam hitungan jam saja? Jo bahkan melakukan hal terkonyol dalam hidupnya, mencubiti lengannya sendiri untuk meyakinkan bahwa ia tidak tengah berada di alam mimpi.

Siang tadi saat jeda latihan, Pak Bob membawa Keyzia ke sebuah ruangan. Entah apa yang mereka lakukan di sana. Lebih dari satu setengah jam kemudian mereka kembali dan Pak Bob meminta untuk menyudahi latihan. Tidak ada yang berubah; Keyzia akan tampil pada jam yang telah ditentukan. Ia akan menyanyikan sepuluh lagu yang sudah disiapkan dengan konsep yang sama ketika konsep awal ditawarkan. Jo sempat bingung dengan keputusan Pak Bob. Namun, tanpa diskusi, lelaki tambun itu meminta Jo dan semua crew bisa menerima keputusannya. Pak Bob berjanji, tidak akan ada kesalahan yang akan ia limpahkan pada Jo dan semua yang terlibat dalam acara yang ia gagas.

Diam-diam Jo melirik ke arah Pak Bob. Lelaki tambun yang mengenakan tuxedo warna biru itu, tidak berkedip memandangi Keyzia. Matanya yang kecil, berkilat-kilat diterpa lighting panggung. Ada senyum kepuasan tergambar di bibirnya. Sesekali kepalanya bergoyang, meliuk ke kanan dan ke kiri seirama alunan musik yang seolah membuai. Jo menelan ludah pelan. Matanya mengerjap. Ia lalu menyandarkan punggungnya.

“Keyzia kayak dirasuki hantu sang diva,” gumam Jo. Pikirannya semakin kacau.

Raga yang mengapitnya, melirik sesaat dan tersenyum penuh misteri.    

Pada tampilan lagu kelima, Keyzia menyanyikan lagu lawas milik Whitney Houston, I will always love you. Nico memberikan sedikit aransemen pada beberapa bagian, menyesuaikan dengan musik masa kini. Dan Keyzia mampu menyesuaikannya dengan baik. Lagi-lagi penonton dibuat tercengang dan terbelalak. Jo dan Heri tidak kalah heran. Mereka seolah melihat keajaiban yang datang dari langit. Betapa tidak. Lagu yang siang tadi harus diulang beberapa kali, saat ini dinyanyikan dengan begitu sempurna.

Tidak dapat dipungkiri, diam-diam Nico menaikkan alis dan mengerutkan kening berulang-ulang. Sesekali matanya melirik ke arah Keyzia. Ada yang tidak beres, bisik hatinya. Tidak ingin konsentrasinya terbagi, lelaki itu berusaha lebih memfokuskan diri pada orkestranya. Meski demikian, mau tidak mau pikirannya terbelah. Ia terus saja memikirkan Keyzia. Cewek itu tidak memperlihatkan kesulitannya ketika mengambil nada-nada rendah maupun tinggi. Dan gerakan Keyzia yang begitu luwes semakin membuat penonton terpana.

“Ini tak masuk akal,” gumam Bimo pada diri sendiri.

Jika penonton terpukau dengan penampilan Keyzia. Sementara Jo, Nico maupun Heri merasa heran, tidak demikian halnya dengan Bimo. Sebagai juri yang berhadapan selama dua bulan lebih, dan selalu memerhatikan perkembangan kemampuan bernyanyi Keyzia, lelaki itu tahu betul apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Namun demikian, ia hanya tersenyum kecut dan mengencangkan rahangnya. Sekali lagi matanya yang besar mengamati setiap gerak-gerik Keyzia. Tidak ada sedikit pun yang terlepas dari pandangan Bimo. Lalu ia pun manggut-manggut dan menahan senyum. Sesaat kemudian, ia beranjak dari kursinya.

Begitu Bimo lenyap di sisi panggung. Diam-diam Jo meninggalkan kursinya. Harus ke kamar kecil, bisiknya pada Heri dan Raga. Heri hanya mengangguk pelan sementara Raga menyeringai. Kepergian kedua lelaki itu, tidak luput dari perhatian Anggi.

Sementara itu…. 

Nyi Warti terhenyak di kursi kayu. Bibirnya gemetar menahan tangis yang sengaja ia tahan-tahan. Ia merasakan sendi-sendinya lumpuh seketika. Ada berbagai rasa yang menyesak di dada. Sedih. Kecewa. Cemas dan entah apa. Semua datang dan menyergap dalam waktu bersamaan. Sesaat kemudian, air matanya meluruh. Tangisnya pecah tanpa suara.

Nuri, Maya dan Arum berusaha menenangkan perempuan itu. Mereka datang beberapa menit lalu secara tiba-tiba. Bukan tanpa alasan tentu saja. Ketiganya datang membawa pesan dari Mel untuk neneknya. Ya, Mel terpaksa pergi ke Jakarta tanpa restu Nyi Warti.

“Sudah, Uti. Tenang dulu ya,” bujuk Nuri. “Mel akan baik-baik saja di sana.”

“Ini keterlaluan, Nduk,” ujar Nyi Warti, sedu sedan. Bibirnya bergetar menahan isak dan rasa yang menyesaki dada “Uti sudah ndak dianggap orang sama dia. Ndak dimanusiakan lagi. Keterlaluan sekali kamu, Mel. Uti membesarkanmu, mengajarimu tata krama dan budi pekerti yang luhur. Tapi justru ini yang Uti terima. Kenapa ini terjadi, Gusti Allah?”

“Mel melakukan ini pasti ada alasannya, Uti,” bisik Arum

“Jadi… kalian sebanarnya tahu kepergian Mel?” tanya Nyi Warti penuh selidik. “Kenapa kalian ndak berusaha mencegahnya?” 

Sesaat Nuri, Arum dan Maya berpandangan.

“Kalian tahu? Kalian sudah membantunya membukakan jalan menuju neraka!”

Uti, ini sama sekali nggak benar,” ujar Maya sedikit protes.

Nuri dan Arum memandangi Maya, mengisyaratkan untuk diam. Mereka tahu, kedatangan mereka ke rumah sakit, untuk menghibur Nyi Warti, bukan untuk berdiskusi.

Nyi Warti memandangi tiga cewek yang masih mengerubunginya. “Tinggalkan Uti sebentar,” ujarnya dengan suara sedikit serak. Tangannya yang keriput mengusap kepala ketiga cewek itu bergantian. “Kalian tunggu di luar, Uti mau shalat Isya dulu. Sudah telat.”

Ketiga cewek itu menuruti permintaan Nyi Warti. Sesaat setelah berada di luar ruangan, mereka tiba-tiba tersadar akan sesuatu ketika terdengar riuh di ujung koridor. Tanpa aba-aba, mereka berjingkat mendekati asal suara. Televisi! Yah, malam ini mereka seharusnya melihat penampilan Mel di televisi.

Namun, mendadak mereka saling berpandangan. Heran. Bukan Mel yang mereka saksikan di sana, melainkan Keyzia. Apa yang terjadi dengan Mel? Tiba-tiba ketegangan menyelimuti ketiga cewek itu. Kecemasan menyergap dan tergambar jelas di wajah mereka.

“Jangan sampai Uti melihat ini. Dia akan panik,” ucap Arum setengah berbisik.

“Tunggu, tunggu!” seru Maya tiba-tiba. Matanya tak lepas dari layar televisi. Sesaat kemudian alisnya terangkat dan berucap pelan, “Dengar baik-baik. Itu… itu suara Mel!”

Arum dan Nuri menajamkan pendengaran. “Masya Allah, Mel?!”

(**)

Lihat selengkapnya