Lelaki itu bukan manusia.
Sekali lagi, lelaki itu bukan dari golongan manusia. Mungkin kalian membayangkan kalau sosok lelaki itu bagaikan hantu atau makhluk halus yang masyhur dimana-mana, dari dulu sampai sekarang.
Ah, kalian tidak percaya? Coba sajalah simak seluk beluknya dahulu, mungkin kalian akan mengerti nanti.
Coba bayangkan, lelaki itu duduk di atas pucuk pohon beringin besar di taman yang terletak di pusat kota Bandung. Sebenarnya bukan benar-benar duduk sebagaimana halnya duduk, tapi tubuhnya melayang dan sedikit menempel di daun. Mana ada manusia yang punya kemampuan begitu rupa bukan? Di siang bolong pula. Dan lelaki itu bukan sedang iseng-iseng memamerkan kesaktian, tapi dia memerhatikan gerak-gerik para manusia di sekelilingnya. Misalnya, dia tertarik akan gerombolan anak-anak remaja berseragam, pasangan-pasangan tua muda yang duduk di taman, bocah-bocah kecil bersuara nyaring, para karyawan bermuka lelah dan malas, dan kendaraan yang berlalu lalang tak henti-hentinya di jalan raya.
Terkadang dia melompat turun dari pohon mendekati mereka untuk sekedar mengetahui apa yang mereka bicarakan. Walaupun menguping sebenarnya bukan sikap yang mulia di kalangan manusia, toh dia bukan manusia. Dan manusia-manusia itu juga tak bakal menyadari kehadirannya. Semua itu cuma jadi penghiburan bagi dirinya semata, bukan untuk digosipkan ke tetangga apalagi ke tukang sayur yang lewat depan rumah.
Tak lama kemudian dia mengalihkan perhatian pada seorang wanita tua yang duduk sendiri di bangku tembok dekat ayunan kecil. Wanita tua itu bercengkrama dengan cucunya yang duduk di ayunan sambil tertawa-tawa riang. Ibu si bocah sibuk bermain HP di samping ayunan.
“Nek! Nenek!” teriak si bocah dengan antusias.
Wanita tua itu tersenyum, “Iya Nak.”
“Lihat nih, Nek. Tinggi banget kan?!” si bocah berkata lagi dengan bangga.
“Hati-hati,” perempuan tua itu memperingatkan sambil terus mengawasi si bocah.
Perempuan tua itu mengingatkannya pada seorang manusia yang pernah diikutinya selama kurang lebih dua puluh tahun. Dia membersamai perempuan tua tersebut sampai hari-hari terakhirnya. Nyonya Ghani nama perempuan tua itu. Kebersamaan dua puluh tahun cukuplah baginya buat mempelajari kehidupan Nyonya Ghani, dan berkesimpulan kalau pada dasarnya kehidupan manusia ya begitu-begitu saja. Tidak ada bedanya dengan Nyonya Ghani. Dari seluruh kehidupan yang sudah pernah dia amati sejak awal, penilaian itu tidak berubah. Rutinitas manusia bagaikan sebuah sistem yang sudah terprogram nyaris serupa pada masing-masing individu.
Nyonya Ghani meninggal dua tahun lalu karena gagal jantung, kemudian karena belum menemukan objek lain yang menarik sesudahnya, dia berpindah tempat. Sekarang dia berada di jantung Kota Bandung. Walaupun kalau dibanding-bandingkan, sebenarnya dia lebih suka Ciamis, kota yang ditempatinya bersama Nyonya Ghani dulu.
Lalu sekarang dia mulai membosan lagi. Padahal baru dua tahun menghuni Bandung, tapi kebosanan itu rasanaya tak tertahankan. Bukannya dia melebih-lebihkan atau bagaimana, tapi akhir-akhir ini dia memang gampang sekali membosan. Dulu juga sebenarnya begitu, tapi setelah kepergian Nyonya Ghani, level bosannya seakan meningkat tajam. Mungkin karena dia belum berminat lagi mengikuti seseorang secara khusus, karena belum ada manusia yang menarik perhatiannya lagi.
Pernah dia memutuskan buat mencoba hal baru. Seperti seorang petualang saja. Eh, pada dasarnya memang dia petualang. Dia tidak punya tempat menetap dan selalu berpindah-pindah, itu layak disebut petualang nomaden bukan? Misalnya, dia belajar menggambar sketsa makhluk hidup dari seorang seniman muda lokal. Mula-mula dia mengira kalau menggambar sketsa itu cetek saja, tinggal membuat coret-coretan di atas kertas dengan bentuk yang sederhana. Kelihatannya memang semudah itu. Namun dugaannya salah. Dia memang berhasil membentuk sesuatu di kertas, tapi gambarnya lebih mirip coretan berantakan anak SD dengan bentuk wajah dan tubuh makhluk hidup yang tidak proporsional. Sungguh bikin malu!
Dia tidak menyerah. Selama beberapa hari dia mengamati si seniman muda dan meniru gaya gambarnya, sampai dia betul-betul bisa membuat sketsa yang lumayan bagus. Dia menggambar beberapa wajah orang yang dia lihat sambil duduk di sebuah cafe atau di taman kota. Digambarnya anak kecil yang lucu-lucu, ibu-ibu muda, atau mbak-mbak cantik dan wangi yang kerepotan membawa tas besar. Kadang-kadang dia juga menggambar lelaki-lelaki tua yang mendorong dagangan es krim. Namun dia lebih suka menggambar wanita daripada lelaki. Aku lebih suka para wanita, pikirnya.
Saat lelah menggambar, dia duduk di puncak bangunan paling tinggi. Dari sana dia melihat permukaan kota yang bising, membuatnya rindu pada Ciamis yang lebih tenang.