Jin

Ismaw
Chapter #2

Tami (1)

Kenapa sekolah bisa begini membosankan, Tami tak habis pikir. Setiap hari duduk manis mendengarkan penjelasan guru di depan kelas. Banyak PR, ekskul, dan lain sebagainya. Padahal, orang-orang bilang kalau masa-sama sekolah SMA itu masa keemasan karir seseorang sebelum jadi dewasa. Mungkin dia harus melakukan suatu hal yang baru, suatu perubahan. Misalnya gabung dengan Geng Para Gadis Populer, atau bikin teman sebanyak-banyaknya barangkali? Naksir kakak kelas? Atau ikutan klub Pencinta Alam jadi dia bisa naik gunung dan jalan kaki ke pantai yang berjarak lebih dari 600km? Bah.

Selama ini dia merasa kalau jadi penonton saja sudah cukup. Tapi itu tidak produktif sama sekali, dan hasilnya adalah bosan. Mungkin aku harus seperti Nona Linda, pikir Tami ketika memerhatikan seorang gadis yang sedang memamerkan sepatu baru di depan teman-teman satu gengnya. Gadis itu tampak selalu enerjik setiap hari, tidak ada bosan-bosannya, dan dikelilingi para dayang yang siap melayani. Teman-temannya memuji sepatu itu lucu dan warnanya sangat keren.

Tami melirik sepatu Nona Linda sekilas. Sepatu lucu? Apa sepatu itu jenis komedian atau tukang lawak sampai dibilang lucu? Ya tapi memang bagus sih sepatunya. Bagus, keren, mencolok, sedap dipandang. Ya pokoknya begitulah. Warnanya abu-abu tua, model sepatu slip on yang konon sedang tren. Ada garis-garis putih di bagian pinggir solnya. Oh, kelihatan begitu pas dan serasi dikenakan Nona Linda seolah-olah sepatu itu memang diciptakan khusus untuknya. Tapi tunggu. Apakah sepatu itu memang betulan bagus atau hanya terlihat bagus karena dipakai oleh si gadis? Dia membayangkan jika sepatu tersebut sekarang berada di kedua kakinya. Mungkin akan terlihat bagus juga, atau mungkin sebaliknya.

 Nona Linda berbeda dengan dirinya. Gadis itu sangat populer di kelas, dan orang-orang menyukainya. Dia tinggi, langsing, berkulit putih, dan cantik. Seragam putih abu yang dikenakannya selalu tampak bagus dan pas, padahal semua orang mengenakan pakaian dengan model dan warna yang sama. Tetapi gadis itu tampak lebih bersinar dari yang lainnya. Begitu juga sepatunya. Dia nyaris seperti seorang model terkenal yang sering muncul di televisi, namanya Sophia Latjuba kalau tidak salah. Ya gadis itu agak mirip dengan Sophia Latjuba, apalagi kalau rambutnya digerai panjang.

Sedangkan sepatu yang dipakai Tami sendiri hanya sepatu olahraga model lama yang sudah dia pakai sejak kelas 9 dulu. Dia belum menggantinya karena sepatu itu belum hancur. Dia tidak punya sepatu lain, kecuali pantovel yang khusus dipakai untuk upacara hari Senin. Sepatu itu tidak ada bagus-bagusnya, banyak goresan kecil di sana sini. Mungkin dia musti mulai menabung lagi buat membeli sepatu baru. Atau bilang langsung pada ibunya, biar dibelikan sama beliau. Ah tapi alangkah mulianya kalau dia bisa beli sepatu dari uang sendiri. Lagipula sepatunya masih layak pakai, ya yang penting masih bisa dipakai dan tidak memalukan. Hanya karet sol yang menipis dan warna kusam saja. Tidak harus buru-buru beli baru. Jadi dia bisa menabung dulu biar tidak terlalu merepotkan ibunya.

“Bu Winda belum datang juga?” Nina bertanya. Dia adalah teman sebangkunya, dan menghampiri Tami terburu-buru setelah kembali dari toilet.

Tami menggeleng. “Rio lagi nyusul ke ruang guru,” jawabnya. Rio adalah ketua kelas mereka.

“Bu Winda gitu terus ya,” Nina berkata lagi seraya duduk di sebelahnya sambil tertawa kecil.

“Tapi bikin kita semua senang, ya kan?”

Nina mencengir lebar, dan menjawab, “Iya sih ya.”

**

Lihat selengkapnya