“Bukannya aku sok rajin, tapi guru-guru kayak Bu Winda itu ngajar di kelas cuma formalitas aja, iya gak sih? Aku kayak gak dapat apa-apa selain menyalin catatan sama ngumpulin tugas. Ya aku seneng juga sih karena dia enggak terlalu ketat dan kejam kayak Pak Anton. Tapi kalau udah jadi kebiasaan kayak gini, jadinya bosen banget nih,” Nina berkata lagi. Dia mengambil cermin kecil dari dalam tas, lalu membereskan poninya yang berhamburan. Maklum sudah siang. Poni yang licin aduhai di pagi hari bisa jadi liar dan nakal menjelang siang, apalagi sore, tinggal sisa-sisanya saja.
“Bu Winda itu emang bosenin kok. Apalagi Pak Anton,” Tami menyahut.
Nina tersenyum. “Tapi kamu itu pintar, Tam.”
Tami meringis.
“Kadang ada tuh orang yang usaha setengah mati, belajar terus-menerus buat dapetin nilai bagus, tapi tetap aja nilai dan rangkingnya payah. Ada juga yang kayak cuek gitu, tapi justru nilainya bagus-bagus. Kenapa coba bisa kayak gitu?”
“Ya nggak tau. Mungkin gak beruntung,” Tami menjawab. “Atau kayaknya mereka fokus banget sama nilai. Kayaknya sih. Padahal apa sih nilai itu? Cuma deretan angka,” sambungnya sambil membayangkan nasibnya sendiri di semester dua ini yang nilainya turun drastis. Dia mau bersikap masa bodo tapi ya tetap ketar ketir juga karena tidak mau mengecewakan ibunya tercinta.
“Katanya wali kelas bakal ngasih nilai plus pada siswa-siswa yang aktif di kelas, apalagi yang ikutan organisasi.”
Tami menghela nafas panjang. Nilai yang bagus adalah idaman para siswa. Dan guru juga pastinya. Dan itu tidak salah juga. Tapi Tami berpikir kalau mereka terlalu mengutamakan nilai, rasanya tidak keren juga. Percuma angka berderet bagus-bagus di buku rapor tapi kelakuan menyebalkan atau semua dianggap saingan. Tami bukan tipe orang yang terlalu suka bersaing atau ambisius buat mendapatkan nilai sempurna.
Satu hal yang pasti, Nina sering menyebutnya siswa cerdas. Karena Tami berasal dari kelas yang konon kelas unggulan di SMP. Lalu sekarang dia masuk ke kelas unggulan juga. Dia sendiri tidak begitu paham bagaimana bisa berada di kelas itu. Mungkin berdasarkan nilai ujian masuk. Pada pertengahan semester di kelas 9, dia mendengar rumor bahwa kelasnya berisi siswa bernilai terbaik pada saat penerimaan siswa baru.
Baru semester pertama saja atmosfir panas persaingan di kelas sudah sangat terasa. Sistem di sekolahnya membuat Tami terpaksa mengikuti pola tersebut. Siswa-siswa ditempatkan sesuai kepintaran dan ranking mereka di kelas. Para siswa yang pintar secara akademik dimasukkan dalam satu kelas, dan mereka akan bersaing habis-habisan untuk bisa bertahan di sana. Kalau tidak, tahun berikutnya mereka akan dilempar ke kelas lain sesuai kapasitas ranking mereka sendiri.
Para siswa bersaing habis-habisan.
Pada semester pertama di kelas 10, dia masuk 10 besar. Lalu sekarang nilainya mulai terjun bebas padahal sebentar lagi ujian akhir semester. Salah seorang saingannya di lingkaran 10 besar tertawa puas, dan merayakan hal itu di depan teman-teman kelompoknya sambil berkata bahwa dialah yang seharusnya berada di ranking tersebut. Bukan Tami.
Pada awalnya, Tami merasa agak sedih dan berpikir banyak hal tentang semangat belajarnya. Juga tentang beberapa siswa di kelas yang ternyata tidak menyukai ranking yang dia dapat. Padahal dia merasa selama ini sikap mereka biasa saja kepadanya. Apa lacur, ternyata mereka sedang bekerjasama di belakangnya, dan berusaha merebut posisinya. Kok begini amat, pikir Tami.
Persaingan itu nyata. Hal tersebut menyadarkan Tami kalau dia tidak terlalu punya tempat di kelas unggulan, dan dia lebih cocok berada diantara orang-orang biasa saja. Sesudah itu, Tami menyadari bahwa persaingan tersebut terlalu menjijikkan, dan akhirnya tidak terlalu sedih lagi kalaupun tidak berada di ranking 10 besar. Yang penting aku sudah belajar dengan baik, pikirnya lagi. Toh dia merasa tidak bodoh-bodoh amat.
Di semester 2, Tami tidak menetap sebangku dengan satu orang. Dia lebih sering sebangku dengan anak lelaki. Dia merasa justru anak lelaki tidak terlalu merepotkan hal-hal kecil, dan tidak pernah posesif jika harus pisah bangku. No hard feeling, begitu istilah kerennya. Walaupun itu membuatnya tidak punya geng yang akan bersama sepanjang tahun, tapi dia hanya ingin melalui masa sekolah SMA dengan tenang, dan lulus secepatnya.
Kemudian Nina mengajaknya menjadi teman sebangku permanen di sisa semester 2. Mereka sudah duduk sebangku selama 2 bulan terakhir. Nina yang ceria, lugu, dan tawanya yang tanpa beban. Dan yang terpenting, Nina tidak pernah mempermasalahkan apakah nilainya lebih kecil atau lebih besar dari Tami. Pokoknya, Nina bukan tipe drama queen yang bikin sebal. Itulah sebabnya, Tami merasa cukup betah dekat dengan gadis itu.
***
Setelah jam sekolah usai, Nina dan Tami berjalan beriringan diantara lautan siswa yang berhamburan di lorong sampai gerbang sekolah.