Pada saat umurnya sembilan tahun, Tami bisa sedikit membedakan apakah dia sedang melihat manusia biasa atau bukan. Dan lelaki muda yang berdiri di atas pucuk daun dalam sengatan terik matahari itu jelas bukan manusia. Walaupun dia sudah jarang sekali melihat hal-hal macam begitu sejak umurnya bertambah tua, tapi dia betul-betul yakin dengan firasatnya. Dan hal ini agak mengejutkan mengingat sudah beberapa bulan dia tidak pernah melihat mereka lagi. Sampai Tami berpikir kalau akhirnya dia normal.
Tapi Tami menolak mentah-mentah kalau disebut sebagai anak yang punya kemampuan khusus. Punya indra keenam misalnya, atau inilah itulah yang biasa disematkan pada orang-orang yang mengaku bisa melihat hal ghaib.
Berdasarkan pengalamannya beberapa tahun belakangan, Tami membuat teori-teori sederhana mengenai tanda-tanda keberadaan makhluk-makhluk tersebut. Tanda-tanda itu merupakan sesuatu yang dia lihat, bukan dirasakan. Sebab Tami tidak merasakan apapun saat melihatnya. Tidak ada ada bedanya dengan melihat manusia biasa. Atau hewan pada umumnya. Sampai-sampai dia agak kesusahan pada awalnya. Dia berpikir, ini manusia atau bukan? Tapi karena itu pula Tami tidak pernah merasa terganggu atau takut.
Kadang kesadaran soal apa yang dia lihat itu lambat datangnya, jadi Tami tidak terlalu memikirkannya. Tapi lama-lama responnya makin cepat, dan otaknya bisa membedakan gelagat manusia yang tidak biasa. Misalnya, dulu sekali dia pernah memergoki seseorang berdiri di atas gedung sate. Ya mana ada orang biasa yang boleh melakukan kegilaan begitu rupa? Mana mungkin dia mau bunuh diri di gedung sate. Itu kan gedung pemerintahan. Tapi tak ada seorang pun yang peduli dengan kelakuan orang aneh itu. Tak ada pihak keamanan, tak ada yang kerumunan orang menonton. Tami akhirnya yakin kalau dirinya saja yang melihat orang aneh itu. Bisa dipastikan kalau orang tersebut bukan manusia. Ya, dengan cara-cara seperti itulah Tami belajar membedakan mana manusia dan mana non-manusia. Selebihnya, dia tidak terlalu memperhatikan.
Tami menyebut mereka Para Pengamat dengan alasan yang sangat sederhana: mereka seperti makhluk yang sedang mengamati manusia. Tapi hanya itu saja. Dia tidak menemukan definisi yang tepat untuk menjelaskannya lebih lanjut.
Dia mulai melihat Para Pengamat saat masih kanak-kanak. Walaupun dia tak ingat kapan tepatnya atau berapa umurnya pada waktu itu. Ibunya pernah bercerita bahwa pada saat umurnya tiga tahun, Tami sering tersenyum pada suatu titik kosong di belakang Ibunya. Padahal tidak ada siapapun.
Ketika berumur 6 tahun, barulah Tami mengingat tentang orang-orang asing yang dilihatnya di beberapa tempat. Namun tak seorangpun mengaku melihat mereka. Hanya dirinya saja. Tami tentu ketar-ketir dilanda kepanikan. Kenapa cuma dia yang bisa melihat? Jangan-jangan dalam tiap kerumunan manusia, ada yang sebenarnya bukan manusia? Atau jangan-jangan binatang juga begitu, dan tak semuanya binatang sejati? Awalnya Tami merasa tidak nyaman. Dia terganggu sekali. Bahkan keluarganya menyebut Tami sebagai anak yang terkena gangguan makhluk halus, dan Ibunya membawa dia ke Orang Pintar untuk diobati.
Beberapa Orang Pintar pernah dia datangi, tapi tak pernah berhasil menghilangkan kemampuannya. Sampai akhirnya Tami mulai terbiasa dengan penglihatan ajaib itu, dan berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia mengganggap mereka sebagai manusia pada umumnya.
Tami juga tidak pernah lagi bercerita pada Ibu dan Ayahnya tentang makhluk itu, supaya keduanya berhenti membawanya ke Orang Pintar. Orang pintar yang sebenarnya tidak pintar, Tami bisa jamin itu. Bu Soliah yang suka jualan tempe keliling dijamin lebih pintar dari Orang Pintar. Agar orang-orang tak lagi menganggapnya aneh atau tidak normal. Menjelang usia dua belas tahun, sewaktu lulus Sekolah Dasar, Tami semakin jarang melihat makhluk aneh itu. Dirinya merasa lebih tenang.
Kini, alih-alih merasa was was atau gamang dengan keberadaan Para Pengamat, Tami lebih disibukkan dengan mencari jawaban atas pertanyaan mendasar dalam otaknya: kenapa dia bisa melihat mereka? Tak ada jawaban memuaskan. Dan makhluk apakah mereka itu?
Tami memilih mencari sendiri jawaban di buku dan internet ketimbang bertanya pada orang lain. Alasannya ya karena itu tadi, dia malas dihakimi sebagai anak aneh atau kurang kerjaan lantaran mengurusi soal makhluk ghaib.
Tami bertanya-tanya, apakah mereka Jin? Qarin? Ifrit? Atau apa? Dia tak pernah benar-benar yakin. Akhirnya dia menyerah, dan menganggap bahwa kemampuannya kelak akan menghilang saat dia bertambah besar. Seperti kata Ibunya, bayi-bayi biasanya bisa melihat apa yang tak bisa dilihat oleh orang dewasa. Tapi ketika sudah semakin besar, mereka tidak melihatnya lagi. Tapi ternyata dirinya berbeda. Sensifitasnya terhadap keberadaan suatu entitas tak kasat mata tetap ada walaupun dirasanya tidak sekuat dulu.
Laki-laki di atas pohon itu sedang menatapnya.
Menurut perkiraannya, dalam hitungan manusia, laki-laki itu mungkin berumur sekitar 29 atau 30 tahun. Tami berusaha menenangkan diri, dan menghindari kontak mata lanjutan dengan makhluk itu. Bersikaplah wajar seperti biasa, katanya pada diri sendiri. Selama ini dia tidak mendapatkan masalah secara fisik karena makhluk itu tidak bisa menyakitinya. Lagipula karena dia sudah terbiasa, dia semakin mahir dalam mengontrol respon tubuhnya pada pemandangan luar biasa semacam itu.
Tami buru-buru naik angkot. Dia ingin segera tiba di rumahnya.
**