Tami tak habis pikir kenapa lelaki ghaib itu terus mengikutinya. Selama ini, dia tidak pernah diikuti. Jangan-jangan lelaki itu bermaksud buruk. Tapi apa bisa? Atau mungkin lelaki itu hendak mengucapkan sesuatu padanya? Walaupun dia tidak yakin kalau mereka memiliki bahasa sama.
Sebenarnya, Tami sangat penasaran dengan keberadaan lelaki itu. Dia berpikir apakah mereka berdua bisa betul-betul mengobrol seperti manusia umumnya. Tapi, apa tidak berbahaya mengobrol dengan makhluk ghaib? Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan? Tami terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi nanti. Konon, makhluk semacam itu punya banyak kesaktian. Kalau itu benar, bisa saja dia dianiaya. Diculik misal, lalu dimakan. Atau paling ringan diserap energi. Huh, sungguh mengerikan. Tapi, tunggu dulu, dia sendiri punya sedikit kemampuan bela diri. Ya tidak mahir-mahir amat, tapi sekedar menonjok dan pasang kuda-kuda sih bisa. Yang penting, dia bisa melindungi diri sendiri. Hm, tapi makhluk itu kan ghaib. Dia pasti lebih kuat dari Tami.
Tapi ini adalah kesempatan langka, bahkan mungkin satu-satunya, dia berpikir lagi. Kalau dia hendak menguak tentang keberadaan lelaki itu, bertanya dan bertemu langsung dengan si subjek tentu lebih utama. Dan sekarang subjek itu ada di depan mata! Dan kalau dipikir lebih jauh lagi, si lelaki itu tidak ada tampang penjahat. Dia juga mengikuti Tami sebentar ke sekolah, lalu pergi begitu saja tanpa berbuat yang aneh-aneh lagi. Bahkan sepertinya, dia tidak mengikuti Tami ke dalam rumah. Untuk ukuran makhluk ghaib, hal begitu sudah sangat sopan bukan?
Keesokan harinya, saat jam istirahat di sekolah, Nina berkata, “Tam, kapan dong main ke rumah? Main yuk. Bapak udah nanyain mulu. Kayaknya dia udah siap traktir kita!”
Tami jarang mendapatkan ajakan berkunjung ke rumah teman-teman sekolahnya. “Takut ngerepotin ah,” sahutnya.
“Ya enggak lah. Bapak justru seneng kalau ada temenku yang maen ke rumah.”
“Ermm gimana ya,” Tami seperti berpikir keras.
“Yaah, hayok atuh lah. Ntar kita nonton, atau mau ngapain aja terserah. Yang penting asik-asik.”
“Nonton apaan?”
“Yang seru-seru. Banyak film punya Bapak, hehe.”
“Ya ntar-ntar deh, cari waktu yang tepat dulu.”
“Asiiik!” Nina memeluk gadis itu erat, tampak sangat senang sekali.
“Mau ke kantin sekarang gak?” tanya Nina kemudian sambil melepaskan pelukannya.
“Enggak. Aku mau ke perpustakaan dulu bentar. Mau balikin buku,” Tami memperlihatkan sebuah buku tipis berjudul ‘Mesin Waktu’ dari dalam tasnya.
“Iya deh kalau gitu. Aku tunggu di kantin ,ya. Pengen pipis dulu soalnya,” Nina mengangguk.
Mereka keluar kelas beriringan. Nina berbelok menuju ke kantin, sedangkan Tami berjalan lurus menyusuri koridor kelas yang berderet di sepanjang lorong. Kemudian dia berbelok di ujung lorong, lantas naik tangga menuju ke ruang perpustakaan di lt.3.
Perpustakaan sekolahnya hampir sama besar dengan perpustakaan daerah yang sering dia kunjungi. Hanya saja, di sini dia lebih sulit menemukan buku yang menarik karena kebanyakan isinya buku-buku akademis yang membosankan. Dia hanya mau berkunjung ke perpustakaan jika ada tugas dari guru, atau pekerjaan rumah yang membutuhkan referensi. Apalagi sekarang sudah ada akses internet di kamarnya sendiri, dia semakin malas ke perpustakaan sekolah. Dan sepertinya banyak orang berpikiran sama dengan Tami, sampai perpustakaan sepi pengunjung. Hanya orang tertentu yang mau berlama-lama di sana, yang nantinya bakal di cap kutu buku, kurang gaul, atau sok rajin.
Pengunjung paling setia tentu saja cuma cicak.
Setelah mengembalikan buku ke petugas perpustakaan, Tami mengambil majalah tempo dulu yang kumal, dan banyak lipatan di tiap ujungnya. Majalah itu berada di rak paling bawah hingga Tami harus jongkok untuk mengambilnya. Ketika dia menyentuh majalah itu, dilihatnya sebuah tangan terkulai dari balik majalah yang hendak diambilnya. Tepatnya, lengan kekar seseorang yang sebagian besar tubuhnya terhalangi buku-buku. Dia sempat kaget dengan penampakan si tangan, untung saja bukan cuma sepotong tangan. Kalau tidak, Tami pasti menjerit kaget karena dikiranya itu tangan zombie.
Dengan penuh kehati-hatian, Tami mendekatkan wajah ke celah-celah diantara jejalan majalah. Dia melihat dua orang siswa duduk bersisian membelakangi rak dimana dia jongkok. Tami tidak bisa melihat wajah keduanya. Yang bisa dia lihat hanyalah bibir mereka menempel satu sama lain. Keduanya bersandar pada tiang rak buku. Leher dan bahunya bergerak pelan bersamaan.
Oh wow, pertunjukan gratisan. Tami menggelengkan kepala.
Berani-beraninya mereka berciuman di ruang perpustakaan saat jam istirahat. Walaupun perpustakaan selalu sepi tiap hari, tapi masih ada petugas penjaga di meja depan. Bagaimana kalau ketahuan? Nekat sekali mereka. Benar-benar gila, Tami merutuk dalam hati sambil bangkit terburu-buru. Kedua siswa mesum itu pasti sudah berada di sana sejak sebelum waktu istirahat. Tapi seriusan, bermesraan di perpustakaan pada jam-jam istirahat itu benar-benar bodoh. Orang bisa tiba-tiba datang kesitu. Kecuali kalau mereka memang sengaja ingin dipergoki, dan dijadikan bahan gosip seantero sekolah.
Biar jadi viral.
Setelah diamati lebih jauh, ternyata salah satu dari mereka adalah Nona Linda! Wah wah, Tami makin terpukau walau tidak terlalu merasa heran. Nona Linda kan terkenal, sudah pasti banyak anak lelaki yang mengincarnya. Dan orang secantik itu mana mungkin tidak punya pacar. Barangkali saja dia punya 3-4 pacar.
Cepat-cepat Tami membereskan kembali majalah yang tidak jadi dia ambil. Dia terseok-seok meninggalkan perpustakaan sambil melirik sekilas ke arah mereka. Namun apa lacur, rupanya pasangan Nona Linda melihat Tami yang melesat bagai kijang menuju pintu keluar.
Tami mempercepat larinya.
“Siapa tuh? Dia ngeliat kita?” suara Nona Linda masih sekilas terdengar.
“Iya.”
“Aduh, seriusan?”
“Tenang aja. Dia temen sekelasmu kalau gak salah. Juniorku. Kujamin dia gak ngomong macam-macam.”
**
Ketika menyusul Nina ke kantin, Tami berpikir apakah Nona Linda dan pacarnya tadi akan mencari dia atau tidak. Dia sudah jadi saksi kemesuman yang merupakan pelanggaran berat di sekolah. Mereka pasti akan mengingat atau menandainya karena kejadian tadi.
Tami tiba-tiba merasa amat kesal. Selama bersekolah di sana, dia tidak pernah terlibat konflik dengan siapapun. Walaupun dia sudah bersikap masa bodo, tapi dia harus tetap waspada terhadap mereka berdua. Memergoki siswa bermesuman sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Karena sebagai remaja yang sedang mekar-mekarnya, adalah wajar jika mereka punya pacar. Atau naksir-naksiran, dan sebagainya. Tapi jika dilakukan di perpustakaan, tentunya jadi mengejutkan.
Tami berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kejadian itu. Semoga tidak terjadi apa-apa, pikirnya.
Tapi dia tetap gelisah dan lebih banyak diam, sampai-sampai Nina menyadari perubahan sikapnya.
“Kamu kenapa sih Tam?” tanya Nina saat mereka mulai mencicip jajanan masing-masing.
“Enggak apa-apa. Emangnya kenapa?” Tami tertawa kecil.
“Kamu kayak gelisah gitu.”
“Lah masa sih? Aku cuman inget besok tuh banyak banget PR. Gak tau bakal sempet atau enggak ngerjainnya,” Tami berbohong.
Untunglah Nina tidak keterusan mencercanya dengan pertanyaan, karena fokus gadis itu tergantikan sesuatu yang lebih penting. Tiba-tiba dia memegang lengan Tami dengan kuat. “Ada Kak Mansa,” bisiknya penuh suka cita.