Jin

Ismaw
Chapter #6

Kompromi

Selama ini Tami menyadari dirinya tidak pernah terlalu lihai dalam bergaul walaupun bukan tipe penyendiri juga. Namun seyogianya hal itu tak bisa dijadikan pembenaran jika tiba-tiba dia bertemu, diikuti, bahkan sekaligus bisa mengobrol dengan Sang Pengamat yang berwujud serupa manusia dewasa. Bukan sekedar melihat secara tidak sengaja seperti yang biasanya dia alami.

Tami ingat, dulu di kampung kelahiran Ayahnya, masyarakat di sana selalu bilang kalau seseorang yang suka melamun dan menyendiri bakal rentan kesambet, atau terkena gangguan jin. Apalagi jika kondisi kejiwaan orang tersebut tidak stabil, terutama saat dekat dengan tempat-tempat yang disinyalir menjadi kekuasaan jin. Atau tidak sengaja memasuki wilayah kekuasaan makhluk-makhluk tersebut.

Tiba-tiba Tami merasa kecewa sebab orang tuanya tidak pernah cukup memahami kondisi psikologisnya dengan kemampuan yang tidak menyenangkan ini. Dia tumbuh membesar dengan membawa beban sendiri dan tak ada seorangpun yang berusaha menolongnya lebih keras. Atau memahaminya lebih dalam lagi. Setelah dia berbohong kalau dia tidak pernah melihat lagi makhluk-makhluk asing, dan bersikap seolah semua baik-baik saja terutama di depan orang tuanya, mereka seolah tak pernah lagi peduli apakah dia sudah betul-betul aman atau tidak. 

Pertemuan singkat kemarin dengan Saga sedikit banyak mempengaruhi persepsi Tami tentang makhluk ghaib yang selama ini mengganggu pikirannya. Saga tidak membuatnya takut. Malah ada sesuatu yang menarik dalam diri lelaki itu, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih dalam. Dia pernah membayangkan apa yang akan terjadi kalau dia bisa bicara pada salah satu makhluk asing itu. Tapi dia merasa itu mustahil dan khawatir akan menimbulkan masalah. Dia pernah bersemangat mencari tahu, lalu memutuskan untuk berhenti total dan memilih melupakannya. Semakin dia tidak peduli, semakin mudah baginya melupakan apa yang dia lihat.

Karena itu pula Tami tidak tahu kalau mereka –Saga lebih tepatnya, bisa bicara bahasa manusia sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan lancar. Mereka pasti punya kehidupan tersendiri yang berbeda, pikir Tami. Kehidupan seperti apa gerangan yang dimiliki makhluk tak berwujud seperti Saga? Sungguh Tami penasaran setengah mati untuk mencari tahu. Mungkin, pikir Tami, mungkin berkomunikasi dengan Saga tidak akan berbahaya. Kelihatannya lelaki itu bisa dipercaya. Dia bertingkah persis seperti manusia dewasa pada umumnya.

Ketika keluar dari kamarnya di pagi buta, Tami berdiri di balkon dan memandang berkeliling karena penasaran apakah Saga ada di antara pohon-pohon besar yang berjejer di pinggir jalan tak jauh dari rumahnya atau tidak. Barangkali saja lelaki itu mengikutinya kembali dan bersemayam di salah satu pohon dekat rumahnya. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Saga sedikitpun.

Ibunya membuatkan sarapan roti bakar pagi itu. “Tam sarapan dulu!” Ibunya memanggil dari dapur. Tami segera menutup pintu kamar dan menghampiri Ibunya.

“Tadi malem kamu tidur awal lagi ya? Kecapean?” tanya Ibunya.

“Iya bu, capek banget kemarin. Jadi langsung tidur”

“Baguslah kalau tidur awal. Banyakin istirahat”

Tami mengangguk.

“Nanti Ibu beli vitamin sama susu. Kamu minum yang banyak biar gak sakit”

Tami mengambil sepotong roti bakar sambil memperhatikan kucingnya yang mengeong-ngeong di bawah meja. “Hei, Kuki, met pagi” gadis itu menunduk mengawasi Kuki yang menempelkan kepala serta tubuhnya ke betis sang gadis. “Kamu udah makan belum?” tanyanya.

“Udah tadi pas kamu belum bangun. Hobinya sekarang makan melulu tuh. Kuki...hei, sini Kuki...” Ibunya menggendong kucing itu dan mengeluarkannya lewat pintu belakang.

Kucing itu peninggalan Ayah Tami yang sudah meninggal dua tahun lalu. Kuki juga nama pemberian mendiang Ayahnya tersebut. Dia memungut anak kucing dari dekat tempat kerja dan membawanya pulang karena kasihan. Tami senang sekali karena punya mainan baru. Hari-harinya dihabiskan dengan mengurus Kuki. Setelah ayahnya meninggal, Ibunya berniat memberikan Kuki pada orang lain tapi Tami menolaknya. Dia berjanji akan mengurus Kuki dengan benar sampai akhir hayatnya.

“Makan yang banyak” Ibunya menyodorkan botol selai kacang dan segelas susu.

“Ibu gak sarapan?”

“Ibu udah tadi. Bentar lagi harus berangkat soalnya”

Tami menyantap roti bakar sambil memandangi Ibunya diam-diam.

Jika mengingat Ibunya yang sekarang mengurus hidup mereka berdua sendirian, semua emosi pada orangtuanya luntur seketika. Dia masih sering merasa sedih, makanya dia berusaha tetap bersikap baik dan tidak menambah beban lagi pada Ibunya.

**

Di sekolah, guru matematika tidak hadir dan hanya memberikan tugas. Tami pun membolos dari kelas dan menyingkir ke laboratorium komputer.

 Ada beberapa siswa yang sedang menggunakan komputer. Tami duduk dengan tenang dan membuka internet. Dia menuliskan kata ‘jin’ di mesin pencari, tapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa kali Tami mengotak-atik kata kunci pencariannya, dan dia juga menuliskannya dalam bahasa Inggris. Dia menemukan beberapa artikel, tapi itu juga tidak banyak memberikan pandangan baru selain cerita-cerita mistis layaknya dongeng dari beberapa versi.

Sampai jam pelajaran matematika berakhir, Tami duduk dengan lunglai di depan komputer. Matanya mulai berkunang-kunang dan dia tidak percaya kalau dirinya baru saja menghabiskan waktu nyaris 2 jam untuk mencari sesuatu yang berhubungan dengan jin!

Setelah bel pulang menggema seantero sekolah, Tami pulang sendirian lagi. Nina masih sibuk di klub Pencinta Alam.  

Dan di halte bis taman kota, dia melihat Saga duduk di ujung tembok. Dari jarak yang lebih dekat seperti itu, Tami memperhatikan bahwa ternyata Saga memiliki postur tubuh yang sangat tinggi dan bahu lebar, serta bentuk wajah khas asia tenggara. Rambutnya cepak berwarna kecoklatan. Dia mengenakan kaos putih polos, celana jeans, dan sepatu sneaker. Agaknya Sang Pengamat punya selera fashion seperti manusia juga, pikirnya.

Lihat selengkapnya