Jin

Ismaw
Chapter #8

Celah Dunia

“Bagaimana kalau kamu ceritakan negara asalmu?” Tami bertanya pada Saga saat mereka bertemu kembali di taman kota keesokan harinya sepulang sekolah. Seperti yang dibilang Saga, mereka bertemu lagi tanpa kesulitan. Mereka berjalan bersampingan menuju ke bangku tembok yang ada di bawah pohon beringin.  

Saga tahu kalau dirinya melakukan beberapa pelanggaran besar kalau memberitahu Tami mengenai asal muasalnya. Tapi dia mempercayai Tami. Lagipula dia sudah tidak peduli lagi pada aturan-aturan semacam itu, toh beberapa kali dia andil dalam melenyapkan nyawa manusia tak berguna. Kini semua tergantung pada moodnya saja, asal tidak menimbulkan masalah untuk mereka berdua. “Di negaraku banyak hamparan tanah, air dan bangunan-bangunan yang menyatu satu sama lain” dia mulai bercerita.

“Kok kelihatannya sama dengan di sini?” Tami duduk di atas tembok. “Dari apa yang kubaca, Jin punya karakter hampir mirip sama manusia. Katanya kalian tinggal di puncak gunung atau pohon-pohon”.

Saga terkekeh. “Kan aku Sang Pengamat, bukan Jin. Begitu kan kamu bilang?”

“Iya tapi kan sama aja”

“Iya deh, iya. Cerita itu ada benarnya juga sih” Saga mulai tampak serius. “Dunia kita ini, bisa dibilang, mirip dunia paralel dalam kotak kaca transparan. Tapi kita gak bisa saling melihat, gak bisa saling mendengar. Waktu aku kecil, kakek sering cerita soal dunia lain. Bahwa selain dunia kami sendiri, ada yang dinamakan manusia. Kami sama-sama ada di bumi, berdempetan, dipisahkan lembaran-lembaran tipis, mungkin kita sering bersinggungan tanpa disadari. Selama gak dari kami yang melintasi lapisan pemisah itu, gak akan yang sadar kalau kita berdekatan”

Lelaki itu melanjutkan, “kakekku bilang kalau segala sesuatu di dunia kita sangat mirip. Bedanya, masa hidup di dunia manusia lebih singkat ketimbang di kami. Waktu juga berjalan lebih cepat. Hidup manusia itu singkat banget, mereka menua, lalu pada waktu tertentu bakal mati, digantikan dengan generasi-generasi baru. Begitu seterusnya. Aku juga baca buku-buku tentang manusia. Semua itu bikin aku makin tertarik belajar. Waktu aku semakin dewasa, kakek memberitahu sebuah rahasia penting peradaban kami”.

“Katanya, aku bisa melihat sedikit dunia manusia, melalui titik-titik tertentu pada salah satu elemen bumi, yaitu melalui air dan pohon. Ada semacam celah rahasia yang terhubung pada manusia”.

Tami mendengarkan dengan dagu nyaris copot saking terpukaunya dengan penjelasan si lelaki. “Celah rahasia?” gumamnya. “Apa tuh? Kayak Pintu ajaib doraemon atau apa?”

 Saga tertawa lagi. “Bukan lah, bukan pintu ajaib. Kami menyebutnya celah dunia. Bentuknya emang agak mirip pintu transparan, gak kelihatan sama sekali. Aku sendiri gak terlalu percaya cerita itu awalnya. Tapi tahu-tahu tubuhku tersedot melalui pintu itu”

“Kayak mesin waktu gitu bukan sih?”

“Bukan juga, karena gak dibuat sengaja pakai proses ilmiah. Aku bingung gimana menjelaskannya, tapi titik-titik pintu itu sepertinya muncul secara natural aja. Dan aku juga gak begitu ingat gimana kejadian detilnya saat tersedot kemari. Sebagian besar memori di otakku hilang setelah terdampar. Sampai sekarang aku gak pernah melihat celah itu lagi”

“Gimana sih bentuk pintunya? Mirip sama lubang berkabut atau lapisan ngeblur kayak di film science fiction?

“Mirip-mirip begitu deh”

Mereka duduk berdampingan di pinggiran tembok pagar, menghadap ke jalan raya. “Masih tetep belum kebayang sih” ujar Tami kemudian. “Di mana kamu menemukan celah itu?”.

“Aku gak ingat. Yang jelas, ada di negaraku. Dan yah, memang pasti susah dibayangkan, harus lihat sendiri baru kamu akan ngerti mungkin”

“Tapi keren banget. Aku gak nyangka kalau ada celah-celah kayak gitu diantara dunia kita. Canggih bener. Kupikir kamu bakal muncul begitu aja dari langit”

“Ya gak mungkinlah aku datang gitu aja. Kan tempat kita beda. Cara buat mempertemukan dua tempat beda itu ya harus ada jalan yang menghubungkan. Kecuali kalau kita hidup menumpang di sini dari awal”

Tami mengangguk-angguk, “bener juga sih” katanya. Tetiba dia merasakan segala sesuatu di sekitarnya menjadi ajaib. Seperti berada di sebuah dunia yang tidak dia kenal sebelumnya. Bayangngkan saja, dia duduk di halte bis sambil bercakap-cakap dengan Sang Pengamat yang baru saja dia kenal kemarin. Mereka mengobrol di bawah siraman matahari sore layaknya sahabat lama yang baru bertemu lagi. Segala yang ada dalam diri lelaki itu telah menariknya keluar.

Tami bahkan tidak bisa berhenti berbicara. “Oya, kenapa kamu milih nama Saga? Saga itu apa sih artinya?” kemudian Tami bertanya lagi. Seingatnya, Saga adalah salah satu jenis tumbuhan.

“Hehehe” lelaki itu lantas tertawa kecil. “Gak ada arti khusus sih. Itu Cuma  nama yang kupilih acak aja”

Lihat selengkapnya