Keesokan paginya, Tami berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Tidak ada kegiatan istimewa yang akan dia lakukan, hanya berencana membolos lebih lama di laboratorium computer, dan mencari beberapa hal yang masih berkenaan dengan jin. Tadi dia bangun sejak sebelum subuh, suatu hal yang sangat jarang sebenarnya. Dia tidak dapat tidur lagi karena memikirkan apa yang telah terjadi padanya beberapa hari kemarin.
Dia terlalu bersemangat, senang, sekaligus gugup secara bersamaan.
Kemarin sore, Tami kembali bertemu Saga di taman kota, di bagian sudut yang paling tersembunyi. Mereka mengobrol panjang lebar tentang beberapa hal, dan Tami pura-pura membaca buku untuk mengelabui orang-orang sekitar.
Lalu Saga bilang dirinya akan mengikuti Tami ke sekolah hari ini. Tami mengira-ngira mungkin sekarang lelaki itu sudah berada di sekolahnya, atau justru sedang berjalan di belakangnya? Dengan cara yang ajaib tentu saja. Aku harus melihat bagaimana dia menghilang atau mengisi ulang energinya, pikir Tami dengan penuh semangat. Tunggu, istilah ‘mengisi ulang energi’ ini kok terasa seperti membicarakan telpon genggam ya, dan Tami membayangkan kepala lelaki itu ditempelkan ke kabel, lalu disambungkan ke colokan listrik biar terisi dayanya. Seperti halnya saat kita mengecas alat elektronik.
Sungguh bayangan yang aneh.
“Jadi anak sekolahan tuh kayaknya menyenangkan banget. Ada banyak gadis-gadis manis yang masih segar dan muda…” kata Saga kemarin sore, di sela obrolan mereka.
“Ish, kamu kok keliatan kayak om-om ngincar anak sekolahan. Serem banget ngomongnya” sahut Tami.
“Eh masa sih? Aku gak berniat begitu lho, Tam. Maaf-“
Tami mengangkat bahu. “Berarti kamu tertarik sama cewek? Maksudku cewek dari golongan kamu sendiri” Tami bertanya lagi.
“Iya. Aku suka cewek. Seperti sudah kubilang, secara umum para pengamat hampir sama dengan manusia; terdiri dari lelaki dan perempuan dan mereka saling tertarik satu sama lain, beranak pinak, dan seterusnya…seterusnya”.
“Oh gitu” Tami memusatkan perhatian pada bukunya karena ada seseorang yang lewat di depan mereka. Setelah orang itu agak jauh, Tami melanjutkan kata-katanya, “jadi hanya ada dua jenis kelamin? Gak ada gender lain?”.
“Gak ada. Hanya dua aja. Kami enggak begitu mempermasalahkan soal gender sih. Maksudku, masing-masing individu gak mengidentifikasi diri mereka sendiri ke dalam kelompok gender-gender. Kadang penampilan fisik lelaki dan perempuan juga nyaris sama. Paling bedanya di struktur dan komposisi tubuh aja. Dan alat kelamin juga”
“Wah menarik banget. Andai aku bisa ngeliat bentuk asli kamu, pasti sangat beda dari yang pernah kubayangkan”
“Kamu membayangkan seperti apa emang?”
“Hmmm--gimana ya. Ya mungkin kamu berkaki dua, kayak manusia, berdiri tegak begini, tapi besar dan tinggi banget. Pokoknya lebih gede dari manusia. Kulit putih pucat, atau ada warna kulit lain? Terus, mungkin ada tanduk di kepala, ada ekor juga” Tami terkekeh, sedangkan Saga hanya menghela nafas panjang sambil geleng-geleng kepala.
“Hebat juga imajinasimu. Tapi itu terlalu mainstream ah. Lagian, walau aku berniat kembali ke wujud asal, gak akan bisa. Kondisi di sini beda sama di negaraku. Tempat ini mungkin gak akan bisa menampung wujud-wujud kayak gitu, dan kamu pasti gak bakal kuat melihatnya”
“Masa sih?”
“Iya, aku gak bohong”
Tami mengamati Saga dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa cowok di duniamu juga ada yang tertarik dengan sesama cowok? Atau cewek sama cewek?”
“Ada” jawab Saga. “Gender gak jadi patokan, jadi kalau soal ketertarikan, ya siapapun bisa tertarik sama seseorang sesuai seleranya dari jenis gender apapun”
Tami tampak berpikir keras. “Oya Saga, ada hal penting yang belum kamu jawab” Tami meletakkan buku di pangkuannya.
“Ya?” Saga menatap gadis itu tajam.
“Kamu bilang kalau kamu tersesat di dunia ini melalui sebuah celah. Tapi kenapa kamu bisa tersesat? Apa itu berarti kamu gak sengaja datang kesini?”
Saga terdiam.
“Kamu berada di sini, di duniaku. Padahal kita hidup dalam dunia masing-masing yang gak saling berhubungan. Terus kalau kamu tersesat di sini sampai puluhan tahun, bagaimana orang tuamu? Teman-temanmu? Mereka gak berusaha mencari kamu kesini? Terus kalau kamu mencampuri urusan manusia, ada efek buruknya gak buat kamu, misalnya kena hukuman atau kutukan?”
“Wah, borongan sekali pertanyaanmu” jawab si lelaki. “Secara teknis, aku terdampar di sini gak sengaja melalui celah itu. Sebelumnya aku gak begitu yakin kalau celah itu bisa mengantarkanku kemari walau memang itulah yang kuinginkan sejak lama. Aku senang sekaligus cemas. Senang, karena pada akhirnya keinginanku tercapai. Cemas karena aku melakukan banyak pelanggaran. Tapi semua sudah terlanjur terjadi. Sekarang aku cuma bertahan hidup dengan cara-cara yang aku bisa”.
“Jadi kamu emang sengaja datang kesini?”
“Iya” Saga melambungkan tatapannya jauh ke atas pucuk pohon beringin. ”Tapi dulu aku gak tahu caranya gimana bisa melintasi dunia manusia. Suatu hari tiba-tiba aku menemukan celah misterius yang entah apa fungsinya, dan enggak sengaja tersedot kemari. Ternyata itu celah penghubung dunia kita. Begitulah cerita sederhananya”
“Semudah itu ketemu sama celah penghubung?”
“Ya enggak juga. Gak mudah. Butuh puluhan tahun, ratusan tahun bahkan, buat mencari celah-celah kayak gitu. Dengan penelitian, petualangan ke berbagai tempat. Ya gitu-gitu lah, aku juga gak terlalu ingat lagi”
“Mungkin kayak si Alice pas ketemu lubang di tanah dan dia jatuh ke situ terus masuk ke dunia dongeng ya” Tami bergumam.
“Mirip kayak gitu lah kira-kira” Saga tersenyum miris.
“Trus kenapa kamu pingin datang kesini?”
“Dulu aku penasaran dengan duniamu. Aku ingin belajar hal baru. Itu aja sih”
“Kamu gak pengen pulang apa?”
“Ha-ha. Ya pasti dong aku pengen pulang. Tapi ya itu masalahnya. Aku gak tahu gimana caranya pulang”
Tami terbelalak heran. “Lho kok bisa? Apa gak bisa pakai pakai celah itu lagi?”
“Mungkin aja. Tapi aku belum pernah menemukan celah itu lagi selama di sini. Sampai sekarang masih buntu. Yah, aku jadi penghuni dunia manusia untuk sementara. Kuharap sih nanti ada jalan keluarnya” ujar Saga. Ada nada prihatin dalam kata-katanya. “Mengenai keluarga dan teman-temanku, aku juga gak tahu. Mungkin saja mereka kehilanganku, tapi tidak mungkin mencariku sampai kesini kan?”
Tami tercenung lama.
Lelaki ini selalu bilang soal celah, pikir Tami. Celah itu seperti apa bentuknya? Mungkinkah celah itu berupa portal yang menyambungkan dimensi-dimensi berbeda. Berarti bumi memang memiliki portal rahasia! Kedengarannya gila, tapi Tami menyesali dirinya yang tidak pernah tertarik pada pelajaran-pelajaran sains di sekolah. Dia mungkin tidak bisa dengan mudah memahami bagaimana Saga bisa berada di situ, juga seluruh interaksi dan kemampuannya yang ajaib. Mungkin dia akan lebih cepat menelannya kalau saja dia memperlakukan keberadaan Saga seperti dogma kepercayaan pada hal-hal ghaib, dan itu tidak perlu logika yang terlalu rumit.
“Cerita kamu agak berbeda sama banyak cerita yang sering kudengar soal Jin sih. Misalnya, orang-orang bilang kalau manusia bisa memanggil makhluk seperti kamu”
“Jika itu benar, aku tentu sudah mencari manusia-manusia seperti itu untuk meminta bantuan. Lagipula kamu sudah cukup lama bisa melihat Sang Pengamat. Nah gimana dengan pengalamanmu sendiri, apa kamu percaya cerita itu?”.