Jin

Ismaw
Chapter #10

Ketahuan

“Tam, nanti sore pulang kerja Ibu mau ke Pasar Baru. Kamu ikut gak?” tanya Ibunya pagi itu ketika mereka sedang sarapan.

“Emangnya Ibu udah gajian?”

“Ibu dapat sedikit rejeki. Ada bonus dari kantor. Kamu siap-siap aja di rumah ya nanti Ibu jemput”

“Wah asiiiik Kita mau makan di luar bu?” mata Tami berbinar-binar bahagia. Selama ini mereka jarang sekali jalan-jalan berdua dan makan di luar. Ibunya bekerja Senin sampai Sabtu, sedangkan di hari Minggu Ibunya selalu kelelahan jadi hanya menghabiskan waktu di rumah untuk beres-beres, mencuci baju dan menyetrika. Kadang-kadang Tami juga membantunya. Alasan lain, karena Ibunya kerap melakukan penghematan besar-besaran.  

“Iya. Kamu mau makan dimana?”

“Aku pengen nyobain makanan-makanan ala korea gitu, Bu”

“Ya udah nanti kita cari di sana”

Tami tersenyum sumringah. Cepat-cepat dia menyelesaikan sarapannya dan berangkat ke sekolah.

Seperti halnya wajah Tami yang berseri-seri saat masuk kelas, Nina pun tampak cerah dan ceria. 

“Eh, tahu engga, kemarin Kak Mansa datang ke latihan klub pencinta alam lho…”

Tami menopang dagu dengan kedua telapak tangannya, “ooh” sahutnya tanpa semangat. Dia tidak berminat mendengarkan cerita tentang Mansa sebenarnya.

“Kak Mansa tiba-tiba datang waktu awal latihan. Kirain dia hanya lewat aja, ternyata dia ikut gabung. Dia lari di belakang aku dan bilang kalau aku semangat banget larinya. Aaaah….aku seneng banget, Tami!” gadis itu sedikit histeris.

“Dia masuk klub lagi?”

“Gak tau juga sih. Tapi katanya dia kangen kumpul-kumpul sama anak-anak klub. Jadi kayaknya nanti dia bakal sering hadir dong yaaa” kepala Nina laksana dikelilingi pelbagai bunga warna-warni bermekaran. Ah, masa muda penuh cinta di sekolahan memang sangat menyenangkan.

“Ya syukur deh” Tami tersenyum kecil sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Mereka bersiap-siap belajar lagi.

Nina masih tertawa-tawa gembira.

Beberapa jam kemudian, Tami merasakan kehadiran Saga. Dia ingin segera keluar dari kelas dan mencari dimana gerangan lelaki itu berada. Dia meminta ijin pada gurunya untuk ke toilet, lalu berjalan di sepanjang koridor sekolah sambil mengedarkan pandangan ke tiap sudut area sekolah. Dia terus menyusuri taman, lapang olahraga dan kantin. Tapi lelaki itu tak terlihat. Mungkin dia di perpustakaan, pikirnya. Ruangan sepi dan tertutup itu merupakan tempat kesukaan Saga.

Ketika jam istirahat akhirnya tiba, siswa-siswa bergerombol keluar dari kelasnya masing-masing. Tami hendak ke perpustakaan tapi dia teringat Saga kemarin menasihatinya untuk lebih bergaul bersama teman-temannya sebagai seorang gadis remaja yang normal. Baiklah, aku akan jadi siswi normal kali ini, pikir Tami. Dia mengekor di belakang Nina menuju ke kantin bersama teman-teman kelasnya yang lain.   

Namun rupanya makhluk ghaib itu sudah nongkrong di kantin. Dia duduk di sudut ruangan sambil memegang buku dan pensil.

Tami berusaha untuk bersikap biasa saja dan tidak terlalu sering memandang ke arah sudut. Dia memesan siomay dan jus alpukat. Nina duduk di sampingnya, memesan bakso dan jus jambu. Sementara yang lain sibuk bergosip, mengobrol soal kecengan masing-masing, Tami lebih tertarik memandangi Saga yang melambaikan tangan sambil memperlihatkan hasil sketsa gambarnya dari kejauhan.

Setelah menghabiskan makanan dengan cepat, Tami berpamitan pada Nina dan teman-temannya. “Aku ke lab. komputer bentar ya” katanya. Sebelum keluar dari pintu kantin, dia melirik Saga sekilas dan memberi isyarat kalau dia akan mengungsi ke laboratorium komputer di gedung lain.

Di lab. komputer, Tami terkejut karena Saga sudah duduk dengan tenang di salah satu kursi di sana. Ah, iya, dia kan Sang Pengamat. Berpindah tempat secepat kedipan mata adalah hal yang lumrah.

Tami duduk tak jauh dari Saga. Di sebelah kiri lab. komputer masih ada ruangan lain yang lebih kecil, sekitar 4 ruangan yang disekat dengan dinding tipis. Tiga orang siswa tampak bermain komputer dengan khidmat sambil memakai headset. Seorang guru berada di ruangan tertutup dengan tulisan ‘Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk’ ditempel besar-besar di pintu.

Gadis itu menyalakan komputer, lalu membuka browser internet dengan tenang.

“Tami apa kabarmu hari ini?”

“Aku sehat. Kamu gimana?” Tami masih merasa belum terbiasa dengan betapa sopannya lelaki ghaib ini. Walaupun menanyakan kabar tentu cuma basa-basi, tapi tetap terasa agak canggung. Sekaligus lucu. Seseorang seperti Saga masih merasa harus menanyakan kabar, seperti sudah tidak bertemu berbulan-bulan lamanya. Mungkin ini yang dinamakan perhatian?

 “Syukurlah” Saga tersenyum. “Kabarku ya begini-begini aja, gak berubah”

“Kenapa kamu sering nanya kabar sih?” tanya Tami kemudian. Dia berusaha menahan suaranya dan menyibukkan diri dengan artikel-artikel di internet, supaya siswa lain di situ tidak mendengarnya.

“Aku hanya kepingin seperti manusia aja. Bertanya kabar, atau yang gitu-gitu lah. Rasanya seru juga”

Tami tertawa. Malah terdengar konyol, pikirnya.

“Kamu mau ngerjain apa?” Saga bertanya lagi.

Tami tidak lekas menjawab.

Lalu sekonyong-konyong Tami berdiri dan dengan cepat sekali dan menghampiri Saga. Tahu-tahu telapak tangan kirinya menempel di tangan lelaki ghaib tersebut.

Terang saja Saga merasa kaget dengan gerakan Tami yang tidak disangka itu. Dia tidak pernah menyentuh manusia dalam mode ghaib karena takut akan ada efek buruk buat mereka. Belum sempat dia bereaksi, tangan Tami seolah dihentakkan suatu aliran energi yang sangat kuat hingga tubuhnya nyaris terhempas ke samping. Untunglah dia sempat berpegangan pada kursi, tapi tak ayal punggungnya menabrak meja. Wajahnya pucat pasi.

Ketiga siswa di ruangan lain sontak memeriksa keadaannya. “Kamu gak apa-apa?” mereka sama-sama menyiratkan keheranan. “Kenapa?” tanya mereka lagi.

Tami berusaha menenangkan detak jantungnya yang sedetik tadi hampir mau copot. “E-enggak, gak apa-apa kok. Ini tadi agak pusing aja. Gak tau kenapa”

Lihat selengkapnya