Sesudah kejadian di laboratorium komputer itu, Mansa jadi sering berkeliaran di kelas Tami. Gadis itu berharap tidak akan terjadi hal-hal aneh. Sejauh ini Mansa memang tidak memperlihatkan itikad buruk, dia hanya sering mampir ke kelasnya dan bertemu beberapa anak cowok, entah membicarakan apa. Tami yakin kalau Mansa sedang menunggu jawaban atau sinyal darinya tentang makhluk ghaib yang mereka bicarakan kemarin-kemarin. Anak lelaki itu pasti juga sedang mencari sinyal keberadaan Saga. Sebab, dimana ada Tami, kemungkinan besar Saga akan hadir pula di situ. Tami sangat mafhum hal ini, makanya dia sudah bersiap-siap untuk bersikap sewajarnya. Saga juga cukup pengertian karena dia tidak datang lagi ke sekolah.
Tapi lain lagi dengan Nina. Kehadiran Mansa merupakan berkah baginya. Dan memang benar, lihat saja wajah Nina berseri-seri, cerah bercahaya bagaikan ada seribu bintang ditanam di wajahnya. Atau seperti siswa yang mendapatkan nilai sempurna, lalu di sekelilingnya penuh taburan bunga mawar. Dramatis sekali. Dia habis berpapasan dengan Mansa di pintu tadi, dan seketika semua beban hidup dan dosa-dosa seolah keluar dari tubuhnya, yang ada tinggal kebahagiaan sejati anak gadis jatuh hati.
“Tami, kamu jadi kan main ke rumah aku? Aku gak ada jadwal hari ini. Gimana kalau pulang sekolah kamu mampir ke rumah? Kita nonton film yuk” todongnya.
“Aku belum bilang sama Ibu” jawab Tami.
“Ya udah minta ijin dulu sana”
Tami diam saja. Dia sebenarnya tidak terlalu bersemangat pergi ke rumah Nina. Akhir-akhir ini persoalan dengan Mansa cukup menganggunya. Tapi sampai istirahat siang, Nina terus menagih jawaban pasti, merengek tak henti-henti layaknya anak kecil. Akhirnya Tami mengirim chat pada Ibunya demi menyenangkan Nina. Ibunya mengijinkan dengan syarat tidak boleh menginap dan harus sudah di rumah sebelum jam 7 malam.
Nina berseru gembira waktu Tami memberitahu keputusan tersebut. “Sip deh. Gak usah kuatir soal pulang, pokoknya tenang aja” sahut Nina.
Tami mengangguk pasrah.
Ketika jam sekolah usai, Nina dengan sigap membereskan buku-buku dan semua perlengkapannya sambil menyebarkan senyum manis bersinar-sinar menyilaukan karena begitu bahagia.
Mereka naik angkot seperti biasa dan mampir di sebuah hypermart tak jauh dari rumah Nina. Gadis itu membeli beberapa bungkus keripik kentang, es krim coklat dan soft drink. Mereka mengitari tempat buah-buahan, mengambil beberapa kilogram buah yang berbeda-beda, dan menimbangnya.
Setelah ritual itu selesai dan Nina membereskan uang kembaliannya dari kasir, Tami mengajaknya langsung pulang. Mereka berjalan beriringan keluar dari supermarket. Tapi saat melewati sebuah toko aksesoris, Nina berbelok masuk, “bentar ya” katanya sambil menceburkan diri diantara ribuan aksesoris lucu yang bergelantungan di setiap sudut ruangan. Tami hanya mengikuti di belakangnya sambil melihat-lihat beberapa jepit rambut.
Setelah semua selesai, mereka berjalan beriringan di trotoar dengan susah payah karena dipenuhi penjual kaki lima.
Tak berapa lama kemudian tibalah mereka di rumah Nina.
Rumah Nina tidak terlalu besar, halamannya luas dan bersih. Pot-pot bunga berjejer rapi di tiap sisi halaman, beberapa tumbuhan semak tumbuh subur di tiap sudutnya. Kelihatan sejuk dan tenang. Nina mengajaknya masuk melalui pintu samping yang berada di dalam garasi. Di situ ada 2 buah sepeda gunung dan beberapa benda pertukangan.
“Duduk dulu ya. Kamu mau minum apa?” Tanya Nina saat mereka sudah berada di ruang makan. Seluruh ruangan rumah tampak rapi, barang-barang tersimpan di tempatnnya masing-masing dengan serasi. Tami hampir tidak percaya kalau di rumah itu hanya ada Nina dan Ayahnya. Mungkin Nina mewarisi keuletan ibunya, atau justru Ayahnya berperan menjadi pengurus rumah yang baik.
“Air putih aja” jawab Tami sambil melangkah menuju ruang keluarga. Dia duduk di sofa menghadap sebuah televisi berukuran sedang dengan rak-rak DVD di sampingnya. Dia menyimpan tas ranselnya, lalu beringsut melihat-lihat DVD tersebut. Ada puluhan keping koleksi film dan lagu-lagu terkenal di situ. Di atas televisi tergantung sebuah foto besar berfigura indah; sebuah foto keluarga yang mencerminkan kehangatan dan kelengkapan sebuah keluarga harmonis. Seorang perempuan muda dan cantik diapit oleh Nina dan ayahnya yang tertawa ceria. Mereka keluarga muda, pikir Tami sambil tertegun memerhatikan foto itu.
Nina dan Ibunya tidak terlalu mirip, tapi mereka memiliki tawa ceria dan bulatan mata cemerlang yang sama. Nina hampir tidak pernah menceritakan Ibunya selama ini. Dia hanya mengatakan bahwa Ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu, dan keluarga mereka berhasil keluar dari kesedihan yang berkepanjangan. Perempuan itu memancarkan pesona keibuan dan kecantikan yang luar biasa. Tami membayangkan jika dia bisa bertemu dengan perempuan itu sekarang, perempuan itu tampak menyenangkan.
Nina muncul dari dapur sambil membawa dua buah gelas air putih dan dua buah toples makanan kecil. “Ke kamarku aja yuk? Atau kamu mau nonton?” dia meletakkan gelas dan toplesnya di atas meja. Setelah itu dia tergopoh-gopoh kembali ke dapur, lalu muncul ke ruang keluarga dengan sepiring apel dan buah mangga. Tami masih rebahan di sofa sambil memerhatikan album foto.
“Itu Ibumu?” Tami menunjuk ke arah foto besar di dinding ruangan yang sedari tadi diperhatikannya.
“Iya, itu Ibu. Umurku 13 tahun di foto itu” Nina tersenyum. Dia duduk di sisi Tami, ikut melihat album keluarganya. .
Tami membuka-buka album tersebut dengan agak cepat. Ibunya Nina terlihat selalu dengan gaya yang sama hampir di semua foto. Dia tampak serasi bersanding di samping suaminya. Lalu matanya berhenti di sebuah foto berlatar belakang hitam-putih yang sudah agak kusam. Foto seorang lelaki muda dengan garis-garis muka tegas dan tatapan selembut malaikat. Lelaki itu adalah Anwar Fatuha, tapi dalam bentuk yang sangat berbeda dengan lelaki yang sama yang pernah ditemuinya beberapa hari lalu. Di masa mudanya, lelaki itu seperti lelaki kebanyakan; tinggi kurus memakai celana jeans, kaos hitam bergambar grup musik, rambut acak-acak-acakan sambil berpegangan pada sebuah pagar bambu.
Tami jarang memikirkan seorang lelaki atau memperhatikan mereka. Dia berusaha mengingat-ingat ayahnya yang sudah meninggal. Lelaki di foto itu sama sekali berbeda dengan ayahnya. Ayahnya tampak lebih tua dengan berbagai beban hidup yang menjelma jadi garis-garis ketuaan di seluruh wajahnya.
“Ini album lama waktu Bapak sama Ibu baru menikah nih. Ada juga fotoku waktu bayi” Nina membuka album satunya lagi. Dia menyodorkan album itu pada Tami.
“Orangtuamu keren” Tami menerima album itu.
“Hehe. Begitulah” Nina mengambil remote kontrol televisi di atas meja. Dia mencari beberapa channel, tapi tidak ada yang menarik. “Sebenarnya aku pengen Bapak cepetan nikah lagi terus punya adik, agar aku gak kesepian. Rasanya gak asyik banget di rumah, sepi. Kalau Bapak belum pulang kerja atau gak ada di rumah, aku gak ada temen ngobrol” katanya
“Aku sih sama Kuki di rumah. Kalau rumah lagi kosong, Kuki maen di luar rumah”
“Iya kamu mah enak ada si Kuki”
Tami tersenyum kecil. “Oya kamu emang gak keberatan kalau Bapak nikah lagi?”
“Engga. Aku malah seneng kok”
“Oh”