Ada sesuatu yang mendekam dalam tubuh Mansa yang tidak disadari oleh siapa pun, baik oleh Mansa sendiri ataupun Tami. Sesuatu serupa makhluk ghaib seperti dirinya.
Saga mengetahui hal itu setelah melihat Mansa sekilas di laboratorium komputer. Tapi makhluk itu kelihatannya sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Dia sangat lemah. Saking lemahnya sampai sensor Tami pun tidak bisa menembusnya. Dia sedang sekarat, pikirnya kemudian.
Saga jarang sekali bertemu bangsanya sendiri dalam kondisi demikian lemah. Seingatnya, ini kali kedua dia melihat makhluk seperti itu. Dia ingin tahu apa yang terjadi dengannya.
Dua hari setelah bertemu Tami di tempat biasa di taman Kota, saat matahari sedang berada di puncak kepala manusia, Saga berdiri di tengah taman yang cukup panas. Dia mengumpulkan kekuatan, membentuk dirinya sendiri menjadi gumpalan daging, lalu sosoknya mewujud pelan-pelan diantara bayangan dan beberapa orang yang lalu lalang, layaknya seseorang yang memang sudah ada di sana dan berjalan dengan tenang di atas tanah. Proses yang berjalan sangat cepat sehingga tak satupun mata yang sadar akan kehadiran sosok makhluk yang awalnya tidak ada di sekitar mereka. Untuk pertama kalinya selama mengenal Tami, dia akan menemui gadis itu dalam raga manusianya.
Lelaki itu mengenakan jeans belel biru muda, kaos putih polos dan sepatu sneaker hitam yang sederhana.
Ah, terik sekali, pikirnya. Dia berpikir untuk membeli sebuah topi dari seorang pedagang yang berada tak jauh dari situ. Tapi dia tak punya uang sama sekali.
Dia menunggu beberapa saat di Taman kota sebelum akhirnya Tami muncul di kejauhan. Gadis itu terpaku ketika melihatnya. Beberapa orang melirik ke arah mereka.
“Aku masih berbentuk sama kan? Kenapa kamu kaget begitu?” Saga bertanya.
“Kamu benar-benar jadi manusia!” Tami mendekat tanpa sadar. Hampir saja dia menyentuh tangan Saga lagi untuk memastikan apakah tekstur lelaki itu sama seperti manusia kebanyakan. Tapi dia keburu ingat peringatan Saga kemarin.
“Jangan kenceng-kenceng ngomongnya. Nanti orang bakal curiga lho” Saga mempertingatkan.
“Ah sori” Tami mencengir kecil. “Kamu beneran jadi manusia. Baju kamu juga keren, waaah” dia berbisik.
“Ya iyalah. Aku mau ngajak kamu makan bakso. Mau gak? Ibumu gak akan apa-apa kan kalau kamu pulang telat?”
Tami mencibir, “ya enggaklah. Ibuku pasti marah kalau dia tau aku jalan sama om-om”
“Waduh, emang aku mirip om-om” Saga meringis.
“Ya tapi gak apa-apa sih. Gampanglah itu, bisa diatur”
“Tapi kamu gak boleh bohong sama orangtua lho”
“Ya terus gimana?” Tami agak kesal.
Saga menggaruk kepalanya karena dia bingung juga. Dia meringis lagi, “ya udah, berbohong sekali gak apa-apa kali ya. Demi kebaikan semua kan?”
Tami memonyongkan bibirnya, “kebaikan apaan” cetusnya. “Eh bentar, boleh gak kalau kita jabat tangan dulu?” rupanya dia masih penasaran dengan wujud fisik sang pengamat.
Saga tertawa –tawa. “Astaga, oke deh, oke” katanya sambil mengangsurkan telapak tangan.
Tami segera menerima uluran tangan lelaki itu. Kulit Saga sama seperti umumnya manusia lain. Tidak ada yang aneh. Ini membuat Tami makin terkagum-kagum. “Gimana cara kamu berubah?” tanyanya.