“Gimana kalau aku buka jasa pesugihan aja, ya? Lumayan lah. Daripada bengong, mendingan kita kerjasama. Kan belajar bisnis. Pasti laku lho.”
Saga hampir saja tersedak. “Jangan ngaco! Aku gak mau bikin bisnis sesat macam begitu.”
“Tapi kan lumayan bisa dapat duit gede,” Tami terkekeh-kekeh. “Yah tapi boro-boro pesugihan. Diminta tolong nyontek aja kamu gak mau. Kamu ini baik hati sekali ya.”
Tami menyeruput air mineral dari gelas tumblr yang selalu siap sedia di dalam tas. Dia selalu membawa mimum sendiri dari rumah.
Saga tertawa kecil. “Siapa bilang aku baik hati? Kamu gak tau aja apa yang udah kulakukan-“ tiba-tiba dia menghentikan perkataannya. Apakah dia bisa mengatakan soal kematian-kematian yang terjadi dengan andil dirinya? Tidak akan satu manusia pun yang tahu. Dan dia merasa tidak bersalah walaupun secara langsung mempermudah lenyapnya orang-orang yang sudah menyiksa hewan malang. Mereka makhluk tak berguna, begitu pikirnya.
Dia bisa saja merasa gamang atau berusaha untuk tetap berpegang pada pedoman-pedoman aturan hidup para makhluk ghaib, tapi di sisi lain dia tidak bisa menahan diri kalau sudah menyangkut urusan hewan. Dia bukan orang ‘baik’ seperti yang dikatakan Tami.
Lalu, kira-kira Tami bakal bereaksi seperti apa kalau dia mengatakan yang sebenarnya?
“Emang apa yang udah kamu lakukan? Ah, percuma kayaknya aku nanya begitu,” Tami mendesis. “Pasti kamu gak bakal jawab.”
Saga menghela nafas panjang. “Pokoknya aku bukan orang baik. Maksudku, bukan pengamat yang baik.”
“Ya emang gak ada makhluk yang baik paripurna. Pasti ada sisi baik dan jeleknya dari kita.”
“Tadi kopinya lumayan enak,” cetus lelaki itu kemudian, mencoba mengalihkan tema obrolan. “Daripada bikin bisnis pesugihan yang gak jelas, mending bikin bisnis kopi. Aku jadi ingin belajar soal perkopian.”
“Aku gak terlalu suka kopi,” Tami menggelengkan kepalanya. “Bisnisnya jangan yang biasa-biasa aja dong. Bosenin. Mending buka jasa santet ajalah. Tapi santet yang diterima cuma buat penjahat negara, tuh koruptor. Atau karena kamu penyayang binatang banget, ya buat nyantet animal abuser.”
Aku sudah jadi tukang santet itu kok, pikir Saga. “Yang begitu itu gak bisa dibisniskan lah. Aku gak mau dibayar cuma buat ngebunuh atau nyakitin manusia,” sahutnya.
“Tapi kamu mau jadi tukang santet? Gratisan?”
“Ya tergantung,” Saga menjawab diiringi tawa kecil. ‘Udahlah kita bahas yang lain aja deh. Suntat santet. Kayak gak ada bahasan yang lebih ilmiah aja.”
“Yaa tapi kamu sendiri kan gak ilmiah!” Tami meleletkan lidahnya.
Beberapa saat lamanya mereka terdiam memperhatikan mobil-mobil yang beriringan memenuhi jalan raya.
“Oya, kayaknya dari pertama kita ketemu, kamu gak pernah ganti baju ya?” tak lama berselang, Tami bertanya lagi.
Saga menggeleng. “Baju gak terlalu penting buatku. Alasannya udah jelas kan? Dalam wujud yang halus, aku gak perlu ganti baju atau. Aku juga gak perlu pakai ini itu yang biasanya diperlukan tubuh manusiamu.”
“Dalam mode halus itu, berarti kamu sama sekali gak bisa nyentuh apapun? Gak bisa gunain benda padat yang ada di dunia ini?”
“Enggak bisa lah, udah jelas. Kan struktur materinya juga udah beda.”
Lalu Saga menambahkan. “Setelah aku mewujud begini, semua hukum gravitasi berlaku untukku. Dan apapun yang bisa kamu lakukan, aku juga bisa,” Saga tersenyum lebar.
“Termasuk sakit pilek? Nginjek tai kucing? Kesemprot air hujan waktu mobil ngebut abis ujan?”
“Hahaha! Iya, bisa.”
Saga tak sengaja bersitatap dengan dua orang perempuan muda yang lewat di trotoar di depan dirinya dan Tami. Kedua perempuan itu memalingkan muka, tampak sedikit gugup dengan kulit muka merona. Mereka berbisik satu sama lain. Setelah agak jauh, tampak mereka menoleh lagi sekilas ke arah Saga.
Tami melihat kejadian itu dan bersiul kecil. “Mereka cantik ya?”
“Lebih cantikan kamu.”