Jin

Ismaw
Chapter #16

Pertemuan Mereka Bertiga

Minggu pagi keesokan harinya, Tami bilang pada Ibunya kalau dia mau jalan-jalan bersama teman sekolah. Ibunya sempat menggoda Tami dengan bertanya apakah teman yang dimaksud adalah teman laki-laki satu sekolah. Tami hanya mendengus sembari menjawab kalau dia hanya jalan dengan teman.

Menurut Ibunya, akhir-akhir ini Tami agak berubah. Dia lebih sering pulang telat, tampak senang, dan penuh semangat. Bahkan Tami ketahuan membeli beberapa alat make up. Ibunya mengira kalau Tami sedang naksir seseorang. “Aku belum punya pacar Bu,” begitu saja yang dijawab Tami.

Ibu pasti tidak akan percaya kalau kuceritakan soal Saga, pikir Tami kemudian. Dan tak mungkin pula dia bilang kalau akan bertemu om-om sakti, atau bertemu kakak kelas setengah indigo. Ibunya pasti akan panik.

Saga sudah menunggunya di halte bis taman kota dengan baju yang masih sama. Hanya saja sekarang dia memakai kacamata dan topi. “Kamu gak apa-apa? Kemarin dan hari ini kamu pakai kekuatan super buat berubah bentuk. Apa sekarang masih kuat? Dan kenapa mata kamu? Kok pakai kacamata,” Tami bertanya. Seperti biasa, pertanyaannya berderet panjang.

Saga tersenyum, “Sedikit lelah, tapi gak apa-apa. Makasih,” dia membetulkan letak kacamatanya. “Ini mah buat gaya-gayaan aja. Nyomot pinjem di toko sebelah. Topinya juga.”

“Yaah dia nyuri juga.”

“Aku cuma pinjem lho ya. Nanti pasti aku balikin. Kan ini demi penampilan yang meyakinkan.”

 “Ntar kamu beli baju lain deh. Masa baju gak ganti-ganti. Nanti bau tauk!” cibir Tami.

Saga hanya meringis kecil.

Mereka berangkat ke Museum Geologi dengan taksi online. Sepanjang jalan, Tami didera sakit perut. Semalam dia juga merasakan sakit yang sama. Sepertinya, perutnya terus protes berkelanjutan. Tapi apa salah dia pada perutnya? Rasanya dia tidak makan pedas atau makan yang aneh-aneh. Hanya bakso saja kemarin.

Kali ini sakitnya ditambah dengan denyut-denyut di kepala yang terus menyebar sampai ke ujung kaki. Tami heran karena dia merasa sangat sehat beberapa hari belakangan ini. Tapi kenapa sekarang jadi mules-mules begitu rupa? Dia berharap tidak kena mencret.  

Tak lama kemudian, sebelum jam 8.30 mereka tiba di depan museum. Ketika melewati lapangan gasibu dan gedung sate yang menjulang tinggi sebagai perlambang kota, Saga mengatakan kalau dulu area itu tidak terlalu nyaman. Dulu sekali. Waktu Tami masih kanak-kanak, barangkali. Setiap orang yang lewat di sana akan terkepung jejalan manusia yang tumpah ruah di pasar kaget penghasil sampah dan kemacetan. Tapi sekarang sudah lebih baik, walau macetnya tetap merata di semua titik di seluruh Bandung.

Tami mengiyakan. Katanya, mengharapkan ketenangan dan kelancaran di kota besar sepanjang hari merupakan utopia. Kecuali waktu di mana orang-orang telah tertidur. Kota-kota sudah penuh sesak, ruang kosong merupakan barang langka.

Mereka keluar dari taksi online dengan cepat, dan Tami membayar ongkos mereka.

Saga berdiri takjub di depan pintu masuk museum sambil memperhatikan kerumunan orang di beberapa titik di sekitar gedung itu. Mereka sibuk berfoto dan mengobrol.

“Kamu pernah kesini?” Tami bertanya seraya melangkah memasuki gedung museum.

Saga mengikuti Tami masuk ke dalam bangunan museum geologi. Ada beberapa pengunjung yang berkeliaran di ruangan depan. Lalu serombongan anak sekolah bergerombol sambil tertawa-tawa ceria di ruang sebelah. Selebihnya, museum itu tampak sepi.

“Sudah pernah sekali dulu,” jawab Saga. “Mansa sudah ada di sini,” katanya lagi.

Tami menghentikan langkah. Dia mengambil handphone dari dalam tas selempangnya. “Beneran? Kamu bisa merasakan kehadiran dia?”

“Ya, keberadaan makhluknya. Sama kayak waktu di laboratorium komputer. Dia ada di sekitar sini,” Saga memperhatikan Tami agak lami. “Tami, kamu pakai make up?” tanyanya tiba-tiba.

“Emang kenapa sih?” Tami agak malu dipandang sedemikian rupa. Dia memang memolesi wajahnya dengan sedikit alas bedak, bedak tabur, maskara, dan lipstik tipis-tipis.

“Enggak apa-apa kok,” Saga tertawa kecil. “Aku belum pernah lihat kamu pakai make up soalnya.”

Lalu seseorang memanggil Tami dari tangga lantai 2 di ruangan depan.

Mansa tampak menuruni tangga, dan menghampiri mereka. Dia mengenakan kaos polos putih, celana jeans, dan tas ransel besar yang menempel di belakang punggungnya. “Aku belum pernah kemari. Ternyata lumayan juga ini museum. Buat liat-liat tengkorak-tengkorak dinosaurus. Kalian udah liat tengkorak dino?” lelaki itu mengedipkan sebelah matanya.

“Kami baru nyampe,” Tami menjawab acuh tak acuh.

“Kalian kayak om-om sama keponakan yang sedang liburan di museum,” lanjut Saga sambil tertawa terbahak-bahak.

“Om-om mbahmu,” Tami memasang muka masam. Sedangkan Saga sibuk memperhatikan gambar-gambar dan tulisan yang terpajang di sekeliling ruangan depan museum.

“Halo, Saga kan? Aku Mansa,” Mansa memanggil makhluk ghaib itu seraya tersenyum dan mengulurkan tangan, mengajaknya berjabat tangan. “Jadi, kamulah yang kemarin muncul di laboratorium komputer. Dan rupanya begini penampakanmu,” lelaki itu mengamati Saga sekilas dari kepala sampai ujung kaki.

Saga menerima jabat tangan Mansa. “Halo,” sahutnya.

Tami berdiri diantara mereka sambil memijit keningnya yang semakin sakit. Mereka terdiam beberapa saat lamanya membuat suasana tetiba berubah canggung. “Wah, perkenalan dan pertemuan dua lelaki yang dramatis banget. Apa aku bakal jadi pengganggu?” Tami berniat mencairkan suasana, tapi sikapnya tetap cuek dan judes. Dia susah menyembunyikan ketidak sukaannya pada Mansa. Dia tak akan berpura-pura bersikap manis atau ramah di depan kakak kelasnya itu. Kesan pertama yang tidak terlalu menyenangkan dengan Mansa tidak dihilangkan begitu saja.

“Gimana kalau ngobrolnyas sambil liat-liat? Masa mau bergerombol bertiga mulu,” Tami berkata lagi. Dia memeninggalkan kedua lelaki itu, lantas memasuki ruangan besar sebelah kanan tempat pameran tulang-tulang buatan menyerupai dinosaurus.

“Gadis itu gak ada manis-manisnya sama sekali,” Mansa bergumam pelan, ditujukan pada Saga, sambil tertawa kecil.

“Kadang emang dia kayak gitu, tapi sebenarnya dia anak yang manis kok,” Saga menyahut. Dia memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku celananya.

Mansa berjalan santai menghampiri Tami, dan Saga mengikuti mereka dari belakang. “Jadi sekarang kamu sudah mengenal Tami dengan baik ya?” anak lelaki itu meraih tas ranselnya. Dia mengeluarkan sebuah kamera DSLR bermerk aduhai. Kamera yang kelihatannya mahal sekali.

Anak lelaki itu berdiri di samping Tami, kemudian memfokuskan lensa kameranya pada beberapa objek di sekeliling ruangan. Termasuk Tami dan Saga. Sementara Saga memasang pose sejuta umat yaitu mengangkat dua jari –telunjuk dan jari tengah, Tami malah memalingkan muka.

Tami mengitari ruangan tanpa mempedulikan Mansa maupun Saga, tapi Mansa terus mengikutinya kemanapun dia melangkah. Dan Saga mengikuti mereka berdua dari belakang.

“Tergantung ‘baik’ kayak gimana yang kamu maksud,” sahut Saga kemudian.”Tapi kami saling kenal dengan baik,” lanjutnya.

Enak aja, protes Tami dalam hati. Dia belum kenal Saga dengan baik, pun sebaliknya. Banyak hal yang belum dia ketahui soal makhluk itu. Tapi Tami tidak mengatakan apapun.

“Ya kayaknya kalian udah akrab. Kalau enggak, kamu gak mungkin milih dia sebagai medium buat berada di dunia manusia, dan berdekatan dengan manusia kan?” Mansa mengalihkan tatapannya pada Tami. Pelan-pelan matanya yang berkilat tajam berubah lembut. “Aku suka cewek-cewek yang ceria, cewek seksi lah. Kalau aku jadi kamu, Saga, aku bakal milih cewek yang lebih bohay, bukan yang  judes begini buat jadi medium,” kata Saga lagi.

Tami membelalakkan matanya. “Heh, gak usah sok gitu deh. Sori ya, kalau pun aku seksi sama bohay, males banget jadi medium kamu! Cih,” hardiknya. Tapi Tami keburu ingat kalau dia harus tetap tenang dan keren tentunya, di depan cowok macam Mansa. Dia tidak boleh terpancing emosi.

Lihat selengkapnya