Sesuatu di dalam jasad Mansa sangat buram dan tidak jelas bentuknya. Saga memikirkan banyak kemungkinan mengenai makhluk tersebut. Pertemuannya dengan Mansa tadi hanya memberikan sedikit gambaran. Lagipula pertemuan itu terlalu singkat. Namun di sisi lain dia merasa sedikit tenang karena tidak perlu berlama-lama mengobrol dalam wujud manusia. Dia juga khawatir dengan kondisi Tami. Setelah Tami pulang, dia merasa cukup lega dan hendak fokus pada pemulihan energi pada wujud ghaibnya.
Setiap perwujudan material selalu membuatnya lelah. Semua kekuatannya nyaris tersedot habis. Namun begitu, Saga akhirnya yakin kalau memang ada makhluk lain di tubuh Mansa. Makhluk itu lemah sekali hingga tidak bisa bergerak keluar atau menyadari keberadaan Saga. Entah makhluk itu sedang tidur atau mati suri akibat hilangnya sumber energi. Dia bahkan tidak yakin apakah makhluk itu menyerupai burung gagak atau kucing hutan. Semua serba tidak terlalu jelas.
Apapun itu, kuharap dia memiliki nasib baik, pikir Saga.
Ketika Mansa dan Tami meninggalkan mini market, Saga berdiri di halaman mini market itu, melepas kepergian keduanya. Sungguh anak-anak yang penuh semangat, gumamnya kemudian.
Tak berapa lama kemudian, dia berjalan meninggalkan mini market. Dia menyusuri trotoar menuju ke Museum Geologi kembali. Dia menyeberangi jalan beberapa kali, dan terus berjalan tanpa henti. Tak ada seorangpun yang memperhatikannya. Sampai akhirnya, sosoknya memudar perlahan-lahan. Dia kembali menyatu dengan udara.
Setelah sampai di depan museum, Saga melompat ke atap gedung, dan berdiri agak lama di sana. Museum geologi ini lumayan juga, walau tak sebagus yang dia kira. Dia melepaskan pijakannya dari atap gedung, lalu melayang-layang laksana kapas mengitari area luar musem.
Pada saat itulah tiba-tiba dia merasakan sebuah energi yang tak asing. Namun energi itu sangat lemah, hampir sama lemahnya dengan makhluk di tubuh Mansa.
Segera dia masuk kembali ke dalam museum, menelusuri lorong-lorong di sepanjang ruangan lantai 2. Lalu dilihatnya satu sosok di tepi jendela.
Seorang anak kecil tengah memandanginya. Energi tersebut berasal dari anak itu. Ah, semoga kamu menemukan jalan pulang, katanya. Saga hendak berbalik meninggalkan museum itu sebelum tetiba suara si anak berbisik di ujung telinganya. “Tunggu,” kata anak itu.
Saga menoleh. Si anak berkata lagi, “Maukah kamu menemaniku?”
“Kenapa?” Saga balik bertanya.
Si anak tidak menjawab. Dia melesat pergi melalui tangga ke lantai satu, kemudian menghilang di balik tembok.
Saga mengejarnya.
Di ruang lobi, sekumpulan anak sekolah berkeliaran sambil memperhatikan berbagai macam tulisan di dinding. Mereka juga tekun menonton televisi besar yang dipasang di beberapa sudut ruangan. Televisi itu memutar informasi-informasi tentang museum geologi, dan beberapa peristiwa di jaman pra sejarah. Di ruangan lain, beberapa televisi memutar video berisi film-film dokumenter pendek mengenai peristiwa letusan gunung, atau struktur geologi secara umum. Pengisi suaranya berbahasa Indonesia.
Namun kelihatannya museum akan segera ditutup untuk kunjungan pada hari itu. Saga mengamati tiap orang yang melewatinya, bahkan menembusi mereka.
Kemudian dia menemukan anak itu sedang duduk di ujung tangga. Si anak menatapnya dengan ragu-ragu.
Baru kali ini Saga bertemu dengan Sang Pengamat dalam wujud anak kecil. Anak perempuan tersebut mengenakan gaun pendek berwarna putih penuh renda di bagian bawah. Rambutnya digulung menyerupai sanggul kecil dengan ujung-ujung rambut yang dibiarkan terurai di atas bahu. Matanya bersinar tajam. Bolamatanya berwarna hitam pekat, bening, layaknya mata anak-anak pada umumnya.
Energi yang dipancarkanya sangat redup.
Sambil menatap anak kecil itu, Saga yakin bahwa umur Sang Pengamat yang ditemuinya kali ini jauh lebih tua dari dirinya.
Mungkin kami memang terlalu bodoh; mengambil resiko besar di tempat asing dalam waktu setara keabadian, pikir Saga kemudian. Demi menuntaskan rasa penasaran, maka penderitaan pun diterima begitu saja. Lalu hancur pelan-pelan. Dalam kesendirian.
Resiko yang tidak sebanding dengan kesenangan apa pun yang ada di dunia manusia. Ditambah keterbatasan energi yang membuat mereka tidak bisa saling menampakkan diri atau berkomunikasi dengan mudah.
Apakah anak itu mulai putus asa?
Suara dari mikrofon menggema di seantero ruangan, memberitahukan bahwa anak-anak harus segera berkumpul di halaman depan museum. Tur telah berakhir karena sebentar lagi museum tersebut tutup.
Saga mendekati si anak dengan hati-hati. Kini semakin jelas terlihat, anak itu memancarkan kesedihan dan kecemasan. Dia tampak lemah. Mirip kaca yang mudah pecah. Garis-garis bentuk fisiknya tidak tegas lagi, tapi lebih menyerupai bayangan yang mulai pudar. Atau gambar lukisan yang sudah tua, dan mulai menghilang dari kanvas. Mungkin beberapa puluh tahun lagi, wujud fisik anak itu akan menyatu dengan semesta, tak berwarna, dan akhirnya hilang entah kemana. Sama seperti makhluk di tubuh Mansa. Mereka semua makhluk menyedihkan yang menunggu ajal.
“Aku Saga. Kenapa kamu memanggilku?”
Anak itu mengangguk. Tiba-tiba saja dia menangis. Air matanya berurai dari kedua pelupuk matanya, tapi tangisnya tidak bersuara. Dia tetap memandang Saga tanpa berkedip.
“Apa yang terjadi? ” Saga mendekati anak itu, seperti mendekati seekor anak kucing yang ketakutan.
“Aku sudah lama berada di sini,” jawab anak itu dengan parau. Suaranya seperti seorang perempuan dewasa. Dia adalah perempuan yang sejatinya sudah dewasa tetapi terjebak dalam fisik kanak-kanak yang tak akan bisa berkembang.
“Berapa lama?”
Perempuan itu mengangguk. “Aku sudah lupa. Sudah beberapa ratus tahun. Aku tidak tahu”
“Kamu tersesat?” Saga tidak lagi melihatnya sebagai anak kecil.