Tami sedang melihat beberapa pengumuman di lorong kelas ketika Mansa mendekatinya. Mereka mengobrol sebentar. Dan apa lacur, beberapa siswa yang tidak dia kenal memandangnya dari jauh. Akhir-akhir ini mereka telah menjadi pusat perhatian para biang gosip.
“Banyak banget yang mau kubicarakan sama makhlukmu itu. Tapi dia susah dihubungi. Apa dia pernah memperlihatkan kekuatannya sama kamu?” Mansa bertanya.
“Pernah,” jawab Tami. “Tapi enggak spesifik.”
“Apa yang dia lakukan?”
“Ya kayak makhluk ghaib biasa. Melayang, teleport, itu doang sih Dia gak bisa diajak kerjasama nyontek tapinya.”
Mansa menyeringai. “Pinter juga kamu ya, memanfaatkan makhluk itu sebagaimana mestinya.”
“Ya tapi percuma. Orangnya gak asik.”
“Dia bilang gak ke kamu dimana persisnya Celah Dunia yang bikin dia datang ke dunia manusia?”
Tami tidak segera menjawab. Saga tidak pernah membicarakan soal itu. Dan kalau pun pernah, dia tidak mempercayai anak ini.
Gadis itu sadar kalau dia dan Mansa sama-sama penasaran dengan makhluk ghaib bernama Saga itu. Pastinya mereka mempertanyakan hal yang mirip pada sang makhluk. Terbayang olehnya bagaimana Saga harus mengulang penjelasan soal dunia perghaiban. Dan juga Celah Dunia yang misterius itu. Tapi mungkin, Saga tidak menceritakannya pada Mansa sedetil yang dia ceritakan pada Tami.
Saga sendiri memintanya untuk senantiasa hati-hati pada Mansa.
Aku lebih percaya pada sang pengamat daripada anak ini, pikir Tami. “Saga gak pernah bilang apa-apa soal itu,” sahut Tami kemudian.
“Kemarin si Saga cuma bilang dia tersesat dan enggak ingat apa-apa lagi. Tapi kupikir itu mustahil. Dia datang melalui sebuah pintu atau apalah, yang menghubungkan dunianya sama dunia kita. Jalan penghubung itu pasti ada di suatu tempat kan?”
“Iya, bisa jadi,” Tami mengangguk. “Tapi walaupun aku penasaran, aku gak bisa maksa dia buat cerita apa yang dia gak bisa kan? Maksudku, walaupun kita bersikeras mencari tahu, ya pasti butuh waktu lama. Lama banget mungkin. Saga itu sama kayak manusia. Kita gak bisa bersikap ke dia seenaknya.”
“Aku tahu” Mansa menghela nafas.
Setelah diam beberapa saat, Mansa bergumam, “Kamu sadar gak sih, Tam, kalau penemuan kita ini sesuatu yang besar? Jujur aku gak tahu apa ada orang selain kita yang juga bisa melihat atau merasakan makhluk kayak Saga.”
Tami menatap anak lelaki itu lekat-lekat. “Misalkan ada orang di luar sana yang ngaku bisa lihat, belum tentu mereka beneran bisa lihat. Orang-orang juga gak bakal percaya sama kita, sebelum kita beneran bawa Saga keluar dan bikin dia mewujud langsung di depan umum.”
“Banyak omong kosong di luar sana soal orang pintar, dukun, yang katanya bisa minta bantuan mahkluk halus. Yang kayak gitu-gitu lah. Tapi mereka pembohong. Ini cuma besar buat kita doang. Orang lain mah mana ada yang bakal percaya kalau cuma diceritain,” sambung Tami.
“Justru itu. Mereka salah mempersepsikan para makhluk ghaib selama ini. Tapi kalau Saga tampil, dia bisa ngelakuin apa pun dengan mudah. Dia bisa ngelakuin yang manusia gak bisa. Misalnya nyari uang. Jika dia nyuri uang manusia, gak ada yang bisa nangkap. Dia juga bisa nunjukin kalau anggapan manusia selama ini salah kaprah,” Mansa mengungkapkan idenya dengan penuh semangat. “Gimana kalau kemampuannya itu digunakan buat bikin perubahan baik pada manusia?”