Sehari setelah ‘kencan’ bersama Mansa di konter handphone, Tami bertemu kembali dengan Saga di halte bis. Dia mewujud jadi om-om berkacamata seperti biasa. Tami menyerahkan handphone tersebut sambil menceritakan pengalamannya di konter kemarin. “Mansa ngotot beliin kamu ini,” kata gadis itu.
Saga menerimanya dengan hati-hati. Dia memegang handphone tersebut seperti sebuah barang antik yang berharga. Ditatapnya layar handphone itu dengan seksama. “Buat apa dia beli barang ginian?” tanya Saga kemudian.
“Kata dia sih biar kamu gampang dihubungi. Harganya lumayan juga lho itu. Walaupun bekas tapi masih bagus banget.”
“Aku gak butuh handphone sebenarnya. Cara komunikasi kami udah lebih canggih dari ini.”
Tami mencibir. “Yah, bisa kubayangkan sih. Kalian pakai telepati gitu kan ya?”
“Ya kayak gitu telepati lah gitu. Mirip. Komunikasi jarak jauh gak perlu pakai alat kuno begini. Otak kami kan mirip sirkuit yang terhubung satu dengan lainnya. Ada pancaran gelombang, penangkap sinyal, ya gitu-gitu lah. Kalaupun ada suatu alat, yang muncul gak cuma suara atau gambar.“
“Wow keren banget.”
“Iya dong.”
“Tapi di sini kamu gak bisa telepati atau pakai alat kayak gitu. Percuma. Tetep aja kamu butuh handphone. Coba itu diliat dulu, kamu bisa gak pakainya?
“Aku sering liat orang menggunakan ini. Tahu lah sedikit-sedikit,” Saga mencoba memijit beberapa tombol. Dia tampak berpikir keras.
Tami menyelamatkan makhluk yang mulai kebingungan itu dengan percobaan sederhana. “Save dulu nomor aku sama Mansa. Nanti kita tes,” ujarnya sambil mengulum senyum.
“Ermm, oke. Aku coba…” Saga memijit beberapa tombol yang dia lihat, tapi HP itu tetap tidak menyala.
Tami iseng menelpon diam-diam ke nomor Saga yang sudah lebih dia simpan. Sontak ponsel Saga menyala, dan lelaki ghaib itu terkaget-kaget sampai mengeluarkan sumpah serapah.
“Woi! Darimana kamu belajar kata gituan?” Tami tertawa terbahak-bahak.
“Please deh, Tam. Aku udah puluhan tahun ada di sini, lebih lama dari kamu sendiri. Aku belajar macam-macam bahasa manusia.”
“Tapi kamu masih gak bisa pakai handphone,” Tami mengejeknya.
“Aku memperhatikan perkembangan teknologi sebenarnya. Aku tahu gadget-gadget baru juga. Tapi kan aku gak pernah pakai sekalipun. Agak gugup juga ini kalau pertama nyobain. Tapi aku ngerti kok dikit-dikit,” Saga merajuk seperti anak kecil.
“Hahaha! Iya, iya. Aku ajarin kamu deh. Jangan khawatir!” Tami menggeser duduknya sampai dia berdampingan erat dengan si lelaki ghaib. Dia meraih handphone Saga. “Jadi gini cara buka layarnya, soalnya aku pakai kata kunci…”
Saga mengangguk-angguk sembari memperhatikan penjelasan Tami penuh semangat.
Tami mengajarinya mengubah kata kunci, menambah nomor kontak, menginstall beberapa aplikasi penting, mengirim pesan, menelpon, dan beberapa fungsi penting lainnya. Saga dengan senang hati mendengarkan, sekaligus mempraktekan.
Entah karena Saga terlalu bersemangat atau memang dia berniat menjahili Tami, lelaki ghaib itu terus mengiriminya pesan melalui aplikasi telegram dan whatsapp. Baru juga mereka menyelesaikan sesi tutorial handphone, dan Tami beranjak pulang, ponsel Tami berbunyi sepanjang jalan.
Saga mengiriminya puluhan pesan pendek! Belum lagi panggilan-panggilan tak terjawab bagaikan mengucur deras. Sampai Tami keki juga dibuatnya.
Menjelang tidur, Saga mengiriminya gambar-gambar kucing lucu. Tami menelpon lelaki ghaib itu dan memarahinya habis-habisan. Namun Saga hanya terkekeh saja.
“Gak ada kerjaan banget!” hardik Tami di telepon.
“Ya sang pengamat emang gini. Gak ada kerjaan, Tam. Mau gimana lagi,” sahut Saga seperti tidak merasa bersalah sama sekali. “Kamu bilang kita bisa ngetes sepuasnya.”
Karena kesal, Tami menambahkan Mansa dalam percakapan telepon itu. Hingga jadilah mereka bertiga berada dalam grup telepon. Mansa sendiri sudah menguap saat ditelepon.
“Waduh, mentang-mentang ponsel baru-“ Mansa tidak sempat melanjutkan perkataannya, karena Tami keburu memutus sambungan telepon. Disusul Saga.