Mansa bersikeras kalau mereka berdua harus membuat suatu siasat agar Saga memperlihatkan kekuatannya. “Kamu belum pernah liat dia mengubah batu jadi emas kan? Atau niup pohon sampai beterbangan? Ini kesempatan kita!” ujar Mansa penuh semangat.
“Hadeh, mana ada kekuatan macam begitu,” Tami sama sekali tidak bisa membayangkan kalau Saga bisa melakukan hal-hal seperti itu.
“Ya siapa tahu kan?”
Saga memang punya kekuatan, Tami yakin itu. Dia tidak tahu kemampuan apa yang dipunya makhluk ghaib itu, tapi pastinya bukan meniup pohon sampai terbang. Mungkin. Eh, atau bisa? “Siasat gimana maksudnya?” tanya Tami kemudian.
Mansa mengemukakan rencananya.
Tami mendengarkan dengan seksama, walaupun dia masih sangsi apakah rencana itu akan berhasil. Tapi Mansa terus meyakinkannya kalau itu adalah cara termudah yang bisa mereka lakukan. Mansa juga yakin kalau Saga akan mengikuti siasat mereka. lagipula, Saga sudah punya alat komunikasi sekarang. Semua sudah lebih mudah.
“Dari mana sih kamu dapat info soal anjing itu?” Tami bertanya setelah mendengarkan rencana lelaki muda itu.
“Grup pencinta hewan,” Mansa mengedipkan matanya sebelah.
Mereka pun membuat janji ketemu di pintu gerbang komplek perumahan Tami. Tadinya Mansa menyanggupi menjemput gadis itu langsung ke rumahnya. Tapi Tami menolak mentah-mentah. Ibunya pasti curiga dan menggodanya habis-habisan. Dia tidak terlalu bermasalah kalau Ibunya menyangka dia sudah punya pacar, yaitu Mansa, daripada disangka kesambet lagi seperti dulu gara-gara berurusan dengan mahkluk ghaib. Tapi tetap saja, dia malas menghadapi pertanyaan Ibunya ikhwal pacar-pacaran begitu rupa.
Setelah semua rencana dirasa matang, Tami kembali ke kelas. Dia langsung berhadapan dengan Nina yang bermuka sedikit murung.
“Kamu sibuk banget akhir-akhir ini,” Nina menatapnya tajam.
Tami menghela nafas. Apa yang mesti dia jawab? Tidak mungkin dia menceritakan soal rencananya dengan Mansa, ataupun pertemuannya dengan Saga. Mustahil. Tapi dia tidak tega juga membohongi Nina yang polos dan baik hati.
Selama ini, Nina selalu menceritakan apapun. Bahkan naksiran-naksirannya pada Mansa, dan juga hal pribadi lainnya. Itu berarti dia juga harus terbuka pada Nina. Sudah menjadi etika tak tertulis dalam tata kehidupan persahabatan antar gadis. Ketika kita menceritakan banyak hal pribadi dan mencurahkan ini itu, tandanya kita dianggap sebagai sahabat sangat dekat yang bisa dipercaya, lagi baik hatinya. Begitulah adanya.
Tapi, kalau dia menceritakan semua itu, permasalahan akan tambah rumit. Dan Tami paling tidak suka menambah masalah. Kalau menambah uang sih ya tidak mengapa. Lagipula, siapa yang mau masalahnya bertambah?
Nina belum siap mengetahui hal besar melilbatkan makhluk ghaib. Itulah intinya.
Akhirnya Tami menjawab dengan kebohongan yang melintas cepat di otaknya. Dia mengatakan kalau dirinya agak sibuk membantu Ibu di rumah, mengurus si Kuki, dan menengok tetangga yang sakit.
Ujung-ujungnya, Nina menawarkan diri untuk bermain ke rumah Tami kalau memang gadis itu selalu sibuk tiap minggu.
Tami tak bisa mengelak kali ini. Tak apalah, pikirnya. Kasihan juga Nina kalau tiap minggu dicuekin. Mereka memang sudah lama tidak jalan bareng. Tami menjanjikan waktu dua minggu ke depan buat mereka main sepuasnya hari Minggu.
Lalu tiba-tiba Nina bertanya, “Oya aku denger gosip hot banget lho, Tam. Kamu tahu gak?”
“Gosip apaan?”
“Katanya kamu deket sama Kak Mansa.”
Tami baru tersadar. Oh, ini tho, pikirnya. Rupanya itulah biang masalahnya. Gosip terkutuk itu sudah sampai ke telinga Nina. “Gosip murahan gitu dipercaya,” gadis itu tertawa kencang. Dia langsung membantahnya. “Kagak lah. Aku gak suka cowok begitu.”
“Tapi katanya kalian sering ngobrol berdua.”
“Gak sering juga. Siapa sih yang bilang? Ada-ada aja deh.”
Nina diam saja. Dia masih menantikan kelanjutan penjelasan dari Tami.
Tami menghela nafas. Ya ampun, rutuknya dalam hati. “Aku baru kenal Kak Mansa kemarin-kemarin aja kok. Jadi waktu itu, aku mergokin dia lagi ngerokok di belakang sekolah. Terus kayaknya dia takut dilaporin jadi dia nyapa aku, minta baik-baik biar aku gak lapor. Bentar lagi kan ujian, dia gak mau bikin masalah. Gitu,” dia terpaksa berbohong. Dia tidak mungkin bilang kalau Mansa kepergok bermesuman. Urusannya bisa memanjang.
Nina kelihatan tidak puas tapi dia tidak bertanya-tanya lagi.
**
Jam 19.30 malam minggu, Mansa mengirim Tami sms, mengabarinya kalau dia sudah siap di pintu gerbang. Tami segera mengenakan jaket, dan pamitan pada Ibunya yang semakin yakin kalau sang putri sudah punya pacar. Tidak biasanya Tami keluar malam minggu.
“Nonton sama temen doang Bu,” kata Tami sebelum pergi.
Ibunya berpesan kalau sebelum jam 10, Tami harus sudah ada di rumah.
Setibanya di pintu gerbang perumahan dan menyapa satpam, Mansa memberinya helm.
“Udah bilang ke si Saga belum?” Mansa bertanya. Lelaki itu mengenakan sweater hitam berkupluk bertuliskan ‘Dogs are not food’, dan masker abu tua yang menutupi sebagian mukanya. Sebuah pet carrier berbentuk ransel besar menempel di punggungnya.
“Udah. Udah dibaca tapi belum dibalas,” Tami naik ke motor. “Oya, aku bilang mau nonton sama Ibu, terus harus pulang sebelum jam 10,” katanya lagi.
“Tsk. Minta tolong si Saga aja biar nyamar jadi kamu buat setor muka ke Nyonya. Jam 10 mana bisa pulang.”
“Heh, mana bisa begitu.”
“Lho, siapa tahu bisa. Kan belum dibuktikan.”
Tami cemberut. “Udah deh. Kamu janji gak bakal bikin masalah yang aneh-aneh. Kita jalanin sesuai rencana aja dulu.”
“Iya, tapi jam 10 orang-orang belum pada bobo Non.”