Saga meminta Tami menutup mata kembali.
Tami menurut. Matanya tertutup rapat. Namun dia tidak merasakan apa-apa. Hanya angin semilir berputar-putar di tiap sisi tubuhnya. Dia merasa agak kedinginan. Tak lama berselang, terdengar Saga berbisik. “Kita udah sampai.”
Secepat kilat Tami membuka matanya kembali. Tahu-tahu mereka sudah berada di bagian paling atas sebuah gedung yang gelap gulita. Perlu beberapa saat bagi Tami untuk memperhatikan kondisi sekelilingnya. Rupanya mereka hinggap di atap gedung 6 lantai yang kosong sisa kebakaran. Dulu gedung ini berupa supermarket yang cukup terkenal. Sebelum si jago merah melalap keindahannya. “Ini kan...” gadis itu mengucek matanya pelan.
“Yup. Tempat yang udah jarang dilewati orang. Gedung ini juga dibiarkan terbengkalai,” Saga mengangguk. “Kamu tahu, Tami, di sini kejahatan sering banget terjadi. Geng Merah sering beraksi di jalan ini.”
Tami terbelalak. Geng Merah adalah kelompok pemuda di kota itu yang terkenal sering meresahkan masyarakat dengan aksi perampokan dan pembunuhan. Mereka seperti sebuah legenda yang tidak mati-mati walaupun banyak anggotanya sudah ditangkap. Tami sendiri tidak pernah melihat mereka secara langsung. Hanya obrolan dari mulut ke mulut aja. Semua orang takut pada Geng Merah.
“Tapi ngapain kita di sini?” tanya Tami sambil menggigil kedinginan.
Mereka terdiam ketika terdengar suara beberapa motor meraung-raung di jalan raya, tepat di bawah gedung tempat mereka berdiri. Suara knalpotnya memekakkan telinga.
Samar-samar mereka melihat 5 pemuda turun dari motor-motor itu. Kelimanya membawa senjata seperti batang bambu, pedang, dan golok kecil. Di tengah-tengah mereka ada seorang lelaki muda berseragam. Tami kenal seragam itu. Seragam salah satu merk ojek online yang popular!
Lelaki berseragam itu terjerembab dari motornya. Dan lima pemuda Geng Merah mengeroyoknya. “To-Tolong! Hmpp….T-Tolong!” sayup-sayup suara teriakannya bagaikan melodi kematian yang menyayat.
Tami terheran-heran karena Saga diam saja. Disaksikannya mereka memukul lelaki berseragam dengan tongkat. Mereka juga menginjak tubuh lelaki itu tanpa belas kasihan. Tak sanggup lagi, Tami memejamkan mata sambil menyembunyikan mukanya. Dia menutup kedua telinga rapat-rapat. “Cepat lakukan sesuatu, Saga. Tolong dia! Kenapa kamu gak nolong dia,” bisiknya penuh ketakutan.
Saga tidak menjawab. Matanya lekat memperhatikan adegan itu. Wajahnya bahkan tanpa ekspresi. Sangat berbeda saat dia melihat kucing kecil dulu, atau anak anjing tempo hari.
Keduanya terdiam sampai pengeroyokan itu berakhir. Tami tidak berani melakukan apa-apa. Andai saja Saga bertindak, misalnya meniup pemuda-pemuda sadis itu sampai berjatuhan, setidaknya dia bisa berlari mencari pertolongan. Atau meminta orang menelpon polisi karena dia tidak bawa ponsel.
Tami menahan suaranya. Perasaan bersalah menelusup merasuki otaknya. Kalau orang itu mati, pikirnya, dia tidak akan melupakan kejadian ini seumur hidup. Mungkin dia akan menjadi pendosa karena membiarkan seseorang mati. Kalaupun nanti dia melakukan sesuatu, semua pasti sudah terlambat.
Tak lama kemudian, lima orang pemuda Geng Merah meninggalkan mangsanya yang bersimbah darah.
“Puluhan tahun di sini aku menyaksikan kematian yang tak terhitung. Dunia ini penuh dengan kekejaman, brutal, kejahatan. Itu faktanya kan? Seseorang yang merasa bisa menjaga dunia dan membuatnya aman, itu omong kosong. Dunia harus tetap penuh konflik agar seimbang. Selama manusia ada, konflik gak akan hilang.”
Saga melanjutkan, “Kamu ingin aku melakukan apa? Aku bahkan bukan golongan manusia.”
Tami menengadah ke langit, dan cahaya temaram kekuningan meliputi tubuh mereka. Cahaya yang berasal dari lampu merkuri di pinggir jalan. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia mencari polisi sekarang?
“Sebenarnya aku gak punya alasan untuk melakukan apapun di sini, selain mengusir rasa bosan. Waktu hidup yang lama banget, bisa kamu bayangkan rasanya? Menyaksikan jaman berubah, tapi aku sendiri gak berubah. Enggak ada yang betul-betul kuanggap berharga lagi. Mati dan hidup sama aja. Kecuali para binatang. Mereka itu makhluk menyejukkan paling polos di dunia. Hidup tanpa pretensi apa-apa, tapi murni hidup sejujur-jujurnya. Jadi aku bersimpati pada mereka.”
“Kalian memiliki waktu hidup yang sangat singkat. Secara fisik tubuh kalian terdiri dari rangkaian darah, daging dan tulang dan semua hal yang bersifat materi. Dan semua itu akan terus mengalami proses kerusakan secara alami dengan bertambahnya bilangan usia, atau rusak karena sesuatu yang terjadi di sekeliling kalian. Karena kulit dan daging itu sangat rentan rusak, makanya jika bagian-bagian vital dalam tubuh rusak karena sebab tiba-tiba dari lingkungan, maka kalian pun mati.”
“Waktu hidup bagi kalian pun jadi berharga. Bagi kami juga, hanya saja dengan dimensi yang berbeda. Aku sendiri tidak pernah memikirkan waktu hidupku sepenting itu. Karena tidak ada ancaman-ancaman kerusakan seperti itu secara fisik. Kematian secara alami datang seperti sesuatu saat kita menyalakan lilin, lalu lilin itu meleleh dan habis sehingga apinya padam. Dan para pendosa yang tersesat ke dunia manusia adalah penderitaan bagi jiwa mereka sampai lilinnya padam. Karenanya, aku gak menganggap hidup kalian penting, gak seperti yang kalian rasa sebaliknya,” Saga berujar panjang.
Tami terdiam beberapa saat.
“Kamu bikin aku kagum,” sahut gadis itu akhirnya. “Aku memang gak bisa memahami jalan pikiran Pengamat sepertimu, tapi kurasa kamu benar. Kamu berhak mengambil sikap apapun, karena bukan manusia. Itu prinsip yang hebat, kamu memegangnya dengan percaya diri. Gak ada yang bisa memanipulasi pemikiran kayak gitu.”
“Terima kasih,” Saga meringis kecil. “Kenapa 5 laki-laki itu bertingkah laku brutal? Pasti ada yang salah, itu saja yang kupikirkan. Semua orang berperang dengan cara masing-masing buat bertahan hidup. 5 orang itu butuh harta benda, tapi sudah tidak punya cara lain kecuali mencelakai orang lain. Mungkin itu dianggap lebih mudah, hanya butuh keberanian, dan teman sejawat. Atau mereka diminta buat menyiksa orang karena suatu dendam? Atau karena persengketaan? Kalian semua melakukan itu tiap hari. Konflik yang diciptakan untuk mempertahankan hidup, masing-masing orang selalu punya motifnya. Hanya saja, siapa yang melanggar aturan yang udah kalian buat sendiri, harus menanggung resikonya. Lalu kalian berperang dengan bangsa sendiri, itu urusan kalian masing-masing. Begitu kan?”
“Aku gak pernah melihat kekerasan secara langsung. Ini berat buatku,” Tami mengusap wajahnya. “Manusia itu lemah dan terbatas. Aku gak bisa melakukan apapun, aku merasa gak berguna. Kadang ada yang sakit di dadaku.”
Saga menoleh pada gadis itu, lalu tersenyum lembut. “Simpatimu sudah melampaui perbedaan ras dan dunia. Tapi kamu hanya bisa berbuat sesuai yang kamu mampu aja. Ada banyak hal di dunia yang gak bisa kita ubah, dan itu bukan hal yang salah. Jadi ya sudahlah, biarkan hidup mengalir dan nikmati prosesnya. Selama kamu sudah berbuat apa yang menurutmu baik, itu cukup. Kalaupun kamu merasa sedih dan gak berdaya, memang seperti itulah manusia kan?”.
“Tapi bukan berarti aku mendiamkan kejadian kriminal kayak gini. Kamu mengerti kan apa yang kumaksud? Mungkin kamu gak ngerasa apa yang kurasakan sekarang, tapi kamu pasti mengerti gimana gimana hukum jadi manusia.”
“Ya, aku paham. Karena sama-sama manusia, dan kalian berkuasa, jadi kamu pasti merasa simpati. Apalagi sama orang tidak berdosa tak berdaya. Sudah lumrahnya begitu. Katanya itu bagian dari perikemanusiaan.”
“Apa aku telpon polisi aja? Apa gimana? Lelaki itu harus dibawa ke rumah sakit,” Tami mulai sedikit panik.