Pagi itu Nina tiba di sekolah lebih pagi dari biasanya. Dia duduk dengan gelisah. Sesekali dia membuka tas, memeriksa sesuatu yang ada di dalam tas itu, lalu tercenung sebentar. Ketika anak-anak lain mulai berdatangan, Nina berdiam diri sambil melihat ke luar kelas.
Tami datang beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi.
“Bapak nanyain kabar kamu, Tam. Oya liburan bulan depan kita mau ke Borobudur lho,” ujar Nina saat Tami duduk di sebelahnya.
“Wah, asyik dong. Aku belum ada rencana liburan nih. Ibu sibuk banget.”
Nina memeriksa jam tangannya, lalu buru-buru berlari keluar kelas. “Bentar ya, aku ada perlu dulu,” katanya.
Nina terus berjalan terburu-buru ke arah deretan kelas dua yang berhadap-hadapan dengan lapangan basket di halaman belakang sekolah. Lalu dia berdiri tegak di depan sebuah kelas, mengambil nafas dalam-dalam, dan menunggu. Tak lama kemudian, seorang perempuan tinggi besar bersama dua orang kawannya keluar dari dalam kelas. Mereka melewati Nina.
Gadis itu segera mendekati ketiga orang tersebut dengan gugup. Nina menyapa mereka sesopan mungkin, lalu bertanya apakah Mansa sudah datang.
“Gak tau ya. Belum liat sih,” jawab salah satu dari mereka.
Nina mengucapkan terima kasih, lalu melesat kabur kembali ke dalam kelasnya.
Kepada Tami, dia bercerita bahwa hari itu Mansa berulang tahun. Dan dia sudah menyiapkan sebuah hadiah kecil. “Tapi aku khawatir hari ini dia gak masuk,” katanya terbata-bata. “Terus aku juga bukan teman dekatnya, aku takut dia marah kalau tiba-tiba dikasih hadiah.”
Tami menyeringai. “Coba aja dulu. Siapa tahu dia malah seneng kan? Cowok dikasih hadiah ultah sama cewek biasanya seneng banget lah, bakal merasa laku keras dia.”
“Iya sih. Tapi…tapi…”
“Gak ada tapi-tapi. Tenang aja, dia kayaknya gak bakal marah.”
Nina mengambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Tapi dia tetap histeris setiap membuka tas, dan melihat hadiahnya sendiri.
Tami tidak bisa berkata apa-apa lagi melihat hal itu.
Pada saat istirahat, Nina kembali mencari Mansa di kelasnya. Sedangkan Tami mengasingkan diri ke perpustakaan sekolah. Dia ingin menyendiri sebentar, dan berharap untuk tidak bertemu Mansa lagi di sana. Tapi perpustakaan sekolah sepertinya telah mengutuk Tami. Saat memasuki pintu ruangan perpustakaan, matanya langsung menangkap sesosok lelaki kurus dan tinggi yang duduk bersandar di kursi menghadap ke pintu masuk. Lelaki itu setengah berbaring di kursi, kakinya telentang di bawah meja.
Siapa lagi kalau bukan Mansa.
Pada jarak yang lebih dekat, dapat dilihatnya beberapa lebam di wajah Mansa, seperti bekas pukulan. Mukanya muram seolah dipenuhi penderitaan. Atau mungkin dia sedang menahan rasa sakit di lebam-lebamnya itu. Tami ingat kemarin beberapa siswa kedapatan bawa rokok di sekolah. Kemungkinan besar Mansa salah satunya.
Mungkin anak ini dipukul Pak Supri lagi, pikir Tami. Pak Supri terkenal mudah tersulut emosi, dan tidak pernah memberi toleransi pada kesalahan apa pun. Dia pernah mendengar kabar Pak Supri sangat tidak suka jika murid lelaki yang diberi hukuman olehnya memperlihatkan penentangan sedikit saja. Murid yang selalu menentang akan berurusan secara pribadi dengan Pak Supri, dan urusan-urusan itu selalu berakhir dengan adu fisik. Padahal, pikir Tami, sekolah harusnya bisa menyelesaikan masalah-masalahnya tanpa kekerasan.
“Kenapa kita ketemu mulu di perpustakaan?” tanya Mansa sambil melipat kedua lengan di bawah kepalanya.
“Aku gak tahu,” Tami mengangkat bahunya.
Mansa tertawa agak keras.
Saking anehnya gaya tawa Mansa, Tami berpikir kalau anak itu mendapat pukulan terlalu keras dari Pak Supri sampai otaknya sedikit terganggu. “Kalau sudah sehat kembali, coba dengarkan aku,” kata Tami.
“Hm?”
“Nina nyariin tuh dari pagi. Mungkin dia ada perlu sama kamu,” hampir saja dia keceplosan soal hadiah yang akan diberikan Nina. Kawannya itu pasti akan membenci dia habis-habisan kalau persoalan hadiah sampai bocor.
“Nina? Oh Nina temanmu itu. Ada apa emang?”