Tami menjawab, “Aku gak tahu. Tapi aku menghormati keputusannya kalau emang ada yang dia rahasiakan. Selama itu gak merugikan aku.”
“Dulu dia cuma bilang kalau dia datang lewat portal dimensi. Apa bentuk portal itu kayak pintu gerbang? Atau lingkaran cahaya di sebuah mesin kayak film?”
“Aku gak tahu persisnya,” Tami menoleh ke arah Saga yang masih diam membisu.
“Terus kalau emang iya ada portal dimensi, gak mungkin dia lupa sama sekali letak portal dimensi itu. Dia keluar dari sana. Apapun kondisinya saat itu, seenggaknya dia ingat lokasi atau ciri-ciri tempatnya. ”
Saga melanjutkan perkataannya, “Aku udah baca-baca soal portal macam itu. Tapi tepatnya di titik mana kamu muncul? Apa kamu ingat?”
Saga akhirnya angkat bicara. “Aku gak ingat titik kordinatnya. Ya aku tahu lokasinya, tapi hanya itu aja. Portalnya muncul acak, bisa di mana aja. Kalaupun kita kesana, percuma. Portal itu sudah tidak ada. Kamu pikir selama puluhan tahun ini aku diam aja?”
“Kamu bohong. Portal itu pasti masih ada. Gak mungkin dia hilang gitu aja. Atau kamu bohong soal lokasi aslinya,” Mansa menyandarkan punggungnya di kursi. “Titik awal kemunculanmu bisa jadi langkah pertama yang hebat. Kita harus mencarinya.”
“Itu udah puluhan tahun lalu kan? Gimana kita melacaknya? Maksudku, mencari portal rahasia secara acak apa gak sia-sia, Mansa?” Tami menyahut.
“Aku bilang soal kemungkinan. Semua kemungkinan bisa dicoba. Pertama-tama, kita bisa pergi ke lokasi. Tinggal sebut aja di mana. Kalau memang portalnya sudah gak ada, siapa tahu kita dapat sebuah petunjuk di sana.”
“Lagian” sambung Mansa, “sebagai makhluk dengan kekuatan super, harusnya dia lebih mudah melacak portal semacam ini. Demi Tuhan, dia bisa menembus ruang dan waktu, kenapa soal portal ini gak bisa dia bereskan?”
“Aku banyak mendengar ‘kita’ di sini. Aku belum memberikan persetujuan untuk aksi apapun yang akan kalian jalankan,” Saga berucap. “Kamu menganggapku bisa dengan mudah membereskan semua hal karena kamu gak tahu bagaimana para Pengamat menjalani hidupnya di dunia manusia. Seperti yang kubilang berulang kali, kami lemah di sini.”
Mansa bangkit meraih satu bungkus rokok dari lemari kecil di belakangnya. “Rokok?” katanya menawari Saga.
“Saga tidak merokok,” Tami menyela dengan cepat.
Mansa tersenyum kecil, kemudian menggelengkan kepalanya. “Untuk itulah aku dan Tami ada di sini. Membantumu menyelesaikan masalah-masalah itu. Kamu belum jawab pertanyaanku kemarin. Soal tujuanmu. Apa tujuanmu datang kemari? Terus soal lokasi portal dimensi itu. Dimana lokasinya?”
Mendengar pernyataan yang kian memaksa itu, Saga menghela nafas panjang. Dia tidak segera menjawab.
Mansa menghembuskan asap rokok ke arah langit-langit ruangan. “Kamu bisa aja melakukan banyak hal di sini tapi kamu gak mau bekerjasama dengan manusia yang rendah.”
Tami terkejut mendengar perkataan Mansa.
Saga memandang lelaki itu tajam. Selama puluhan tahun hidupnya di dunia manusia, dia tak pernah bertemu yang seperti Mansa. Ambisius dan suka memaksa. Anak itu seperti sedang mengeluarkan semua hasrat rahasia yang dipendamnya selama ini.
Padahal sebenarnya, dia dan Mansa tidak jauh berbeda. Kalau situasi dengan Mansa dibiarkan berlama-lama, dia akan semakin tersesat di jalan yang menantang. Jalan yang menariknya bak magnet kuat, menumbuhkan kembali impian yang sudah lama terkubur dalam rasa putus asa. Dan kegusarannya pada manusia.
“Aku tidak merasa lebih tinggi dari manusia” bantah lelaki itu kemudian.