Tami meringis. “Jangan aneh-aneh deh, Man. Kamu gak mungkin bisa pergi ke dunia ghaib. Kalau cuma nangkepin penjahat masih wajar lah. Tapi masa kamu mau menembus dimensi lain!”
“Hehe, emang kamu punya kekuatan apa sampai berani menawariku bantuan? Tsk,” Saga menatap anak muda itu dengan jumawa. Matanya berkilat marah.
Walau sekilas tapi Tami bisa melihat kilatan amarah pada makhluk ghaib tersebut. Baru kali ini dia melihatnya.
Saga berkata lagi, “Inilah masalahnya, Mansa, kalaupun aku setuju kerjasama ini, kamu gak akan pernah bisa membantuku. Gak ada yang bisa.”
**
Dua orang lelaki muda duduk bersila dengan tenang di atas batu besar.
“Kamu yakin dengan niatmu itu? Kamu akan menggadaikan hidupmu untuk hasrat pribadi, tapi bagaimana dengan masa depanmu? Apakah kamu sudah betul-betul yakin untuk melepaskan itu selamanya?” tanya lelaki berambut agak gondrong. Dia mengenakan kaos merah berlengan pendek dan celana jins biru muda yang sudah tampak agak kusam.
“Aku tidak perlu mengulang ini lagi. Sudah bulat tekadku dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Kamu harus menolongku, sekali ini saja,” lelaki satu lagi berambut cepak abu-abu yang nyaris gundul dengan luka kecil membentuk pitak di kulit kepalanya, memakai kemeja abu-abu bergaris dan celana jins hitam.
“Tidak boleh ada seorang pun yang mengetahui bentuk aslimu,” kata lelaki gondrong lagi.
“Aku tahu. Aku bahkan sangat susah mengingat nama asliku, jadi kamu tidak usah khawatir. Aku sudah mempersiapkan ini sejak lama, sejak pertama baca buku-buku di perpustakaan sekolah kita mengenai dunia itu. Sejak itu pikiran dan impian-impianku berubah. Ini akan jadi pencapaian tertinggi jika aku berhasil. Aku tidak keberatan untuk menukarnya dengan apa pun.”
“Aku sering mendengar tentang dunia itu. Namun karena berada di luar jangkauanku, aku hanya bisa membayangkan saja. Dan kurasa, hanya dengan memikirkannya saja aku tahu kalau aku tidak berhak, dan tidak akan mampu berada di sana,” sahut lelaki gondrong.
Lelaki pitak bangkit dari batu, jongkok, dan mengambil segenggam tanah kering, “Tanah, air, dedaunan, dan segala yang ada di sini pun ada di sana. Bayangkan, seolah kita meletakkan cermin raksasa di semua penjuru langit hingga semua memantul di cermin. Dengan bentuk dan warna yang sama. Dunia manusia itulah pantulan yang ada di cermin. Aku ingin merabanya. Aku ingin merasakan bagaimana hembusan udaranya,” kata si lelaki pitak sambil memejamkan mata.
Lelaki gondrong menggelengkan kepala, tidak bisa berkata apa pun lagi. “Baiklah. Ini hidupmu. Terserah kamu mau lakukan apa, toh kamu juga sudah sadar betul resikonya. Semoga beruntung.”
“Terima kasih,” si lelaki pitak mengambil tas ransel yang tergeletak di sebelah kiri batu. Dari tas itu dia mengeluarkan sebuah buku tebal berwarna kecoklatan. “Ini buku pedoman hidupku. Aku sudah mengabdi pada seluruh peraturan-peraturan seumur hidup, sampai detik ini. Semoga sebagian besarnya masih kuingat. Aku tahu ini sesuatu yang baik, jadi aku tidak akan melupakannya,” lelaki pitak mengangsurkan buku itu pada lelaki gondrong.
“Aku percaya padamu,” kata lelaki pitak lagi.
Lelaki gondrong menerima buku itu dengan hati-hati. Lalu dia mengeluarkan selembar kain hitam polos dari dalam saku bajunya. Dia membungkus buku itu rapat-rapat, dan mengaitkan tiap ujung kain dengan ujung lainnya, menjadi simpul mati. “Akan kusimpan baik-baik. Akan kupastikan tak ada seorangpun bisa menemukannya. Jika suatu hari nanti, ribuan tahun ke depan, semisal ada keajaiban yang membuatmu bisa kembali kemari, aku akan kembalikan buku ini. Kamu bisa ingat lagi wujud aslimu nanti,” katanya.
“Sekali lagi terimakasih, sahabatku. Sampai jumpa lagi,” kata si lelaki pitak. Dia menatap lelaki gondrong itu dengan haru.
“Kita sudah melanggar peraturan berat. Jangan pernah lupakan itu. Akan kubawa bukumu, dari sini aku tak akan bisa menolongmu lagi.”
“Akan kuingat itu.”