Jin

Ismaw
Chapter #25

Pengakuan

Lelaki itu berbaring di lantai sambil menutupi muka dengan punggungnya tangan beberapa saat. Kemudian dia menoleh pada Tami yang memandangi mereka dengan nafas tersengal-sengal dan keringat bercucuran. “Dia hanya pingsan,” bisiknya untuk menenangkan gadis kecil itu.

Dia merabai mukanya sendiri. Baru kali itulah dia merasakan sakit. Seolah-olah seluruh kulitnya terbakar, dan tulangnya remuk. Sesaat dia tidak merasakan apa-apa. Mukanya seperti membengkak tiba-tiba. Dan sekarang baru terasa berdenyut-denyut. Cairan merah menetes dari ujung bibir mungilnya. Kulitnya mungkin sedikit mengelupas sehingga mengeluarkan darah.

Jadi seperti inilah jika manusia terluka. Rasanya memang sakit sekali, pikir lelaki itu.

Kemudian lelaki itu berkata lagi, “Dia hanya pingsan. Gak apa-apa kok, Tami.”

“Kamu berdarah!” Tami agak panik. Dia menyimpan kembali asbak di atas meja. “Wajah kamu berdarah,” gadis itu mengulang kata-katanya.

Saga mengangguk sambil meringis kecil, “Aku cuma pusing dikit.”

Tami berdiri. Tergesa-gesa dia masuk ke ruangan lain mencari obat.

Saga melihat bayang-bayang samar melingkari lengan Mansa. Itulah si makhluk ghaib yang menempeli Mansa. Dia berusaha melihat lebih jelas makhluk tersebut. Sayang dia tetap tak bisa mengenalinya. “Halo. Apa kamu bisa mendengarku? Atau melihatku?” tanyanya ditujukan pada si mahluk.

Tidak ada suara ataupun gerakan.

“Hhmm...Aku yakin kamu bisa mendengarku. Kayaknya kamu juga banyak mendengarkan pembicaraan kami dari awal. Apa kamu mengerti apa yang kami bicarakan? Kuharap kamu mau mengabulkan permintaan anak ini. Jangan menumpang lagi,” Saga tersenyum. Dia terus berbicara. Lalu setelah beberapa saat, dia berterima kasih pada bayangan itu.

Saga melihat Tami kembali dengan mangkuk kecil berisi air, kapas, alkohol, dan obat merah.

“Ngapain kamu?” Tami bertanya.

“Aku lagi ngomong sama makhluk di tubuh Mansa,” jawab Saga.

Tami mundur, lalu melangkah hati-hati ke samping Saga. “Dia masih ada di sini?” tanyanya.

Saga menggeleng. “Dia baru aja pergi. Kayaknya dia paham apa yang kubicarakan. Tapi karena terlalu lemah, dia udah gak bisa ngomong sama sekali.”

“Kasihan banget,” Tami menatap Saga sejenak. “Pergi kemana dia?”

“Aku gak tahu. Aku udah minta dia buat mencari tempat lain yang lebih baik. Mungkin…mungkin dia udah punya firasat kalau hidupnya gak lama lagi.”

Wajah Tami berubah muram. “Kamu gak bisa nolong dia?”

“Gak bisa”

Tami jongkok di samping Saga. “Obatin dulu luka kamu,” katanya.

“Makasih ya, Tami.”

Saga bangun pelan-pelan. Diambilnya mangkuk dari tangan Tami. Dia membersihkan luka-lukanya dengan air serta alkohol. Setelah itu dia menempelkan kapas yang sudah ditetesi obat merah.

Setelah selesai mengurus lukanya, Saga mendekati tubuh Mansa yang masih tergeletak tak berdaya di lantai. “Sori ya anak kecil. Tapi kamu pantas mendapatkannya. Semoga kamu bisa hidup lebih baik,” katanya lembut ditujukan pada Mansa.

Tami jongkok sambil meletakkan kotak tisu di dekat Saga. Dia menatap Mansa dengan tajam. “Kamu apain dia?“ tanyanya.

“Aku sentil dikit aja kok. Gak akan ada cedera fisik, tenang aja,” jawab Saga.

“Sentil aja sampe begini. Pakai tenaga dalam ya?” Tami tampak sedikit khawatir. Dia memeriksa pergelangan tangan Mansa, lalu meraba kepala serta leher anak lelaki itu. Tapi tidak ada tanda luka apa pun.

“Bukan tenaga dalam. Cuma pakai sedikit kejutan listrik.”

Tami menatapnya dengan takjub. “Kamu bener-bener manusia listrik kalau gitu. Efeknya pingsan doang?”

“Yup. Nanti dia akan sadar kayak biasa.”

“Terus gimana setelah makhluk itu pergi? Apa Mansa bakal berubah?” Tami bertanya lebih lanjut.

Lihat selengkapnya