Tami nampak terkejut sekali. “Tapi kan.... kan kamu gak suka manusia? Kenapa malah ingin jadi manusia?!”
“Selama ini aku gak pernah membahasnya sama siapapun, karena menurutku gak penting. Tapi waktu ketemu kamu, dan kamu tanya apa sebenarnya tujuanku, ya inilah yang sering terlintas di pikiranku. Aku hanya ingin coba menjadi sesuatu yang baru, setelah mempelajari tentang kehidupan manusia sedikit demi sedikit. Aku frustasi karena manusia sulit dipahami. Tapi ya emang gitu realitanya; kita gak akan bisa mengerti kehidupan orang lain sebelum menjelma jadi orang tersebut, hidup seperti mereka, berpikir dengan cara mereka. Dengan begitu mungkin akhirnya aku akan dapat jawaban.”
“Kamu yakin bakal dapat jawaban? Kamu tahu, bahkan aku sendiri sebagai manusia, gak paham ras ku sendiri. Tapi buat apa aku susah-susah memahami mereka? Manusia terlalu kompleks. Aku cuma mau menjalani hidup begini aja. Mengalir aja. Entar kamu menyesal lagi abis jadi manusia sejati,” Tami menyahut.
“Aku mengerti. Kompleks memang, tapi andai aku bisa berpikir seperti kamu sekarang, mungkin aku akan menyerah. Tapi hidupku sudah ratusan tahun di sini. Apa lagi yang harus kupikirkan? Kalau jadi manusia, mungkin aku akan menjalani hidup mengalir juga, seperti katamu. Tidak repot-repot memahami manusia lain. Tapi aku tak bisa menjalani hidup mengalir. Aku nyaris abadi, ini siksaan yang berat. Yang bisa kulakukan adalah mencoba memahami manusia, makhluk yang ada di sekelilingku sekarang. Caranya, dengan jadi manusia itu sendiri. Kalaupun gagal, itu tidak masalah. Setidaknya aku akan mati lebih cepat. Aku tidak akan punya memori tentang kehidupanku sebagai makhluk ghaib.”
“Jadi kamu mau jadi manusia biar kamu bisa mengakhiri keabadianmu, lalu lekas mati?”
“Yah, kira-kira begitulah.”
“Tapi gimana caranya kamu jadi manusia sejati?”
“Aku belum tahu. Mungkin itu hanya imajinasiku saja, kayak yang kamu bilang sama Mansa. Kita pengkhayal yang hebat,” Saga diam sebentar memerhatikan seorang perempuan muda menggendong anak balitanya turun dari angkot. “Enggak berarti aku suka manusia. Karena setelah ratusan tahun, aku tidak tahu apa lagi yang kuinginkan. Aku berharap, aku bisa mendapatkan cara berpikir yang berbeda setelah berubah, dan kematian adalah bonusnya. Tapi itu keinginan yang sudah lama kulupakan sih sebenarnya.”
“Cita-cita yang gak mungkin tercapai kayaknya sih,” Tami menatap lelaki ghaib itu penuh rasa prihatin. “Terus apa rencana kamu selanjutnya? Kamu akan terus nyari cara buat jadi manusia?”
“Aku gak tahu,” Saga mengalihkan tatapannya ke arah sekelompok gadis sekolah sepantaran Tami yang cekikikan di pinggir jalan.
“Please, gak usah jadi manusia,” bisik Tami. “Kamu makhluk super. Teman yang abnormal. Cowok absurd. Kamu bisa ngilang, melayang. Melawan penjahat dengan mudah. Aku gak pernah punya teman kayak gitu selama hidup. Aku lebih suka kamu yang kayak gini, bukan manusia. Kalau jadi manusia beneran, nanti kamu berubah menyebalkan dan gak asyik lagi. Lagipula sekarang jumlah manusia udah lebih dari 8 milyar lho. Udah banyak banget. Masa mau ditambah lagi? Sumpek tahu gak.”
“Hahaha. Tapi aku gak bisa melawan penjahat.”
“Tapi kamu bilang sama Mansa mau memikirkannya.”
“Iya, tapi kalau kamu mau melenyapkan kemampuanmu, ya sia-sia aja. Kamu gak akan ketemu aku lagi.”
“Enggak,” Tami menggeleng cepat. “Aku juga udah mikir-mikir lagi. Aku udah gak apa-apa. Dulu aku selalu ngerasa terbebani, tapi sekarang malah aku bersyukur bisa melihat kamu. Aku seneng banget. Ini semua berkat kamu Saga.”
“Benarkah?”
“Serius!”
“Wah, berarti aku udah berhasil membuat seorang anak manusia bahagia. Ini sebuah pencapaian luar biasa. Aku belum pernah ngalamin yang begini,” Saga tertawa-tawa. Dia merasa lega dan ringan. Melihat gadis itu tertawa dan bilang bahagia karena dirinya, tiba-tiba dia tambah bersemangat. Sesuatu seperti kebanggaan meliputi kepalanya. Ruang kosongnya terisi titik kecil kehangatan yang asing. Dia tidak melawannya, tapi mendekapnya.
“Tami, kapan-kapan naiklah gunung,” kata Saga kemudian.
“Aku gak ada pengalaman naik gunung. Takut gak kuat.”
“Naiklah ke gunung yang paling tinggi di Jawa. Tempat persemayaman para dewa di puncaknya. Gunung Semeru. Naiklah sampai ke puncak. Ke Mahameru.”
“Bareng sama kamu? Semeru itu berat banget, tahu. Harus yang berpengalaman. Katanya banyak yang engga kuat mendaki ke sana.”
“Ya gak usah sama aku. Kamu kan bisa latihan dulu. Nanti kalau kamu udah sedikit lebih dewasa, gak harus sekarang.”
“Kenapa Mahameru?”
“Karena aku berasal dari sana. Dulu, portal itu ada di sana.”
Tami terhenyak. Dia baru mengerti apa yang dimaksud Saga. “Kamu muncul pertama kali di puncak Semeru?”
Saga mengangguk. “Portalnya memang udah gak ada di sana. Dia udah berpindah. Tapi kalau kamu ingin tahu darimana awal mula keberadaanku, naiklah ke puncak itu. Aku juga sudah lama sekali tidak datang ke sana,” jawab Saga sambil menerawang langit. Dia seperti sedang membayangkan sesuatu.
Mata Tami berbinar-binar memandang lelaki itu. “Kenapa kamu bilang soal ini padaku?”
“Kamu bilang mau petualangan kan? Pergilah berpetualang. Kamu masih muda, kuat, dan cantik. Kamu harus bersenang-senang sebelum mengkerut dan mati,” Saga tersenyum kecil.
“Kamu bilang...apa? Aku cantik?”
“Iya.”