Deru bus melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota. Pukul 9 malam, tetapi udaranya terasa masih panas dan membuat gerah. Seharusnya, hawanya lebih sejuk daripada siang hari. Namun untuk kota metropolitan yang populasi penduduknya sedemikian pesat, membuat keseluruhan kota lebih sesak dan panas.
Lihat saja, keringat berhasil bertengger di wajah dan membasahi baju sekumpulan pria di bus. Baju mereka seragam. Kaos dan celana pendek berwarna putih. Tertulis satu atau dua angka di bagian punggungnya.
"Kalau lo ngopernya bener, kita nggak bakalan kalah." Pria dengan angka punggung 17 berucap kesal kepada teman yang duduk di sebelahnya.
"Lo kok nyalahin gue. Tanya ke Doni, kenapa dia ngedribble bolanya ke arah lawan!" Pria ini berseru tak kalah kesal.
Doni berdiri dari duduknya. "Lo yang bego, Nan. Kapten udah bilang kalau kita dalam posisi bertahan, lo malah maksa gue buat nyerang. Dan sekarang, lo malah nyalahin gue."
"Tapi seharusnya sebagai guard, lo nggak perlu dengerin yang lain, Don. Ini pertandingan terakhir kita dan lo malah ngerusak." Angka 9 ikut bersuara.
Cittttttt ... suara derit bus berhenti mendadak. Membuat perdebatan sekumpulan pria itu terhenti dan beralih fokus ke depan bus.
Terlihat pria jangkung yang duduk di baris terdepan berdiri, memakai dengan cepat hoodie hitamnya dan melangkah keluar dari bus. Raut wajahnya sangat masam.
"Kapten marah," gumam seseorang di antara mereka.
Dan bus kembali melaju.
*** *** ***
Pria dengan hoodie hitam itu melangkah cepat ke arah alun-alun kota. Sepi, tidak seperti biasanya. Mungkin karena besok adalah senin pertama seusai libur panjang. Membuat orang-orang memilih di rumah untuk bersiap memulai aktivitas besok.
"Sial!" Dia mengumpat, merasa bahwa kesialan hari ini tidak seharusnya terjadi. Sepanjang kepemimpinannya, tim basketnya tidak pernah kalah. Selalu unggul atau paling tidak seri.
Ini adalah turnamen terakhir sebelum dia benar-benar purna dari sekolah, tetapi tidak mendapat akhir yang baik. Sialnya, teman satu timnya malah sibuk berdebat dan saling menyalahkan. Membuat kekesalannya berlipat ganda.
Tadi dia memang sengaja turun di pertengahan jalan. Memilih untuk menyendiri sementara waktu, memulihkan pikirannya yang sedang kacau.
Langkahnya terhenti tepat di sebelah selatan alun-alun kota. "Bait Cafe", tertulis di bagian atas bangunan di depannya. Namun yang terlihat bukan sebuah cafe, melainkan lapangan yang cukup luas dengan tiga sekat. Dua di antaranya sudah dipakai. Tinggal satu lapangan, kali ini peruntungannya sedang bagus.
Pria hoodie hitam menatap bangunan itu lekat. "Rasanya sudah lama sekali," gumamnya.
Dia melangkah ke dalam, menyusuri lapangan itu dan masuk ke sebuah cafe yang berada di ujung, dekat dengan lapangan. Dari jalan raya, cafe ini tidak terlihat.
Pikirnya, ini cukup merepotkan. Mengingat dia harus masuk cafe hanya untuk membooking sebuah lapangan. Kenapa tidak dihandle secara terpisah?
Baiklah, lupakan pemikiran itu. Lapangan dan cafe ini dari dulu memang sepaket.
"Booking satu lapangan sampai subuh." Dia memesan tempat pada pelayan perempuan di meja kasir. Matanya menjelajah seisi cafe yang sudah setengah penuh pengunjung.
Sesuai namanya, "Bait Cafe", dekorasi dinding hingga langit-langit cafe ini dipenuhi oleh tulisan dan lukisan dari bait-bait puisi sastrawan terkenal, juga bait-bait lagu dari musisi termasyhur.
Cafe ini juga menampilkan pertunjukan alat musik di hari-hari tertentu. Ada alat musik tradisional seperti angklung dan seruling, hingga alat musik modern seperti gitar, drum dan piano.
Kadang-kadang para pengunjung juga ikut unjuk kemampuan memainkan alat musik atau sekadar bernyanyi ria.
Sedangkan di lantai atas cafe, terdapat perpustakaan mini, tempat yang sering dikunjungi oleh mahasiswa. Sehingga cafe ini juga sering disebut-sebut sebagai markasnya mahasiswa.
Untuk itu, meski letak cafe ini tersembunyi dan nyaris tak terlihat, karena dekorasi, fasilitas dan kemeriahannya ini, yang membuat Bait Cafe tidak pernah sepi dari pengunjung.
Namun, sebenarnya bukan hal-hal itu yang dikenang oleh pria berhoodie hitam ini.
"Mbak, anda dengar pesanan saya, kan?" tanyanya, setelah merasa sekian menit belum ada respon dari pelayan perempuan berseragam pink dengan nametag "Bintang" ini.
Pelayan itu-namanya Bintang, tetap mematung menatapnya dengan mulut yang sedikit terbuka.
"Mbak ..."
"Eh iya, Mas. Maaf. Pesan apa tadi?" Bintang akhirnya merespon, meski gelagapan. Pipinya merona, menahan malu.
"Booking lapangan sampai subuh."