Jingga

Lailatul Khomsiyah
Chapter #6

6. Permainan

Panitia Ospek membagikan sebuah kertas pada masing-masing kelompok. Tidak peduli pada kelompok mahasiswa yang belum datang ke lapangan. Ini sudah satu jam, seharusnya mereka sudah kembali.

Langit yang menerima kertas dari panitia. Tidak langsung dia buka, teman timnya belum rampung.

"Kali ini kalian akan bermain game. Rulesnya adalah ... kalian harus memecahkan teka-teki yang tertulis di kertas itu. Teka-teki tersebut, akan membawa kalian pada kertas kedua yang berisi teka-teki berbeda. Begitupun pada kertas ketiga. Setelah kertas ketiga didapat, kalian langsung kembali ke lapangan. Kelompok yang pertama kali berhasil memecahkan tiga teka-teki tersebut dianggap sebagai pemenangnya. Jadi, semangat ya!"

Salah satu kakak panitia menjelaskan rules game yang harus dimainkan. Sepertinya, hanya kakak dengan potongan rambut bowl ini yang terlihat ramah kepada para Maba. Lainnya? Amsyong, jangan ditanya. Sereeem.

Jingga masih tolah-toleh mencari keberadaan Bintang, Biru dan Langit. Ish, bocah-bocah tengil itu selalu membuat masalah.

Sejak tadi, Jingga dan Langit diomeli oleh senior perempuan yang judes itu. Bodynya emang goals, tetapi mulutnya benar-benar seperti mercon.

"Kemana tim kamu yang lain, Dek!" kakak judes itu bertanya setelah melihat Jingga dan Langit hanya berdua dalam kelompoknya. Nada suara kakak itu seperti sedang memerintah prajurit untuk berperang. Ngeri-ngeri sedap.

"Anu, Kak. Belom rampung." Langit yang menjawab, terlihat sekali bahwa dia gentar.

Jingga hanya menunduk, masa bodo. Biarkan Langit yang menghadapi monster ini. Haha.

"Ini sudah jam berapa, kok timnya belom rampung? Kalian mau dihukum tah!" omel kakak judes yang nametag kepanitiaannya tertulis Juliana Raya.

Langit dan Jingga kompak menggeleng. Enak saja ... teman-temannya yang telat, kok mereka yang dihukum, pikir mereka berdua.

Tidak berhenti di situ, kak Juli melanjutkan omelan yang lebih panjang lagi. "Bagaimana negara ini maju kalau pemudanya kayak ginih. Lelet, suka telat, lalai sama tugas. Pahlawan negara yang gugur karena berperang melawan penjajah, pasti menangis darah melihat kelakuan generasi muda yang seperti ini. Apa kalian nggak mikir, nggak malu, hah?"

Omelannya sampai ke zaman penjajahan, Guys.

Langit dan Bintang memilih diam mendengarkan dengan takzim.

Masih berlanjut, "Dan kenapa tim kalian yang lain bisa telat seperti ini! Leletnya udah kayak singa aja."

Jingga reflek menanggapi, "Singa larinya cepet, nggak lelet. Yang lelet itu siput atau kura-kura. Belum belajar Biologi ya?" Dia berkata dengan memasang tampang yang polos.

Mendengar ucapan Jingga, perut Langit sakit, menahan tawa.

Kak Juli terdiam, mukanya memerah. Dia menatap Jingga sinis. Kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Jingga dan langit berpikir bahwa mereka akan diberi kartu hukuman, tetapi ternyata ... kakak itu malah mengeluarkan bedaknya.

Tanpa tahu malu, berkaca dan mentap-tap wajahnya dengan bedak yang Jingga tau itu merk luar negeri.

"Panas sekali hari ini, bedak gue cepet luntur. Gue jadi insecure, lihat muka lo yang putih glowing tanpa bedak," kata kak Juli pada Jingga.

Kulit Jingga memang putih dari pabriknya.

Kak Juli melupakan omelannya tadi, sibuk berkutat dengan bedaknya dan beranjak pergi.

Di waktu yang sama, terlihat Al, Bintang dan Biru berlari ke arah Jingga dan Langit.

Demi melihat Bintang menenteng pentol dan es di tangannya, Jingga berteriak kesal. "Bintang!"

Bintang?

Dia nyengir, memasang ekspresi tak berdosa.

*** *** ***

"Matahari terbit dari peraduannya, sinarnya merangkak naik di rerimbun pohon payung yang akarnya menguat dalam daya."

Lihat selengkapnya